Mohon tunggu...
Sjahrir Hannanu
Sjahrir Hannanu Mohon Tunggu... -

Seorang yang suka mengamati dan merenungkan kejadian yang ada disekeliling kita

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Vaksin Palsu Bagaimana Meluruskannya

15 Juli 2016   16:20 Diperbarui: 15 Juli 2016   16:26 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Vaksin palsu, suatu masalah penting yang diakibatkan tidak adanya tanggung jawab pihak yang berkompeten. Beritanya dilansir oleh media tetapi tidak menyentuh siapa yang paling bertanggung jawab dibalik fenomena ini. Media turut memperkeruh dan mayarakat ikut asal bicara saja. Pemerintah dan kalangan profesionalpun tak menjernihkan masalah ini.

Dari mana harus memulai kemelut dan carutmarut ini? Pertama : harus difahami bahwa vaksin adalah bahan farmasi yang jelas bagaimana produksi, distribusi dan pemakaiannya harus terjadi hingga aman bagi masyarakat sesuai undang2 yang berlaku. Bahwa adanya vaksin palsu beredar dan masuk ke jalur formal hingga tiba ke rumah sakit tentu ini akibat adanya kesalahan yang terjadi pada :

1. Pengawasan obat oleh Badan POM. Badan POM adalah institusi profesional yang harus dipimpin seorang farmasis untuk memaksimalkan dan menagih tanggung jawab pengawasan obat. Bahwa Badan POM ini kemudian dipimpin oleh mereka yang tak profesional sebagai farmasis merupakan kesalahan yang mengandung resiko berat bagi kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia. Maka politisasi jabatan profesi harus dikembalikan pada relnya. Resiko dan dampaknya tak lebih jika Kepolisian dipimpin seorang Tentara.

2. Pengelolaan bahan farmasi di RS yang dikelola oleh mereka yang bukan farmasis, dapat diduga mengandung unsur kepentingan lain sehingga keamanan mutu dan kejelasan sumber pengadaan obat dsb. Di RS tak dapat dipertanggung jawabkan. Mereka yang bukan farmasis ngotot untuk mengambil alih tugas yang tak diketahui seluk beluknya ini dan menganggap pengelolaan obat hanya urusan jual dan beli barang. Ketentuan yang mengatur siapa yang berhak memesan, memeriksa dan mengelola bahan farmasi menjadi pekerjaan basah sehingga tak lagi menghiraukan etika profesi yang telah jelas siapa harus mengelola apa. Mereka yang bukan berprofesi farmasi pasti memandang enteng soal ini, tapi tak jelas apa yang membuatnya diperebutkan urusan pengelolaan bahan farmasi di RS.

3. BAHAYA dan semua seluk beluk bahan farmasi hendaknya ditanyakan pada ahlinya. Dokter bukanlah ahli farmasi yang patut ditanyai tentang vaksin ini, tetapi tanyalah pada farmasis di universitas atau Industri farmasi. Pada mereka farmasis harus tampil menjelaskan khususnya kepada peneliti yang menguasai vaksin dan bahan farmasi lainnya yang tak kalah berbahayanya.

4. Organisasi profesi farmasi harus dimintai kontribusi tanggung jawabnya untuk mencapai pelayanan farmasi secara terbuka. Pemberian izin apotik kepada yang bukan farmasis harus diluruskan agar masalah obat dapat dikelola para profesional farmasi dimana mereka bertanggang jawab profesional.

Memperbaiki point 1 sampai 4 adalah solusi masalah ini, kini dan masa datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun