Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Hafal Pancasila, Siapa yang Bertanggung Jawab?

7 Maret 2020   14:28 Diperbarui: 7 Maret 2020   15:20 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Ajang pemilihan Puteri Indonesia 2020, Jumat (6/3/2020), bagi saya menyisakan perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya sedih, prihatin. 

Bagaimana tidak, ajang sebesar itu, dengan membawa tajuk "Indonesia", memilih puteri terbaik Indonesia, ternyata bisa saya sebut sebagai "akibat nila setitik, rusak susu sebelanga". 

Bukan hanya sang calon puteri yang saat kejadian, sudah duduk dalam kategori 6 besar, namun secara keseluruhan, panitia penyelenggara Puteri Indonesia juga harus turut bertanggungjawab. 

Bagaimana mungkin calon Putri Indonesia yang sudah diseleksi ketat, ternyata masih kecolongan dengan keberadaan peserta yang bisa jadi tak paham Pancasila, sebab tak hafal pula sila-sila dalam Pancasila. 

Atas kejadian yang di luar dugaan ini, apalagi kejadiannya juga ditonton oleh jutaan rakyat Indonesia karena acara disiarkan langsung dalam saluran televisi nasional, tentu akan menjadi koreksi sendiri bagi pihak penyelenggara Putri Indonesia. 

Ajang yang sudah berlangsung sekitar 18 tahun, tepatnya sejak kali pertama diselenggarakan pada tahun 1992, lalu kontes kecantikan ini pernah absen mengadakan perhelatan selama empat tahun, yaitu pada 1993, 1997, 1998, dan 1999.  

Sehingga, sempat menobatkan Alya Rohali menjadi Puteri Indonesia pertama yang menyandang gelarnya selama empat tahun. 

Kembali melihat peristiwa tak hafal/tak paham sila dalam Pancasila oleh peserta kontes kecantikan ini, juga mengingatkan kita kepada keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru berusai dua tahun karena didirikan pada 28 Februari 2018. 

Semangat didirikannya BPIP, sejatinya wajib dapat menjawab kondisi rakyat Indonesia yang masih banyak tidak hafal dan tidak paham Pancasila, apalagi mengamalkannya dengan benar. 

Seharusnya, bila pembelajaran di kelas-kelas sekolah/bangku kuliah Indonesia benar, maka rakyat terdidik, mustahil tidak hafal dan tidak paham Pancasila. Namun, faktanya, sejak Program P4 di hapus, pemahaman atau sekadar hafal sila-sila dalam Pancasila semakin memiriskan hati. 

Masih lekat dalam ingatan saya, saat Kemendagri menyebut masih banyak warga di daerah yang tidak hafal Pancasila. Hal ini didasarkan atas hasil survei yang menyebut ada provinsi, setengah dari penduduknya tidak hafal Pancasila, yang saat itu diungkap oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, dalam Rakernas Pembinaan Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Nasional, di Hotel Arya Duta, Tugu Tani, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun