Mohon tunggu...
SJ Arifin
SJ Arifin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemahat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (3)

8 Mei 2014   10:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebangkitan Pertama dan Kedua.

Seorang pensiunan dokter Jawa, yang terinspirasi oleh gerakan nasionalis Tiongkok dan gerakan Turki Muda, berkeliling pulau Jawa menemui para elit, sekitar 1906, berupaya meyakinkan para bupati tentang pentingnya membangun organisasi modern. Berbekal tabungan pribadi untuk membiayai perjalanannya, ia nyaris putus asa menghadapi apatisme bupati-bupati Jawa yang ditemuinya. Seruannya tak membuahkan hasil.

Hingga kemudian dr. Wahidin Sudirohusodo, nama pria itu, mendapatkan kesempatan menyampaikan gagasannya di hadapan para yuniornya, para siswa STOVIA, Sekolah Dokter Jawa. Adalah Sutomo, Suraji, Gunawan Mangunkusumo, dan para calon dokter Jawa lainnya terpukau oleh gagasan Wahidin. Anjuran Wahidin kemudian termanifestasi dalam pendirian organisasi bernama Budi Utomo, 20 Mei 1908.

Sesungguhnya Budi Utomo bukanlah organisasi pertama yang didirikan pribumi. Tahun 1905, Haji Samanhudi telah mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) di Solo. Tahun 1906, Tirto Adhisuryo telah mendirikan Serikat Priyayi. Namun Budi Utomo lah organisasi pertama yang disusun secara modern.

Meskipun Budi Utomo sangat terbatas, baik dalam keanggotaan yang hanya meliputi bangsawan priyayi Jawa dan Madura, terbatas dalam hal program dan aktivitas yang hanya bersifat pembinaan kebudayaan Jawa, namun harus diakui ia turut memicu lahirnya organisasi-organisasi modern di kalangan pribumi, dengan visi dan cita-cita jauh melampaui Budi Utomo yang konservatif. Di antaranya adalah Serikat Islam (berdiri tahun 1912 sebagai kelanjutan SDI), Indische Partij (partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri 1912), dan Perserikatan Muhammadiyah (1912).

Salah satu visi yang berkembang jauh pada dekade kedua abad 20 adalah bersemainya ide tentang sebuah bangsa di kalangan elit pribumi. Inilah dampak langsung dari menjamurnya organisasi-organisasi modern yang dibentuk pribumi. Pertanyaan tentang siapakah diri mereka (identitas) berkembang menjadi topik yang lebih serius, yakni tentang nation. Diskusi adalah hal yang tidak terelakkan dalam organisasi modern manapun, apalagi rata-rata organisasi tersebut memiliki sarana modern untuk memperluas ide dan gagasan, yakni melalui surat kabar.

Hal lain yang lebih mendasar dan memberikan pengaruh paling kuat bagi pembenihan gerakan kebangsaan adalah pendidikan modern yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad 20, sebagai implementasi politik etis. Generasi yang lahir menjelang dan atau di sekitar pergantian abad 20 adalah generasi yang jauh lebih beruntung dari para pendahulunya, karena mereka berkesempatan mereguk pendidikan modern sejak pra-remaja. Generasi inilah yang memenuhi dekade kedua abad 20 dengan luapan api nasionalisme.

Tercatat pergerakan nasional Indonesia mengalami percepatan radikalnya pada era 1920-an. Mereka dengan berani menyatakan identitas dirinya sebagai orang Indonesia. Jika generasi kelahiran abad 19 menggagas kebangkitan pertama dengan format kebudayaan, maka generasi kelahiran awal abad 20 mendorong kebangkitan kedua kearah sosial politik dan kebangsaan.

Ini tercermin dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah itu adalah deklarasi yang lantang tentang ke-Indonesia-an. Hampir semua penggagas Sumpah Pemuda adalah pemuda tanggung di bawah 25 tahun. Namun apa yang mereka lahirkan menimbulkan gegar budaya, letupan besar yang mengobarkan jiwa kebangsaan. 28 Oktober 1928 bukan hanya tentang sumpah pemuda, namun hari itu sesungguhnya adalah hari kelahiran bangsa Indonesia.

Arahnya kemudian mudah diterka. Para remaja ini, memiliki sisa umur yang sangat panjang untuk memastikan apa yang telah mereka lahirkan pada 28 Oktober 1928 menjadi kenyataan. Meskipun demikian, bukan berarti jalan itu mudah.

Mereka bukanlah mayoritas. Mereka hanya sebagian kecil saja dari elit terdidik yang umumnya hidup nyaman dalam asuhan Hindia Belanda. Mereka bisa saja hanya menjadi advokat, dokter, priyayi biasa dalam birokrasi Hindia Belanda yang menjanjikan kesejahteraan. Namun mereka memilih jalan hidup penuh tantangan, diasingkan, dibuang, dipenjara, demi mengejar cita-cita luhur terwujudnya sebuah bangsa. Dibandingkan 60 juta pribumi di Hindia Belanda saat itu, mereka hanyalah setitik api yang terus membakar sekelilingnya.

Dan kemudian momentum itu datang di pertengahan abad 20, ketika generasi tersebut memasuki usia matang. Kesempatan itu datang setelah pasukan kekaisaran Jepang mendarat, menyapu Hindia Belanda dari peta dunia. Dalam semalam, tatanan yang berdiri kokoh sepanjang 142 tahun tiba-tiba runtuh. Jam sejarah seperti dikembalikan ke titik nol untuk memberikan kesempatan para pejuang kebangsaan mencangkulkan gagasannya di tanah yang subur. Ironisnya, Belanda dan pengikut-pengikut setianya sama sekali tidak menyadari bahwa mereka tak lagi diinginkan. Semua telah berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun