Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas ke-61 dan Krisis Keteladanan

2 Mei 2020   07:31 Diperbarui: 2 Mei 2020   08:08 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin saya adalah diri saya sendiri, pemimpin kita adalah yang diamanati dan percayai.

(Supartono JW.02052020)

Bila mengacu pada Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959 tentang penetapan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), maka hari ini adalah peringatan Hardiknas ke-61 di Indonesia. 

Bila berangkat dari hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, maka sejarah pendidikan di Indonesia sudah terjadi selama kurun waktu 75 tahun. 

Lalu, bila berdasarkan zaman kerajaan-kerajaan  dan zaman penjajahan Indonesia dari tangan musuh, sudah berabad-abad, proses pendidikan di Indonesia terjadi? 

Namun karena Hardiknas diperingati sejak ditetapkan tahun 1959 dan menggunakan tanggal  2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hajar Dewantara, maka tolok ukurnya itulah yang saya pilih. 

Pertanyaannya, hingga 2 Mei 2020 ini, prestasi apa yang telah dicapai dari ranah pendidikan ini? Lalu, mau dari sudut pandang manakah akan kita ukur hasil pendidikan di Indonesia? 

Apakah akan kita ukur semisal dari sudah berapa banyak jumlah sekolah formal (negeri/swasta) dari semua tataran di Indonesia? Atau sudah berapa banyak kampus (negeri/swasta) berdiri di Indonesia? 

Atau sudah berapa banyak jabatan profesor di Indonesia, berapa gelar doktor (S3), berapa gelar megister (S2), berapa gelar sarjana (S1), berapa gelar diploma (D4/D3/D2/D1), berapa jumlah lulusan SMA, SMP, SD? Sudah berapa banyak Kurikulum Pendidikan Indonesia lahir dan terus mentradisi bongkar pasang atau berganti? 

Berapa banyak menteri yang telah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudaayaan, hingga kini dijabat Nadiem? Berapa persen, masyarakat Indonesia yang telah terdidik dibandingkan yang tidak terdidik/tidak sekolah/putus sekolah? 

Berikutnya, kira-kira, apakah semua yang telah terdidik di negara ini, dapat meneladani sosok Ki Hajar Dewantara yang dijadikan panutan pendidikan di Indonesia? 

Di mana peta keberhasilan pendidikan Indonesia bila hanya sekadar mengukur dari Programme for International Student Assessment (PISA). 

Berapa karya dan hasil inovasi anak bangsa terkait pendidikan? Dan masih banyak pertanyaan lain, yang minimal di ukur dengan keteladanan Ki Hajar Dewantara, sesuai filosofinya, yaitu  "Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani" yang artinya "Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan". 

Semua adalah pemimpin 

Bila selama ini, filosofi Ki Hajar selalu dikonotasikan dengan guru dalam arti sebenarnya, maka sekarang coba kita analogikan bahwa semua masyarakat Indonesia adalah pemimpin. 

Sesuai KBBI, pemimpin adalah orang yang memimpin. Siapa saja pemimpin itu? Mulai dari diri sendiri, yang memimpin dirinya. Pemimpin rumah tangga, RT, RW, kelompok, paguyuban, organisasi, perkumpulan, instansi, institusi, partai, parlemen, hingga pemerintahan. 

Nah, sekarang kita terapkan makna Ing ngarso sung tulodo, maknanya menjadi siapapun yang menjadi "pemimpin", harus dapat memberikan suri tauladan untuk semua orang yang ada disekitarnya. Ing madyo mangun karso,  siapa pun pemimpin yang berada di tengah masyarakat, terjun langsung mengabdi kepada rakyat, dapat membangkitkan semangat terhadap semua rakyat Tut wuri handayani, memiliki makna saat seorang pemimpin sudah meneladani, membimbing, maka dia juga wajib selalu memberikan dorongan, semangat, motivasi. 

Menjawab pertanyaan, apa prestasi pendidikan di Indonesia bila hanya dikaitkan dengan filosofi Ki Hajar saja, masih sangat sulit, meski secara terukur, hasil pendidikan selama 61 tahun sudah banyak ditorehkan oleh segenap putra dan putri bangsa ini. 

Namun, bagaimana bila prestasi itu dikaitkan dengan pemimpin dalam arti sebenarnya di negeri ini, selama ini, hingga pemimpin-pemimpin yang kini  duduk di parlemen dan pemerintahan RI? 

Rasanya, bila Ki Hajar masih ada di dunia ini, masih hidup, tentu akan sedih. Sebab, rasanya sulit sekali filosofinya di aplikasikan oleh para pemimpin di negeri ini, terutama pemimpin di parlemen dan pemerintahan. 

Salah satu faktanya teraktual, dalam kondisi dunia terkena pandemi corona, dalam upaya pencegahan, antisipasi, dan penanganan Covid 19 (PAPC19), ternyata filosofi "Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani", sangat sulit terwujud. 

Pasalnya, "pemimpin" pun, belum dapat menjadi teladan, meski sudah mampu memberikan bimbingan dan dorongan. Namun, untuk apa artinya bimbingan dan dorongan, bila pemimpin sendiri tak memberikan contoh yang benar sesuai bimbingan dan dorongannya? 

Dari sebelum pandemi corona hingga kini corona mewabah, "pemimpin" yang diharapkan, "tindak-tanduknya" sering membuat "blunder", sehingga sangat rentan lahir kisruh, perdebatan, perseteruan, permusuhan hingga sampai membahayakan kesatuan dan persatuan NKRI, bahaya disintegrasi bangsa. 

Inilah wajah negeri ini, bila mau ditanya prestasi pendidikannya, terutama dari segi karakter kepemimpinan. 

Jadi, ternyata, meski peringatan Hardiknas kini sudah yang ke-61 tahun, rasanya, masih sulit menemukan pemimpin sejati di NKRI, sesuai harapan dan filosofi Ki Hajar. 

Semoga, hal ini menjadi instrospeksi dan refleksi para pemimpin kita, terutama di parlemen dan pemerintahan, agar benar-benar menjalankan amanah rakyat sekaligus menjadi teladan. 

Begitupun, pada pribadi kita masing-masing, semoga terus belajar dan belajar untuk menjadi pemimpin diri sendiri yang dapat terus dicontoh oleh diri sendiri, kemudian menjadi hal baik yang dapat di tiru oleh orang lain. Oleh adik, kakak, keluarga, saudara, sahabat, teman, dan masyarakat. Aamiin. 

Sumber: doc.Supartono JW
Sumber: doc.Supartono JW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun