Mohon tunggu...
Sixtus Tanje
Sixtus Tanje Mohon Tunggu... -

Guru di Sekolah Kristoforus,Lulusan Magister Psikologi di UPI- YAI, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional dan Jebakan Formalisme: Curahan Hati Seorang Guru

22 April 2013   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:48 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional dan Jebakan Formalisme,

Curahan Hati seorang Guru

Oleh: Sixtus Tanje, M.Psi

Konselor di Persekolahan Santo Kristoforus, Jakarta Barat.

Sebagai salah satu elemen dari realitas plural negara-bangsa Indonesia, para siswa dari SD hingga SMU, berada di bawah kultur birokrasi pemerintahan. Mereka terikat di bawah belenggu kultur formalisme birokrasi Negara – yang berintikan ketidakpercayaan akan kualitas kemanusiaan mereka. Jika kita renungkan, inter-relasi manusia di negeri ini seolah menjadi begitu tipis dan tak berarti ketika pengakuan eksistensi merekaharus diukur melalui Ujian Nasional (UN). Artinya, seorang anak manusia di negeri ini hanya dinilai ada jika namanya tertulis lulus pada selembar ijazah UNyang disitu ada torehan nama, nomor keputusan, selembar foto, danada tanda-tangan pejabat yang berwewenang.Jadi, baik saya (sebagai guru), maupun pejabat instansi-instasi birokrasi, sama-sama terjebak dalam kultur formalisme– yang sama-sama ikut menenggelamkan nilai eksistensi diri manusia muda di negeri ini, manusia yang masih harus bertumbuh dan berkembang - yang tidak pantas untuk dinilai lulus atau tidak lulus dari sebuah hasil UN semata, karena justeru akan mematikan semangat berprestasi mereka kedepannya.

Pertanyaan reflektif yang pantas diajukan adalah: Mengapa kita terbelenggu oleh berkas persyaratan formal?Sampai kapan kualitas kemanusiaan kita diukur dengan secarik kertas?Pantaskah kualitas dan martabat manusia kita dimaknai dan ditimbang sama beratnya dengan sekedar stempel dan tanda tangan pada selembar identitas?

Kenyataannya sejauh ini, birokrat bidang pendidikan kita, masih lebih percaya kepada secarik kertas hasil UN yang di dalamnya ada stempel, tanda tangan, dan selembar foto, daripada jati dirisesungguhnya dari seorang manusia itu sendiri. Stempel di negeri iniseolah senjata paling ampuh untuk membuka pintu-pintu birokrasi. Dan manusia,seperti bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kertas berstempel - padahal membuat stempel “imitasi” pun begitu mudah dengan mendatangi “tukang stempel” pinggiran jalan untuk distempel pada secarik kertas hasil UN, bahkan untuk distempel pada secarik ijasah sarjana S1-S3 palsu di negeri ini. Maka, tidak mengherankan apabila uang di berbagai instansi di negeri ini gampang ‘menguap’ gara-gara kepercayaan berlebihan kepada stempel dan tanda tangan.

Guru dan Agen Formalisme

Kalau kualitas pribadianak didik kita hanya ditakar dengan ‘ijazah hasil UN, sembari mengesampingkan prestasi non akademik lainnya, maka alangkah dangkalnya cara kita mengukur ekisistensi manusia muda yang unggul di negeri ini. Sejauh ini, guru-guru di sekolah telah terjebak dalam arus formalisme hingga menjadi agen atau perpanjangan tangan birokrasi pemerintah dalam penyelenggaraan UN. Dalam kaitan dengan UN, misalnya, guru berada dalam posisi dilematis. “Menolak UN tak kuasa, mengiakan pun seolah penuh keterpaksaan”. Pada posisi dilematis itu, ia juga tak bedanya dengan siswa didiknya yang seolah kehilangan eksistensi keguruannya, sehingga ia tengggelam dalam jebakan formalisme. Sekolah tempat dirinya berpijak, kini tidak lebih darisebuah instansi yang apa pun bisa dipalsukan yang penting tampangnya ‘legal formal’.

Hasil yang diperlihatkan adalah bahwa begitu banyak orang-orang yang duduk di instansi publik kita adalah kumpulan orang-orang dengan performance taat pada atasan, suka manggut, dan dalam berbagai kasus sangat responsif. Tetapi di balik semua formalisme itu mungkin tersimpan segala akal bulus. Dan nyatanya, di semua instansi di negeri kita saat ini, disadari atau tidak, semuanya berada di bawah belenggu kultur formalisme itu. Semuanya, terjebakdalam permainan kepentingan – sehingga di sana ada perilaku korupsi, kolusi, nepotisme, mafia kasus, dan berbagai perilaku kekerasan.

Kondisi rendahnya kualitas SDM di negeri ini semuanya berawal dari pelayanan publik bidang pendidikan kita yang lebih mementingkan kulit daripada isinya. Yang diutamakan adalah kemasannya yang mewah daripada isinya yang berkualitas. Birokrat yang bertutur kata manis dan memuji-muji dianggap lebih besar cintanya kepada masyarakat daripada para guru yang berpenampilan sederhana yang berkata jujur dengan sedikit pahit di hadapan anak didiknya. Bawahan yang suka manggut-manggut, dan bekerja dengan prinsip Asal Bapak Senang (ABS), dinilai lebih loyal daripada seorang bawahan yang kritis dan kreatif. Suka dengan formalisme, itulah masalah yang menghantui kehidupan sosial mulai dari instansi pemerintahan paling tinggi hingga kelompok rukun tetangga yang paling kecil, mulai dari instansi pendidikan paling tinggi (Departemen pendidikan nasional) hingga instansi pendidikan paling kecil (sekolah-sekolah).

Ancaman kultur formalisme, sebagaimana digambarkan di atas akhirnya mengaburkan arti kesejatian. Kita menjadi sangat menggandrungi pujian dan tidak suka kritikan; lebih menyukai dasi dan pakaian yang rapi daripada kerapian pikiran, lebih suka korup hati daripada korup penampilan, lebih suka dianggap kaya daripada benar-benar kaya, lebih suka dianggap pakardengan pura-pura pandai daripada sungguh-sungguh pakar pada suatu bidang tertentu.

Akibat jebakan formalisme yang terus beredar, maka kini makin banyak kepalsuan, serta makin sulit mencari kebenaran dan menemukan kesejatian. Rimba formalisme yang menjebak pelayanan pendidikan sejauh ini justru mempersulit orang untuk menemukan persoalan dan apalagi pemecahannya.Persyaratan-persyaratan formal tentu saja penting, tetapi menghormati keberadaan seorang manusia adalah hal yang lebih penting. Artinya, tuntutan perangkat formal mestinya harus disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan real kehidupan bangsa.

KTSP dan Peran Guru

Idealnya, pada pemberlakuan KTSP, Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan bukan Ujian Nasional (UN) harus bisa dikelola oleh sekolah masing-masing. Dengan begitu maka tujuan dan target KTSP yaitu memberi wewenang penuh kepada guru dalam menentukan bahan ajar menjadi lebih rasional. Ujian sebagai bagian dari kegiatan evaluasi belajar siswa, sejatinya adalah tugas para guru yang dilaksanakan untuk empat tujuan. Pertama, ujian memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan lingkup serta kedalaman pengetahuannya, Kedua, ujian memberikan kesempatan kepada guru mengenai efektif tidaknya cara mengajar yang telah dilakukannya, Ketiga, ujian sebagai alat (sarana) evaluasi pengalaman belajar terdahulu, dan Keempat, nilai ujian harus bisa memberikan satu tujuan akhir guna memotivasi siswa untuk belajar dan terus belajar.

Empat hal yang diuraikan di atas sebagi tugas utama guru, bertujuan mengembangkan sistem belajar asli masyarakat untuk mempertahankan nilai budaya tanpa menghilangkan refleksivitas siswa. Sebab makna pendidikan sejati adalah mampu mengembangkan daya kreativitas, mampu merefleksikan setiap keadaan, dan mampu menjadikan dirinya produktif secara humanistik.

Dalam sistem belajar asli seseorang dituntut mampu mengalami sesuatu secara nyata, Kemampuan mengevaluasi sebagai dimensi profesionalitas adalah mengevaluasi dan bukan mendikte perkembangan siswa secara utuh dan terus menerus, bukan berlangsung saat-saat akhir suatu jenjang pendidikan semata dan juga tidak dapat dilakukan serempak dan massal. UN adalah salah satu bentuk mendikte perkembangan siswa secara nasional yang tujuan dan model pelaksanaannya banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan secara terstruktur oleh negara. Dan UN yang masih berlangsung secara massal saat ini adalah suatu tanda dimana kita masih berada dalam jebakan formalisme.

Sixtus Tanje,

Alamat Rumah: Jl.Taruna II, Rt 01/RW.03, No.2, Kelurahan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat

Telephone: 081288327678, email: sixtustanje@yahoo.com

No. Rekening; 117-00-0475584-9 (Bank Mandiri Cabang Kiyai Tapa, Jakarta Barat)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun