Mohon tunggu...
Sjahrir Hannanu
Sjahrir Hannanu Mohon Tunggu... -

Seorang yang suka mengamati dan merenungkan kejadian yang ada disekeliling kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persilatan di MPR Mempermainkan Pedang “Permufakatan” untuk Tidak Mufakat”

7 Oktober 2014   23:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya jadi merenung dan terpaku melihat TV menyiarkan dunia persilatan di negara Cina, melihat praktek para penghunus pedang yang terkadang memperlihatkan jiwa kesatrianya membela hak rakyat dan negaranya bahkan untuk menegakkan hukum yang berlaku atau norma kesatria yang tak banyak kita ketahui seperti apa nilai-nilai itu. Tetapi mengapa kita terharu dan tak bosan-bosannya melihat tontonan seperti itu kendati diperankan oleh para bintang yang kita tahu betul mereka hanya memerankan cerita, mungkin sebuah hayalan atau sebuah cerita kosong yang dengan adegannya berpura-pura itu kita tetap takjub dan mau membuang waktu menontonnya atau kita meninggalkan pekerjaan penting dan merogoh saku demi  sebuah  pertunjukan seperti itu ???

Tetapi …

Siaran TV yang memuat cerita silat lain yang tak kalah serunya, rasanya sangat membosankan. Bumbunya tak lagi membuat sedap. Para komentator bersilat lidah bagai sebuah dongeng tentang dunia dimana dosa dan komitmen tidak dihiraukan.

Lihat lah ini

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2014

TENTANG

TATA TERTIB

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB IX

KEPUTUSAN MPR

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 89

(1) Keputusan MPR adalah keputusan yang diambil di dalam persidangan MPR.

(2) Keputusan MPR pada dasarnya diambil berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

(3) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

(4) Pengambilan keputusan rapat Pimpinan MPR dan Rapat Gabungan tidak dapat dilakukan melalui mekanisme suara terbanyak.

Lihatlah bagaimana ayat 3, diatas tersembunyi rapih seakan tak terlihat. Tapi siapa yang tak melihat ??

Ayat 3 harus dibuang !!

Bagaimana bisa ini terjadi ??

Bukankah perancang Undang-undang yang selalu tepuk dada tak ada yang bisa mengalahkannya berada dibalik pembuatan pasal ini ???

Jika semua pasal yang bersifat mendasar dan prinsip diakali dengan gaya seperti ini, rasanya tak ada lagi perlindungan  bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dst…dst.

Bukankah jelas :

… "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :

Ketuhanan Yang Maha Esa,

kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

TETAPI saya tak melihat implementasinya dilakukan oleh mereka yang duduk di DPR dan MPR. Mungkin saya yang buta atau tak merasakan sendiri. Saya jelas tak mengerti bahwa “Sepakat untuk tidak sepakat” ; “mufakat untuk tidak mufakat” ;  “musyawarah untuk tidak bermusyawarah” ; ‘voting adalah ujung dari musyawarah” dapat menjadi arti dari sila keempat dasar negara ini.

Aturan sidang yang dibuat adalah bukti otentik pelanggaran itu. Tetapi mereka menjadikannya dasar yang lebih utama untuk bertindak padahal itu adalah bertentangan dengan pembukaan UUD negara.

Jelas ini suatu pengingkaran dan pemutar balikan yang tak pantas dilakukan oleh mereka yang duduk sebagai pengemban amanat rakyat .

Jika saja mereka sadar makna Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama Panca Sila , mestinya punya rasa takut bermain-main seperti ini, takut pada siksa Tuhan yang akan berlaku kelak bagi mereka. Sehingga “Beradab” yang di sila keduapun tidak diperdulikan lagi. Bersikut-sikutan adalah usaha yang dianggap biasa-biasa saja.

Belum lagi, Persatuan Indonesia yang ada di Sila ketiga, Persatuan apakah yang sedang dipertontonkan ini ?

Maka apakah kini seluruh rakyat Indonesia tak lagi melihat wujud keadilan siosial ?

Untunglah kedaulatan itu dinyatakan oleh UUD negara kita dalam konteks baku “Kedaulatan Rakyat” bukan “kedaulatan Wakil Rakyat”.

Kini … Kita menunggu apa ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun