Mohon tunggu...
SJ Kiswa Shobirin
SJ Kiswa Shobirin Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA

Mahasiswa Fakultas Hukum, Dosen Pembimbing : Dr Ira Alia Maerani, S.H., M.H

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Cipta Kerja, Disparitas Maksud dan Potret Penggendutan Oligarki

25 Oktober 2022   08:39 Diperbarui: 25 Oktober 2022   08:42 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

2 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 2 November 2020 UU No 11 Tahun 2020 telah disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, Terobosan ini memungkinkan terdapat 80 undang-undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi yang mengatur multisektoral, tujuan utama dari UU ini adalah untuk mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.

Akan tetapi niat baik pemerintah ini tidak menciptakan solusi justru menimbulkan problem bagi masyarakat, berbagai elemen masyarakat mengecam terbitnya Undang-undangg ini  baik dari prosedurnya maupun substansinya, padahal dalam Undang-undang sebelumnya yaitu UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan saja sudah memuat banyak persoalan. Dalam Pasal 56 UU tersebut mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan PKWT ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja tidak lagi memuat  ketentuan yang mengatur jangka waktu PKWT dan yang menjadi pertanyaan apa alasan pemerintah dan DPR menghapus jangka waktu PKWT, padahal jangka waktu merupakan salah satu bentuk perlindungan dan kepastian bagi PKWT.

Terdapat 3 lagi masalah terkait UU Cipta Kerja ini berdasarkan Substansinya yaitu terkait Upah, Undang-undang ini menghapus upah minimun sektoral dan struktur skala upah hanya mengacu pada kondisi perusahaan ketiga yaitu terkait dengan mudahnya perusahaan untuk melakukan PHK, dan yang terakhir terkait outsourcing atau alih daya dalam UU Cipta Kerja menghapus jenis pekerjaan penunjang, sehingga semua jenis pekerjaan bisa menggunakan mekanisme alih daya.

Hal ini sangat berkorelasi dengan sejumlah panitia kerja (panja) Omnibus law yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan tertentu, dan di balik satuan tugas (satgas) terdapat nama-nama pengusaha yang besar kemungkinan diuntungkan terhadap undang-undang tersebut, maka dugaan terdapat kepentingan individu dibalik UU Cipta Kerja semakin terlihat terang. Presiden Joko Widodo dapat disebut memfasilitasi kepentingan para pengusaha yang mencoba meraup untuk melalui kebijakan publik.

Kontroversi pengesahan UU Cipta Kerja terang perlu diarahkan kepada Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang kini paling bertanggungjawab, hal ini dikarenakan Presiden RI Joko Widodo merupakan sosok yang pertama kali mencetuskan UU Cipta kerja, langkah Judicial Review (JR) juga sepatutnya tidak dijadikan opsi. Pembahsan UU Cipta Kerja dapat disimpulkan inkonstitusional jika melihat permasalahan dalam prosesnya. Adapun Mahkamah Konstitusi yang diduga telah tercengkeram oleh kepentingan privat melalui UU MK dan perlu ikut dipertimbangkan untuk tidak segera mengambil langkah tersebut.

Pengesahan UU Cipta kerja secara vulgar mempertontonkan kepada masyarakat skenario Oligarki untuk membajak negara yang telah berjalan dengan sempurna. Oligarki kini telah memperkokoh posisi mereka. Perlu ada ikhtiar sungguh-sungguh untuk mendobrak tatanan demokrasi yang oligarkis, kini para Oligarc semakin liar karena tak ada yang mampu menguasainya, bahkan mereka dibela oleh Undang-Undang, Mereka dapat membayari para politisi pada masa kampanye,membeli para penegak hukum dan bukan mustahil juga dapat menentukan pejabat mana yang patut diangkat atau dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

Dengan uang mereka dapat melakukan segalanya, termasuk membeli suara pemilih melalui uang yang mereka gelontorkan lewat para politisi yang mereka bina atau dukung. Itulah wajah oligarki di Indonesia kini. Jika kita tidak bersatu untuk menantangnya, Republik ini akan ditentukan para oligarch yang belum tentu memiliki keinginan luhur untuk bersama-sama membangun negeri ini.

Jika uang lebih berbicara, politik kita semakin parah, dan demokrasi kita perlahan musnah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun