Kendati ada  opsi online learning, tetapi banyak pula yang tidak punya koneksi internet atau tidak mampu kuota. Lalu, dibuat belajar melalui TVRI dari rumah. Ternyata belajar melalui TVRI pun ada yang tidak terjangkau sinyal TV, ada yang tidak memiliki fasilitas listrik.Â
Inilah fakta Indonesia terkini Mas Nadeim, yang sebenarnya, rakyat di daerah juga sudah mengeluh dan teriak lama, karena adanya kesenjangan pembangunan di daerah tertinggal, kesenjangan ekonomi, bagimana mau menjalankan program pendidikan online? Bagaiamana mau mempraktikan kurikulum baru berbasis teknologi dan digital?Â
Jadi inilah fakta Indonesia. Sangat jauh dengan apa yang selama ini diributkan oleh para elite partai di parlemen dan pemerintahan yang hanya memikirkan kepentingan diri dan partainya serta bagaimana "mengabdi" kepada cukong. Lalu, memainkan sandiwara "kisruh" demi mencari panggung.
Jangankan masyarakat di pelosok yang tertinggal, masyarakat di Jabodetabek saja, meski untuk listrik ada, namun sarana untuk menyerap pendidikan berbasis tekonologi dan digital, masih banyak yang kesusahan. Masih banyak yang tidak memiliki handphone, laptop, hingga TV. Ada yang punya handphone, tapi juga tak memiliki uang untuk beli pulsa.
Seharusnya, selama hampir 8 bulan bekerja, Nadiem sudah dapat memetakan kondisi yang ada. Bukan malah kaget. Kalau begini, kan yang tercoreng jadi banyak.Â
Satu hal lagi, dalam telekonferen resmi, sebaiknya, di tengah kesedihan masyarakat terutama di daerah tertinggal, Mas Menteri tidak usah bicara dengan kosa kata asing, bicara saja dengan bahasa Indonesia. Ini Indonesia Mas!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H