Judul Buku : Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali Penulis : Stebby Julionatan Penerbit : Bayumedia, Malang Ukuran Buku : 13,5 x 20 cm, xvi + 80 hal Cetakan : Pertama, Januari 2012 ISBN : 978-602-9136-73-9 Peresensi : Argha Premana (21 tahun, single) “Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali” adalah kumpulan 13 kisah penuh makna yang dikemas dalam buku berdesain sangat menarik. Memang tidak berlebihan bila pada endorsement yang saya berikan, saya berkata bahwa kisah-kisah yang tertulis dalam buku ini adalah kisah-kisah yang cerdas. Stebby Julionatan menyajikan kisah-kisah tersebut dengan bahasa yang gesit dan tepat guna. Semua makna yang terkandung di dalamnya, disampaikan bukan dengan penyodoran seperti halnya sebuah ceramah, melainkan dengan penyampaian terbuka yang membebaskan pembacanya memetik sendiri pesan yang terkandung di dalamnya, tanpa harus merasa digurui, tanpa harus merasa didikte. Tiga belas kisah tersebut dibuka dengan sebuah puisi berjudul “Kunanti Hujan di Pucuk Musim Kemarau”. Stebby mengatakan bahwa puisi tersebut adalah sebuah prelude. Sebuah awal. Dan menurut saya, memang cocok diletakkan di awal, karena puisi yang ditulis pada 2 November 2007 ini, membawa saya pada suasana hati yang adem. Tentram. Saya tak banyak tahu tentang puisi, tetapi sepertinya saya tak salah bila mengatakan bahwa metafora-metafora yang termaktub dalam puisi ini, memang layak untuk dicicipi. Kisah kedua, yang merupakan cerpen pertama dalam buku ini tertulis dengan judul, ”Cermin”. Dengan penuturan mirip sebuah dongeng, cerpen surealis ini secara simbolik menyampaikan sebuah pemikiran feminis dari seorang ibu, sebuah pesan, sebuah kekhawatiran, yang disampaikan kepada anak gadisnya. Penulis menganalogikan cerita tersebut dengan kisah penciptaan Adam dan Hawa, yang langsung disadur dari Al-Kitab. Perpaduannya menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Cerpen ini membuat saya enggan menutup buku sejenak, walau untuk sekadar mengambil air minum, karena saya harus membaca kisah-kisah selanjutnya. Dua cerpen galau berjudul, “Tapi Aku Masih Suka Hujan, Meski Ia Kini Datang Terlambat” dan ”Biarkan Aku Mencair” yang menyandang sebagai kisah ketiga dan kisah keempat, telah mampu membuktikan bahwa cerita dengan tema yang yang sudah sering dibahas, bisa menjadi segar kembali, bila dikemas dengan cara yang tidak biasa. Pada cerpen ”Tapi Aku Masih Suka Hujan, Meski Ia Kini Datang Terlambat” misalnya, saya menjumpai cerpen dengan tempo yang perlahan, namun memiliki ending yang mencengangkan. Seperti alunan musik yang lembut, namun tiba-tiba menghentak. Sedangkan pada “Biarkan Aku Mencair”, Stebby, lelaki kelahiran Probolinggo, 30 Juli 1983 itu, menyuguhkan cerpen yang banyak disisipi dengan kalimat-kalimat puitis, yang berasal dari suara hati sang tokoh. Sehingga, kisah tentang kasih tak sampai ini terasa berbeda. Kisah kelima adalah sebuah cerpen lugas yang menjadi salah satu favorit saya dalam buku ini. Berjudul ”Antara Politik, Gado-Gado, dan Selingkuhan,” cerpen ini mempunyai cara bertutur yang unik. Stebby menggunakan teknik multinarator. Ia membaginya menjadi dua subjudul yaitu ”Sidik” dan ”Mien”, yang merupakan nama-nama tokoh dalam cerita, dengan pemunculan secara bergantian. Saya tak perlu menceritakan mengenai isinya, sebab, judul panjang cerpen ini sudah mewakilinya. Gado-gado; seperti itulah cerpen ini bercerita. Kaya muatan. Cara penuturan yang hampir sama, juga dilakukan Stebby pada cerpen yang merupakan kisah keenam. ”Aku, Kamu, Dia: Merayakan Cinta!”