Mohon tunggu...
Sixtus Tanje
Sixtus Tanje Mohon Tunggu... -

Guru di Sekolah Kristoforus,Lulusan Magister Psikologi di UPI- YAI, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Remaja dan Facebook

31 Agustus 2012   02:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, facebook sebagai bagian dari media jejaring sosial, telah memberikan dampak perubahan perilaku bagi penggunanya hingga memprihatinkan. Di sekolah, misalnya, sejumlah kasus yang muncul karenanya cukup mengganggu dan menyita kinerja para guru. Ada banyak siswa yang berkelahi di sekolah (di dunia nyata) setelah sebelumnya saling caci maki via facebook (di dunia maya). Banyak juga keluhan para orang tua kepada guru lantara banyak para siswa yang menulis di facebook dengan bahasa yang kasar, vulgar, dan tidak santun.

Hasil pengamatan saya pada dua tahun belakangan ini di sekolah, para siswi dengan Inteligence Quetion (IQ) rata-rata (90-109), IQ di atas rata-rata ( 110-129) dan IQ jauh di atas rata-rata (di atas 130), ketika diberi fasilitas elektronik yang lengkap (HP, internet, dll), dikontrol penggunaannya oleh orang tua, maka prestasi belajar mereka bertambah baik dan perilakunya juga mudah diarahkan. Sebaliknya, siswa-siswi yang berada dalam kategori IQ di bawah rata-rata (81-89) dan yang ber IQ jauh dibawah rata-rata (angka 80 ke bawah), ketika diberi fasilitas elektronik berlebihan (HP, internet, dll), tidak dikontrol penggunaannya oleh orang tua karena sibuk bekerja, tidak peduli, dan tidak tahu kemampuan dasar anaknya maka prestasi belajar mereka menjadi sangat rendah dan sulit diharapkan, termasuk perilakunya sangat sulit diatur untuk beradaptasi dengan tata tertib di kelas, di sekolah, di gereja, dan di masyarakat.

Hasil di atas hendak menjelaskan bahwa, “ada hubungan yang erat antara pemberian fasilitas dengan prestasi seorang anak”. Untuk itu dalam permberian sebuah fasilitas hendaknya orangtua mengerti terlebih dahulu kemampuan dan posisi intelektual anaknya, mengerti watak anaknya, tahu kemampuan tanggung jawab anaknya terhadap tugas tertentu dan lain sebagainya.

Juga “ada hubungan antara tingkat kecerdasan seorang anak dengan fasilitas apa yang harus dia pakai”. Secara psikologis dapat dijelaskan bahwa anak yang berintelektual baik, biasanya memiliki tingkat kontrol diri yang baik (self control), cenderung mampu mengatur diri (self regulation), bersikap mandiri, bertanggung jawab, dan berkomitmen tinggi – sehingga ketika diberi fasilitas apa pun dia mampu menggunakannya secara proporsional dengan tanpa melupakan tugas lain yang dibebankan kepadanya, bahkan dia bisa menggunakan semua fasilitas itu untuk meningkatkan prestasi dirinya. Di masyarakat, tidak jarang kita saksikan banyak para siswa yang sukses mengembangkan dirinya oleh pemberian fasilitas seperti ini.

Kebalikan adalah siswa dengan kemampuan intelektual rendah, biasanya akan mudah terpangaruh dengan kehadiran fasilitas yang berlebihan dan mewah, apalagi kalau tidak disertai dengan penggontrolan yang terukur dari orangtua sang pemberi fasilitas.

Kita tahu, bahwa facebook adalah media yang proses kerjanya berdasar pada prinsip elektronik dan gelombang elektromagnetis. Media elektronik menyampaikan pesan dengan cara mendengarkan suara (audial) dan memperlihatkan gambar (visual). Media ini kemudian bagi masyatakat disukai karena memiliki beberapa kelebihan antara lain: mudah didapatkan terutama di kota-kota besar, harga relatif murah (saat ini), mudah memberikan informasi secara jelas, cepat, dan akurat, serta dapat menjangkau khalayak yang luas, serta siapapun bisa mengaksesnya dengan mudah, tidak terkecuali anak-anak hingga orang dewasa, baik yang berpendidikan, maupun kurang terdidik.

Menyikapi banyaknya dampak negatif yang terjadi karena facebook, maka upaya mengajarkan etika bermedia menjadi hal penting yang harus dilakukan. Sekolah sebagai institusi formal diharapkan mampu merancang kurikulum khusus untuk mengajarkan etika bermedia pada para siswa agar tidak sekedar mengajarkan Teknologi Informasi (IT) semata. Sejauh ini dalam pengamatan saya, guru IT dan guru Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah formal hanya sibuk mengajarkan berbagai program mutakhir IT dan tata bahasa yang baik dan benar semata dan tidak disertai dengan memberi pemahaman kepada anak didik tentang etika penggunaan IT yang diajarkan itu. Akibatnya, para siswa dengan gampang mengikuti perkembangan teknologi yang ada, lalu menggunakannya secara salah atau untuk tujuan yang salah.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP, edisi Minggu 12 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun