Di mana logika voters PSSI selama ini? Siapa yang dapat melogiskan agar sepak bola nasional bangkit?Â
Coba kita bedah logika voters PSSI berdasarkan statuta yang selama ini dijadikan tameng para mafia sepak bola nasional, agar tak direcoki pihak lain. Pihak lain termasuk publik pemerintah dan publik sepak bola nasional boleh berisik dan rewel. Kata "mereka" sepak bola kan milik FIFA, dan sepak bola nasional berdasarkan statuta yanv juga "mereka" kendalikan.
Berdasarkan statuta PSSI terakhir, tahun 2018, dalam pasal 23 Bab IV PSSI, Delegasi dan Hak Suara hanya terdiri 96 pemilik suara. Secara logika, dibandingkan dengan jumlah publik pecinta sepak bola nasional yang ratusan juta, tidak masuk akal sama sekali.Â
Siapa selama ini yang sejatinya menghidupi PSSI bila tidak ada suporter yang menjadikan sponsor tertarik mendukung klub dan kompetisi? Siapa yang mendukung dan mensuport Timnas di berbagai laga? Jumlah voters yang hanya tercantum 96 dan terus didalihkan itu sebagai sebuah peraturan, bukanlah sesuatu yang baku.Â
Sangat mudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia karena selama ini terus dipertahankan oleh para voters tersebut dan sangat tidak relevan dengan realitas dukungan.Â
Sementara dari 96 voters yang diberikan ruang dan hak milik suara, semuanya hanya mewakili suaranya sendiri, bukan mewakili suara seluruh publik sepak bola nasional yang jumlahnya ratusan juta.Â
Bila dianalisis, kedudukan voters berjumlah 96 sesuai statuta yang dicipta juga oleh mereka khususnya para mafia sepak bola nasional adalahÂ
Pertama, ada 18 delegasi Liga 1. 18 Delegasi Liga 1 masih masuk akal, karena jumlah klub Liga 1 memang 18, namun yang tidak masuk akal, dari mana 18 klub liga 1 dapat hidup kalau bukan dari sponsor dan sponsor tertarik mendukung karena adanya suporter. Sementara dalam setiap kongres PSSI, suara dari 18 klub Liga 1 tidak pernah mewakili suara suporter yang mendukungnya.Â
Hanya bersuara demi keuntungannya sendiri, terlebih bila sudah masuk situasi lobi-lobi demi katong tebal sendiri. Itulah klub Liga 1 yang dibanggakan suporter, tetapi tidak pernah membela keinginan dan kepentingan suporter saat bertugas menjadi voters karena suara hanya untuk dijual belikan.Â
Kedua, seluruh publik sepak bola nasional kini tahu, ada berapa klub Liga 2 yang berlaga secara resmi. Memiliki hak dan kewajiban yang sama kepada PSSI, namun nasibnya tidak sebaik klub Liga 1. Untuk urusan voters, klub Liga 2 hanya diberi jatah 18 suara.Â
Di mana logikanya, hak dan kewajiban sama, namun ada klub yang lantas tidak dapat bersuara. Sementara 18 klub yang mendapat hak suara sesuai cara statuta yang mereka atur sendiri, perilakunya juga sama seperti 18 klub Liga 1, bersuara untuk kepentingan diri sendiri, karena suara dijual belikan, bukan untuk suporter yang mendukungnya.Â