Mohon tunggu...
Sixtus Tanje
Sixtus Tanje Mohon Tunggu... -

Guru di Sekolah Kristoforus,Lulusan Magister Psikologi di UPI- YAI, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sinetron Vs Mutu Pendidikan

22 Mei 2012   02:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan Windraty berjudul “Sinetron Pembodohan Masyarakat” pada surat pembaca Harian Kompas 13/11/2004 silam dan beberapa tulisan serupa oleh banyak penulis di media lain, sungguh menggelitik. Sinetron-sinetron yang ditayangkan lewat media televisi saat ini, tidak bermutu karena tidak berbau akademik dan bukan merupakan realita yang ada di masyarakat. Kekasaran, pelecehan, keglamoran, materialistik, serta pemuasan hawa nafsu, terlau banyak ditonjolkan, yang tidak ada relevansinya dengan upaya mencerdaskan anak bangsa serta meningkatkan mental masyarakat.

Apa yang dikeluhkan Windraty bukan tidak mungkin juga digelisahkan oleh banyak masyarakat lain. Sebab jika kita cari hubungan antara isi sebuah sinetron dengan upaya mencerdaskan anak bangsa, sebagaimana yang diinginkan, maka hampir pasti sulit ditemukan. Sebaliknya, kalau kita kaji sisi negatif dari sebuah sinetron dengan penyimpangan perilaku masyarakat yang menontonnya, mungkin sangat mudah kita temukan. Dan beberapa judul sinetron remaja saat ini telah menjadi sumber kegelisahan baru yang ‘menampar’ wajah dunia pendidikan kita. Setidaknya ada tiga bentuk penyimpangan etika dari pengaruh negatif tayangan sinetron remaja saat ini;

Pertama, penyimpangan etika penampilan. Belakangan, para siswa sekolah menengah (SLTP/SMU) kelihatan sulit membedakan cara penampilan yang harus ditunjukkan ketika bertandang ke tempat rekreasi dengan cara penampilan saat ia ke sekolah. Di sekolah misalnya, akan mudah kita lihat kemeja para siswa dibiarkan berada diluar celana dan rok para siswinya kelihatan mini. Selain itu, tidak jarang kita saksikan siswa yang mengecat rambut, memakai perhiasan berlebihan, dan sebagainya.

Kedua, penyimpangan etika bertutur (berbicara). Tidak sedikit jumlah siswa remaja saat ini yang kesulitan membedakan cara berbicara dengan orang yang lebih tua usianya, termasuk dengan guru dan orang tuanya sendiri. Juga kelihatan sulit membedakan cara berbicara di tempat resmi dengan cara berbicara di tempat bermain. Bahkan materi pembicaraan yang menyerempet sarkasme dan porno gampang begitu saja keluar tanpa beban dari mulut para remaja sekarang.

Ketiga, penyimpangan etika pergaulan. Dalam hal pergaulan, remaja sekarang juga sangat sulit melakukan seleksi dalam memilih teman bergaul. Akibatnya, tidak sedikit remaja yang terlibat dalam berbagai tindak kriminal seperti; menjual narkotika dan obat terlarang (Narkoba), praktik sex bebas, tawuran antar pelajar, mencuri, pembunuhan, dan sebagainya.

Terhadap ketiga bentuk penyimpangan di atas, banyak kalangan menuding tayangan televisi sebagai penyebab utamanya. Sinetron-sinetron remaja yang marak diputar hampir di seluruh stasiun televisi, misalnya, banyak menunjukan adegan-adegan yang tidak santun dalam berpakaian, sikap, termasuk cara bertuturnya. Akibatnya, muncul perilaku konsumtif, materialis, egois, termasuk perilaku semau gue pada diri remaja. Selain itu, adegan-adegan yang ditampilkan dalam sinetron juga ternyata menjadi model yang begitu gampang ditiru para remaja ketimbang mengikuti apa yang diajarkan para guru di sekolah dan orang tua di rumah. Televisi kemudian telah menjadi “sekolah utama” pada sebagian besar para remaja sekarang dan “sinetron remaja” merupakan pelajaran kesukaannya.

* * *

Kalau kita kaji secara mendalam, mutu pendidikan dan mutu manusia pada satu peradaban ternyata tidak hanya ditentukan oleh kurikulum, guru yang profesional, buku pelajaran, serta sarana dan pra sarana pendidikan semata, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan tempat seseorang bersosialisasi. Sayangnya, perdebatan tentang mutu pendidikan di negeri ini belum cukup menyadarkan masyarakat kita untuk menganalisa dampak lingkungan terutama tayangan sinetron remaja terhadap penyimpangan perilaku – yang berefek pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh para siswa di sekolah.

Tidak selektifnya berbagai informasi yang di konsumsi para siswa didik di bawah umur selama ini telah menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Maraknya penjualan dan rental VCD porno, serta menjamurnya berbagai tayangan porno aksi di media elektronik yang hanya berorientasi bisnis semata – mulai dari pameran aksi goyang ngebor dan ngecor di acara dangdut hingga adegan-adegan porno di berbagai sinetron remaja sendiri justeru menggiring para siswa untuk sejak dini menikmati hal-hal yang seharusnya belum saatnya dia konsumsi. Jika dulu ada klasifikasi film 17 tahun ke atas, maka sebaliknya saat ini tidak ada lagi klasifikasi usia dalam menonton sebuah film. Seolah atas nama kebebasan, maka di depan layar televisi semua (anak-anak sampai orang dewasa) mempunyai hak yang sama.