. Sesuai judulnya, lelaki yang juga aktif sebagai penyiar radio Suara Kota di Probolinggo ini, membagi cerpen ini menjadi beberapa monolog yang disusun secara bergantian, yang ditandai dengan subjudul, yaitu: ”Aku”, ”Kamu”, ”Dia”, dan diakhiri dengan ”Mereka”. Memang sedikit rumit. Harus penuh kejelian dan ketelitian saat membacanya. Saya mempunyai sedikit kritik untuk cerpen ini. Pada halaman 35, subjudul ”Dia”, Stebby menggunakan sudut pandang orang pertama, dengan tokoh tambahan disebut dengan ”dia”. Hemmm, daripada pembaca resensi ini tidak bingung, baiknya saya beri sedikit cuplikannya. Dia: Aku bingung. Aku sangat bingung. Bagaimana tidak, dia benar-benar hamil. Anakku. Tubuhnya telah membekap benih yang kutebar…. Sementara, di halaman 36, masih dengan subjudul ”Dia”, Stebby menulis: ”Aku mencintaimu,” ujar bibirku saat pertama kali merayunya. ”Kau pegang petanya. Jadi kau tahu jalannya,”’ JAWABMU saat itu sambil menyerahkan sebuah kunci. Mengapa kata JAWABMU saya tulis dengan huruf kapital? Karena menurut saya kata itu seharusnya diganti dengan JAWABNYA, sehingga relevan dengan tokoh sampingan yang disebut dengan kata ”dia”, bukan ”kamu”. Masih dalam cerpen yang sama, pada halaman 38, subjudul ”Dia”, Stebby menulis: …Dari titik itu aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepadamu: Ikutlah denganku. Kutunggu kau di sebuah dermaga. Melarung sauh. Merayakan cinta kita. Berbekal cinta, KAMI akan mengarungi dunia. Menghadapi hiruk-pikuk gelombangnya…. Bukankah kata KAMI seharusnya diganti dengan KITA? Kesalahan-kesalahan kecil itu sepertinya terjadi karena kekurangtelitian penulis dan editor. Namun, bagi saya dua kata yang ”salah” itu tidak mengurangi esensi pada cerpen ini. Ibarat setitik debu pada lensa kacamata. Okay, lanjut! Kisah berikutnya adalah sebuah fiksi mini yang menggunakan cara bertutur selayaknya sebuah surat. Penulis menamai cerita tersebut dengan judul ”Lebih Baik Kau Tulis Surat Cinta untuk Buku-Bukumu Itu”. Cerita yang berangkat dari pemikiran feminis ini membuat saya sempat merasakan kekesalan seorang wanita, seorang istri, kepada suaminya yang pengangguran, yang kadang kerja serabutan, namun setelah mendapatkan uang, uang tersebut malah digunakannya untuk…. ups, rahasia ah! He-he-he. Jelasnya, perasaan saya cukup teraduk-aduk oleh cerita singkat ini. Kehadiran fiksi mini ini di tengah buku, kiranya bisa menjadi obat bagi pembaca yang matanya sedang lelah untuk membaca cerita-cerita panjang. Nah, sampailah kita pada pembahasan kisah inti dari buku ini. Kisah kedelapan. “Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali”. Saya rasa, tidak salah Stebby menjadikan judul cerpen ini sebagai judul buku. Sebab, bila harus memilih, maka saya akan menjadikan cerpen ini sebagai masterpiece dalam kumpulan kisah ini. Yang menjadikannya semakin istimewa, cerpen ini ternyata adalah cerpen paling tua, karena ditulis pada Februari 2003. Tentunya, saat itu penulisnya masih muda, masih seusia saya (sedang unyu-unyunya). Dengan memungut ide cerita mirip Siti Nurbaya, Stebby berhasil menjadikan tema biasa ini menjadi luar biasa. ”Siti Nurbaya” dalam cerita ini hadir dengan sosok yang lebih berani. Stebby pun tak ragu menggunakan kata-kata vulgar dalam cerpen ini. Tentu saja dengan kemasan kalimat yang tetap elegan. Baik, supaya pembaca mempunyai sedikit gambaran mengenai ceritanya, berikut saya salinkan cuplikannya, yang juga tertulis pada sampul belakang buku: …Perempuan itu semakin mengenali kebiasaan suaminya yang sepertinya lebih mirip instruktur senam ketimbang saudagar. Setiap hitungan dua kali delapan mereka mengubah posisi. Namun sama seperti malam yang telah mereka lewati, suami si perempuan itu tetap tidak dapat menemukan kenikmatan yang selama ini ia cari pada tubuh perempuan itu. Ia terpaksa hanya puas dengan hasil usahanya di malam kedua ini…. (Cukup, ah! Lanjut aja!) Kisah kesembilan barangkali akan memuaskan para penggemar cerpen galau. Berkisah tentang penantian panjang dan ketegaran hati seorang