Mohon tunggu...
SJ Arifin
SJ Arifin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemahat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (4)

9 Mei 2014   08:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Merdeka dan Pertarungan Ideologi

Entah apa yang ada di benak Bung Karno dkk saat mengumumkan proklamasi kemerdekaan terpendek di dunia. Deklarasi kemerdekaan Indonesia hanya terdiri dari 33 kata, sudah termasuk judul dan keterangan. Jika saat itu sudah ada media sosial, Bung Karno cukup men-posting lewat akun twitternya, dengan hashtag #proklamasi.

Ini agak kontras dengan persiapan panjang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Diskusi dan perdebatan di BPUPKI dan PPKI sangat bernas, mungkin salah satu debat terbaik dalam persiapan kemerdekaan di seluruh Asia. Kita patut bangga akan kecemerlangan pemikiran para founding fathers.

Dalam proklamasi, dinyatakan bahwa hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mirip dengan pernyataan “yang penting merdeka dulu deh, yang lain-lain dipikir nanti saja”.

Mungkin karena saat itu situasinya darurat. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi hari esok. Tak ada yang mampu menebak bagaimana sikap Jepang setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Apalagi sehari sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta baru saja diculik kelompok muda radikal yang menuntut proklamasi saat itu juga.

Indonesia merdeka adalah wabah ganas yang menyebar secepat kilat. Tiba-tiba saja publik awam yang sebelumnya tidak punya imajinasi hidup tanpa Belanda, seketika kerasukan virus baru: MERDEKA!. Belanda yang berusaha datang kembali pun kecele dengan sambutan pribumi Hindia. Hanya ditinggal 3 tahun dan tiba-tiba semua telah berubah.

Indonesia merdeka memberi kemudahan lain. Struktur sosial relatif setara. Para elit nasional baru bukanlah elit ekonomi. Tidak ada borjuis kakap yang mampu mendominasi atmosfir sosial baru. Ini memudahkan peleburan kekuatan sosial untuk mendukung negeri baru.

Elit sosial baru, terdiri para aktivis politik yang lebih mirip intelektual kampus, dan elit militer yang umumnya anak-anak muda bersemangat namun masih mau mendengar pimpinan politik yang lebih senior. Wibawa para pemimpin politik sangat tinggi. Jika saja mereka mampu bergerak maju sembari tetap mempertahankan keseimbangan sosial, Indonesia akan menjadi bangsa besar.

Di sisi lain, Indonesia adalah negeri yang sangat kaya. Sumber daya alamnya melimpah-limpah dan relatif belum dieksploitasi. Namun sumber daya manusia terdidik sangat terbatas, mirip dengan kondisi negeri post colonial yang lain.

Setelah berhasil mendepak Belanda yang mencoba kembali, republik muda ini mulai berbenah menyambut masa depannya. Kekuatan-kekuatan sosial yang relatif seimbang bertarung ketat memenangkan ide-idenya tentang cara bagaimana menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pertarungan gagasan ini cukup bermutu dan dinamis, namun terlalu melelahkan, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa bertukar pikiran, dan bagi mereka yang ingin negeri baru ini segera membenahi ekonominya.

Kegagalan demokrasi liberal menyelesaikan perbedaan-perbedaan di dalamnya dan pergolakan daerah semakin menimbulkan frustasi elit, memberi inspirasi pada Bung Karno untuk mengubah keseimbangan politik yang mengitarinya. Demokrasi terpimpin dianggap sebagai jawaban.

Pada aspek ekonomi, perkembangan bisa dikatakan stagnan stagnan. Politik, ideologi, dan character building dianggap lebih mendasar dibanding ekonomi. Bung Karno sendiri cenderung menunda eksploitasi besar-besaran SDA sebelum SDM nya siap.

Namun kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul tidak perlu lama untuk menyadari kebutuhan mereka akan modal, untuk mengalahkan rival-rivalnya. Siapa yang mengontrol kekayaan Negara yang melimpah, dialah yang akan mendominasi atmosfir sosial politik di negeri Indonesia.

Kondisi ini dapat dibaca cukup jernih di sekitar program nasionalisasi aset-aset Belanda di Indonesia sekitar tahun 1958. Perusahaan-perusahaan dan perkebunan milik Belanda senyatanya merupakan tumpukan modal yang menggiurkan siapapun. Satu-satunya akumulasi modal yang siap pakai pada dekade awal Republik Indonesia. Di atas kertas saja itu namanya nasionalisasi (yang berarti untuk negara dan kepentingan umum), namun di lapangan yang terjadi adalah perebutan untuk mendominasi aset di kalangan kekuatan-kekuatan sosial. Di kancah ini, pemain utamanya adalah Militer dan PKI.

Sejarah kemudian membukakan jalan bagi Militer untuk memenangkan pertarungan sosial tersebut, yang dituntaskannya dengan cara brutal dan berdarah-darah pada tahun 1965. Hukum sejarah dengan telak membuktikan bahwa siapa yang mengontrol aset (modal) nasional dialah kekuatan dominan di lapangan sosial. Itulah Orde Baru dengan militer di puncak piramidanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun