Mohon tunggu...
SJ Arifin
SJ Arifin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemahat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kadar Populisme Bowo dan Joko

11 Juni 2014   06:51 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kontestasi politik Pilpres diikuti oleh semakin sedikit pasangan. Tahun 2004 ada 5 pasangan Capres-Cawapres, Pilpres tahun 2009 diikuti oleh 3 pasang, tahun ini bahkan hanya 2 pasangan, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Kendati makin sedikit kontestan, memilihnya bukan makin mudah. Itu jika kita menggunakan pertimbangan nalar rasional dalam menentukan pilihan.

Sederhana saja, kita kesulitan membedakan program-program yang ditawarkan Capres-Cawapres. Satu dan yang lain menawarkan masakan yang hampir sama, hanya berbeda dalam kemasan. Semua bermain di zona aman demi menyenangkan pemilih, bukan menawarkan pendirian dan gagasan orisinilnya. Sebagai contoh, semua Capres pasti akan menawarkan “ekonomi kerakyatan”, tak peduli warna partainya merah, kuning, atau hijau.

Dilihat dari aspek ini, kita patut “berterimakasih” kepada Orde Baru yang telah melandaikan jurang perbedaan antar kubu politik, warisannya kita rasakan hingga saat ini. Bandingkan dengan tawaran beraneka ragam dengan pendirian ideologis yang kokoh ala Orde Lama, Orde Baru menyajikannya lebih praktis. Jika di belahan dunia lain tawaran politik kiri baru menyerah setelah puluhan tahun gagal mengalahkan opsi kanan dalam pertarungan fair, maka di Indonesia cukup dengan sekali pukulan maut, bungkamlah kekuatan kiri untuk selamanya. Praktis dan hemat.

Di tengah tawaran aneka masakan yang nyaris sama, baiknya kita kembali ke titik primitif. Yakni mencari titik-titik persamaan antara identitas kita dengan sang kandidat. Jika kebetulan sampeyan adalah orang Jawa dan abangan, maka jangan jauh-jauh dari kandidat berlatar belakang identitas yang sama, tanpa perlu menengok pendirian, pandangan politiknya, dan tawaran programnya. Jika anda orang Minang dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah, pilihlah yang terlihat lebih santri. Jika kalian bukan siapa-siapa, pilihlah yang ganteng, dst, dst.

Dengan begitu sesungguhnya, dalam tema dan kualitas preferensi, Pilpres ini tidak begitu jauh berbeda dari Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dengan pemilih sebanyak ratusan juta orang.

Populisme Versus populisme

Mari kita tidak terlalu berkecil hati. Kita coba mengukur dari yang paling kelihatan saja

Kedua Capres kita saat ini, Prabowo Subiyanto dan Joko Widodo, mengangkat panji-panji yang hampir sama, yaitu panji-panji populisme. Populisme adalah doktrin politik yang mencoba menarik kepentingan masyarakat awam dan mengkontraskannya dengan kepentingan elit. Tema-tema seperti kemandirian, berdikari, kepentingan rakyat banyak, pro poor, anti asing masuk ke dalam cluster ini.

Siapa tidak kenal tema dan gaya kampanye Prabowo? Pidato berapi-api agar kita tidak “dijajah” asing dan berdiri di atas kaki sendiri. Siapa tidak kenal Jokowi? Dengan kesederhanaan, ketulusan, kesabarannya untuk mendengar, dan keapa-adaannya.

Sama-sama menawarkan populisme, hanya ada garis tipis yang membedakan Prabowo dan Jokowi. Jika Prabowo kita kenal dari kampanye dan pidato-pidato menggetarkan, maka Jokowi kita kenal dari karya-karyanya, mobil Esemka, penataan Tanah Abang dan Waduk Pluit.

Prabowo kita kenal sebagai karakter yang unik dan membingungkan, dari taruna militer yang bengal dan manja hingga pelanggaran berat menculik aktivis yang berujung pemecatannya dari dinas militer tahun 1998, tiba-tiba ia diakui sejumlah kalangan sebagai jenderal hijau/Islam (entah dari mana reasoningnya), kemudian berubah lagi menjadi tokoh yang menawarkan agenda “kekiri-kirian” ala Hugo Chavez. Politik bagi Prabowo bak dunia petualangan koboy remaja, dari satu tema ke tema yang lain.

Jokowi, sejak kemunculannya yang mengejutkan di puncak perbincangan politik pada 2012, segera menjadi golden boy yang merombak banyak persepsi negatif awam tentang politik yang “kotor dan memuakkan”, ia memberi banyak harapan untuk politik dan demokrasi masa depan yang terus digerus apatisme. Bukan melalui pidato-pidato menggelegar, tetapi dengan kemauannya mendengarkan, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Politik bagi Jokowi adalah dunia pelayanan publik.

(P)opulisme bagi Prabowo adalah kibaran bendera-bendera merah besar, menghiasi panggung yang tinggi, tempat ia akan bertahta sendirian di atasnya, sambil menggenggam erat tongkat komandonya. (p)opulisme bagi Jokowi adalah duduk bersila bersama yang lain, dalam dialog yang hangat dan setara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun