Fenomena yang terus mengemuka di negeri ini adalah benar disalahkan, salah dibenarkan.Â
Hampir di semua aspek dan bidang, lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita, kini penuh dengan "perdebatan" (berbantahan) tentang kebenaran dan kesalahan.Â
Yang sudah benar, terus digoreng agar teropini salah. Sementara yang salah, terus diaduk-aduk supaya dianggap benar.Â
Dalam suatu kasus, pihak yang bersalah terus berdalih membenarkan dan membela diri, bahkan malah sebaliknya mencari kambing hitam lain demi menutupi kesalahannya dan membela diri dari salahnya.Â
Di sisi lain, pihak yang benar justru dipojokkan, diserang dari berbagai arah, agar kebenaran hilang dan berubah menjadi pihak yang bersalah.Â
Lebih dari itu, demi menutupi kesalahan dan mengalihkan "perhatian" maka diciptalah rekayasa masalah. Padahal, tanpa ada rekayasa masalah, hal-hal yang bukan masalah saja, dipersoalkan agar menjadi masalah.Â
Sementara, hal-hal yang benar-benar masalah, bila itu datangnya dari "pihak tertentu" pasti akan ditutupi dan dialihkan. Namun, bila datangnya masalah dari "pihak tertentu" lainnya, demi menguntungkan pihak tertentu yang lainnya lagi, maka masalah akan dilebarkan demi mengambil keuntungan.Â
Menyangkut semua masalah yang terus menjadi bahan berbantahan di negeri kita, maka bila dibuat rating nya, yakin masalah politik dan korupsi menduduki peringkat teratas dan terus tak tertandingi.Â
Bicara masalah politik dan korupsi di Indonesia, semakin ke sini, semakin sulit diurai dan terus menjadi benang kusut.Â
Berbagai perdebatan hingga pertentangan yang menjurus ke arah berseteru, baik antara individu di dalam lingkungan keluarga, antara lingkungan masyarakat, Â antara elite partai politik, Â antara partai politik, antara lembaga tinggi negara, antara persoanal pemerintah, antara anggota DPR hingga masalah terkini dengan KPK, semua terus berkembang ke arah yang negatif.Â
Mirisnya, semua pihak yang berdebat, bersengketa, berseteru, sampai akibatkan konflik, selalu mengedepankan perasaan ego ''merasa paling'', hebat, pintar, dan benar. Parahnya, sikap yang merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling jujur, dan paling-paling lainnya, justru paling mengemuka dan berada di barisan paling depan, karena itulah politik mereka, lengkap dengan intriknya.