Braaak...! Simbah terjatuh. Tiba-tiba begitu saja. Di teras rumah. Sehabis menjilat matahari pagi. Kepalanya membentur ubin. Berdarah.
Mbah berusia 87 tahun. Fisiknya masih sehat. Masih bisa berjalan. Meski melangkah pelan. Keliling komplek. Tanpa alat bantu. Penglihatannya masih bagus. Pendengarannya juga lumayan oke.
Simbah sangat ramah. Murah senyum. Tak segan menyapa orang yang lebih muda. Semua orang di komplek kenal Mbah. Mereka boleh jadi 'iri'. Dalam arti positif. Belum tentu mereka bisa bertahan sehat seusia Simbah.
Saya sering bertemu Simbah jalan pagi. Seorang diri. Di lingkungan komplek. Jauh sebelum pandemi menggila. Dia tersenyum dan merundukan kepala.
"Sehat Mbah, alon-alon yo..," sapa saya.
Mbah tinggal dengan menantu dan dua cucunya. Setiap pagi, dia berjemur atau berjalan kaki. Rutin. Semata untuk menjaga kesehatan. Apalagi di tengah pandemi virus corona.
Tapi, kali ini Mbah tak berdaya. Dia beranjak usai berjemur. Namun baru setapak kaki melangkah, dia terjatuh. Entah apa penyebabnya. Semua terjadi begitu saja.
Saya tak berani berasumsi. Apalagi meraba-raba mencari tahu penyebabnya. Takut salah. Saya tak melihat kejadiannya.
"Bang tolong bantu Simbah jatuh," pintah Jemmy yang datang ke rumah saya.
Mbah mengerang sakit. Menantu dan cucunya tersentak. Kaget. Tampak darah membasahi ubin teras putih. Wanita lansia itu dibopong ke ruang tengah. Lonjoran di kursi.
Cucunya mencoba menutup luka Mbah. Supaya darah berhenti mengalir. Menantunya membersihkan darah yang tercecer di lantai. Si bungsu terus menangis sambil mengelus Mbah.