Ke depannya bila penggarapan tentang nafas Probolinggo dalam sastra ini lebih intens digarap, bakal bisa meniru jejak sastra Belitung berkat novel-novel Andrea Hirata tak cuma sekedar tetralogi Lasykar Pelangi. Dengan pemilihan tema dan daya ungkap dalam kumpulan cerpen Stebby ini, guna menyastrakan Probolinggo agaknya perlu diperjelas setting-settingnya. Kasus-kasus pada cerpen-cerpen Stebby terasa sebagai kasus-kasus cinta universal dan ada upaya lokalitas dengan dialek-dialek lokal pada beberapa cerpen.
Hal-hal biasa yang ditulis dengan cara tidak biasa ini dapat didedah lebih lanjut secara intrinsik, yang pasti selain muncul kelebihan pasti juga ada kekurangannya. Pernyataan ini untuk mencegah terjadinya pujian semu penulisan esai hasil pembacaan terhadap karya Stebby agar tidak menjerumuskan kreativitas Stebby pada kemandegan proses.
Untuk mengritisi lebih dalam sisi intrinsik karya akan butuh waktu dan ketelanjangan lagi. Sementara, kritik pada kemasan antologi akan dibalut dengan pujian terhadap keberanian kompilasi memadukan 2 puisi di awal dan akhir kumpulan kisah sebelum kisah ke 13 yang merupakan PR -pekerjaan rumah- bagi pembaca untuk mengirimkan kisahnya kepada Stebby. Puisi-puisi dan cerpen-cerpen ini dilabeli “Kisah”, perlu dijelaskan oleh penulisnya tentang pemaknaan kisah menurut versinya. Memang dengan puisi dan cerpen, kisah dapat disampaikan. Namun sejujurnya perlu dijawab apakah keberanian ini tidak mengganggu pembacaan kisah?
Kita tidak membicarakan disain visual yang memang menabalkan buku Stebby Julionatan ini memang benar-benar buku kreatif. Meski, saya yakin, Stebby tak tinggal diam tentang hal ini sebagai bagian dari kreativitasnya yang di antaranya ditunjukkan bak kreativitas tulisan termasuk pemilihan judul-judul tiap cerpen yang juga tidak biasa, panjang-panjang. Secara garis besar kreativitas, tulisan Stebby (29 tahun) mengingatkan saya pada kreativitas Gabriel Garcia Marques yang pada umur 19 tahun sudah menulis novel “Badai Daun” yang dikumpulkan dalam satu judul buku bersama cerpen-cerpen dan monolognya. Tentu, saja dengan kejelian cara ungkap yang berbeda.
Cerpen-cerpen Marques sangat kuat deskriptifnya, suatu hal yang nyaris tidak dilakukan oleh Stebby. Namun pemilihan judul cerpen-cerpen mereka nyaris senafas, rata-rata panjang-panjang. Bandingkan judul cerpen-cerpen Stebby yang telah disebutkan tadi dengan judul cerpen Marques yang panjang, berupa frase. Contohnya: “Balacaman yang Baik, Penjaja Keajaiban”, “Tenggelamnya Mayat Paling Tampan di Dunia”. Atau, monolognya, berupa kalimat: “Isabel Memandangi Hujan di Macondos.”
Bahkan ada Judul cerpen Stebby ada yang lebih panjang lagi, juga berupa kalimat: “Aku Masih Suka Mencintai Hujan, Meski ia Kini Datang Terlambat.” Cara yang tidak biasa. (*)
*)Yonathan Rahardjo adalah Penulis Novel “Lanang”, “Taman Api” dan Kumpulan Cerpen “13 Perempuan” dan pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H