wanita, ”Tisu Basah” hadir dengan kemasan yang segar. Sesekali Stebby memasukkan penggalan-penggalan lirik lagu terkenal yang menjadikan suasana cerpen semakin pilu. Pokoknya, cerpen ini, saya banget, deh! Galau! Galau yang elegan! Boleh jadi, ”Tisu Basah” akan benar-benar membuat para pembaca wanita, atau mungkin laki-laki, ikut membasahkan tiisunya karena turut sedih. Ah…. Kiranya, saya boleh berbangga hati dengan kisah kesepuluh. Cerpen berjudul ”Semenanjung Asa” ini, kata sang penulis, terinspirasi dari aku. Nama tokoh yang dipanggil ”Ga” itu, katanya terinspirasi dari nama ”Argha”. Ha-ha-ha. (Beneran, gitu kata Mas Stebby!) Cerpen ini mungkin mengangkat tema yang paling berbeda bila dibandingkan dengan cerpen lainnya. Tak lagi tentang cinta dan perselingkuhan, cerpen ini berkisah tentang kesetiaan dan kepedulian seorang pemuda kepada lingkungan pulau kecil dan pantai tempat tinggalnya, hingga akhirnya, sang tokoh, mendapatkan penghargaan kalpataru dari pemerintah. Mungkin, melalui cerpen ini, Stebby ingin mengajak siapa pun yang membacanya, agar peduli terhadap kondisi lingkungan kita saat ini. Tidak salah bila Probolinggo pernah menobatkan Stebby Julionatan, yang sekarang juga aktif sebagai Humas dan Protokol di Lingkungan Kota Probolinggo ini, sebagai Cak Probolinggo 2006. Pulau Gili yang diangkat sebagai latar pada cerpen ini, menandakan bahwa penulis sangat mencintainya. Ditambah lagi dengan kemunculan bahasa daerah yang digunakan dalam dialog-dialognya. Seolah-olah Stebby telah mempromosikan pariwisata Jawa Timur. Karena tentu saja, pulau Gili yang dimaksud di sini adalah pulau Gili yang berada tak jauh dari pulau Madura. Pulau milik Jawa Timur. Bukan pulau Gili yang berdekatan dengan pulau Lombok. Ah, Indonesia memang kaya pulau. Sampai-sampai nama pulau saja, ada yang kembar. Cerpen terakhir dalam buku ini, yang merupakan kisah kesebelas, menurut saya adalah cerpen paling romantis. ”Cukup Sepanjang Suroyo Saja, Bersamamu” begitulah judulnya. Penulis mengaku bahwa cerpen ini terinspirasi dari cerpen milik Kurnia Effendi, berjudul, ”Sepanjang Braga”. Terbukti, di dalamnya, penulis, yang juga pernah menerbitkan sebuah novel dengan judul LAN ini, mencantumkan sepenggal cuplikan cerpen Kurnia Effendi tersebut, yang jujur saja, membuat saya penasaran untuk membaca cerpen utuhnya. Kehadiran jalan Suroyo sebagai salah satu latar cerpen ini (tentunya, maksud saya adalah cerpen Stebby), juga kemunculan nama-nama gedung di Probolinggo, membuat cerpen ini terkesan Probolinggo banget! Sebuah lokalitas yang hadir dengan nuansa yang kekinian. Di awal resensi, saya telah menceritakan bahwa kumpulan kisah ini dibuka dengan sebuah puisi dengan suasana nan menyejukkan. Sama. Kisah keduabelas, sebagai penutup, juga berupa sebuah puisi nan sejuk dan romantis. Judulnya saja sudah romantis, loh! ”Aku Ingin Jadi Biru di Langit-Langit Mimpimu”. Alhasil, setelah hati saya telah diaduk-aduk, dan ditegangkan oleh cerpen-cerpen dalam kumpulan kisah ini, saya dapat menghembuskan nafas lega pada puisi penutupnya. Saya suka dengan buku ini. Hemm, pasti pembaca resensi ini sedang bertanya-tanya. Hah? Kok cuma dua belas kisah? Mana kisah ketigabelasnya? Ah, rahasia! Jelasnya, kisah ketigabelas sangat bergantung pada pembacanya. Bahkan, mungkin pembaca akan menentukan sendiri bagaimana ceritanya. Apakah maksudnya? Beli saja bukunya! Ada hadiahnya juga loh, berkaitan dengan kisah ketigabelas ini. (*) Semarang, 24 Februari 2012 (Ini kali pertama saya menulis resensi, mohon maaf kalau pembahasan saya jelek, atau terkesan sok tahu. Oh ya, untuk beli bukunya, arek Jawa Timur bisa menemukannya di toko buku, toko buku mana aja tanya Mas stebby deh! Yang diluar Jawa Timur, beli lewat online ya…!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H