Kondisi ini mengakibatkan para remaja berubah cara pandangnya tentang sekolah oleh berbagai informasi yang ditawarkan dari luar institusi pendidikan. Jika dulu, sekolah dianggap sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan pembentuk aklak, maka sekarang persepsi itu telah diubah dengan cara pandang baru bahwa ‘sekolah adalah tempat bersenang-senang,’ tempat mengisi waktu luang, dan bahkan tidak jarang sekolah menjadi tempat aktivitas berpacaran semata. Cara pandang yang keliru ini muncul dalam diri siswa karena apa yang mereka saksikan di sinetron lebih banyak adegan berpacarannya ketimbang aktivitas belajar, walaupun setting filmnya adalah ruang kelas. Pada tataran inilah teriakan nihilisme muatan moral dalam tayangan film remaja termasuk berbagai bentuk tayangan lainnya di media elektronik layak dilontarkan.

Akibat negatif lain dari tayangan film remaja yang diputar hampir semua stasiun televisi, dunia baca menjadi kurang diminati para siswa. Pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan di rumah, ternyata sebagian besar siswa hanya menghabiskan waktu di rumahnya dengan menonton sinetron. Parahnya lagi, perilaku dan tutur kata para siswa belakangan ini lebih gampang meniru ucapan tokoh idolanya dalam sinetron ketimbang mengikuti apa yang diajarkan para guru di sekolah dan orang tuanya di rumah.

Maraknya berbagai sinetron remaja, baik produksi dalam negeri maupun film-film terjemahan dari Cina, Korea, Jepang, dan Hongkong belakangan ini sudah seharusnya diwaspadai. Penulis skenario film telah mematok target para siswa remaja sebagai pasar film paling laris. Target berikutnya ditetapkan para perancang mode yang menampilkan desain pakaian yang tidak mempertimbangkan akibat negatifnya bagi perkembangan anak didik.

Sayangnya, kondisi ini tidak cukup disadari masyarakat kita. Kegelisahan kita tentang rendahnya mutu pendidikan belum menghantar kita menuju analisa dampak tayangan film remaja terhadap perubahan perilaku dan rendahnya prestasi belajar pada sebagian besar remaja di sekolah.

Selain itu, dalam proses pendidikan kita saat ini telah terjadi kebingungan dalam diri anak didik lantaran antar apa yang diajarkan guru di kelas dengan realitas yang ada di masyarakat sangat kontras. Di kelas, misalnya, guru agama mengajarkan siswa didiknya untuk “tidakmencuri barang milik orang lain,” tetapi kasus korupsi miliaran rupiah oleh para elite, menjadi judul berita media massa setiap hari. Guru menekankan etika berpakaian yang sopan pada siswa selama berada di sekolah tetapi porno aksi dan pornografi menghiasi media elektronik dan media cetak setiap saat. “Hormat dan cintai sesama,” merupakan kata yang hampir setiap hari dikumandangkan para guru di sekolah tetapi ‘adu jotos’ pada para politikus menjadi tontonan menarik dilayar kaca. Selanjutnya, menjadi semakin sulitnya para siswa memahami materi yang diajarkan para guru di sekolah, manakala angka korupsi pada elite negara semakin meningkat, dan angka kasus perceraian pada para selebritis semakin menanjak - yang kesemuanya itu menjadi berita setiap saat di media massa.

* * *

Sudah menjadi kegelisahan berabad-abad lamanya, bahwa pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat semata, termasuk didagangkan. Dalam praktik pendidikan kita belakangan, tidak saja sarana dan pra sarana pendidikan yang didagangkan banyak kalangan, tetapi anak didik sendiri menjadi sasaran dan target dagang. Maksudnya, selain siswa didik hanya ditempa untuk kelak mereka makin siap sebagai “alat yang berguna” bagi masyarakat, anak didik juga tidak jarang menjadi sasaran peredaran berbagai merek dagang, mulai dari buku pelajaran, film, mode pakaian - sampai pada narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba). Bahkan tidak jarang kita dengar, siswa usia belasan tahun sering didagangkan untuk melayani nafsu liar para lelaki hidung belang.

Pendidikan semakin menjadi kegelisahan sepanjang masa, mana kala praktik pendidikan semakin bergeser dari tujuan utamanya membantu melahirkan manusia-manusia dewasa dan matang yang kelak dengan bebas dan sadar dapat membantu masyarakatnya. Untuk terhindar dari anomali proses pendidikan yang kian ruwet, maka semua komponen masyarakat perlu membantu anak didik untuk dapat mengolah bakat dan kemampuannya agar mampu menemukan kepribadiannya. Pendidikan juga perlu membantu anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuan sosialnya agar masyarakat boleh ikut memetik keuntungan dari perkembangan mereka. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu proses kompensatoris, yang membantu anak didik untuk dapat menutupi defisit dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun