KABAR duka datang beruntun. Hampir setiap hari. Pesan dari berbagai grup Wags silih berganti. Isinya sama: innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Satu per satu sahabat pergi. Rekan seprofesi, wartawan! Mengakhiri tugasnya. Dan tak kan kembali.
Saya tak bisa berkata-kata. Mulut ini seperti terkunci. Rapat-rapat. Saya hanya bisa meratap sedih.
"Sahabat kita meninggal bang, kena covid-19," kata Dwi, wartawan senior Koran Sindo yang mengontak saya.
"Kita seperti menunggu kocokan lotere," lanjutnya yang membawa kabar duka.
Mohammad Ridwan berpulang lebih dulu karena terpapar Covid-19. Sehari sebelumnya, kami masih bercengkerama di udara. Saling tanya kabar. Mendoakan. Kami memang cukup dekat.
Boy- begitu saya panggil Ridwan- pernah sekantor dengan saya di Tabloid Gema Olahraga (GO). Kami ikut tes dan diterima pada tahun 1997 akhir. Ketika Koran Sindo lahir, dia hijrah dan saya bertahan di Fatwamati 21, Jakarta Selatan.
"Gue belom vaksin. Waktu itu telat daftar," kata Boy sehari sebelum menghirup napas terakhirnya.
Dia isolasi mandiri bersama istri dan anaknya yang juga terkena virus dari Wuhan, Cina itu. Esoknya Boy merasa tubuhnya makin lemah. Namun Malaikat menjemputnya sebelum tiba di rumah sakit.
Kepergian Boy pukulan buat saya. Hanya berselang beberapa hari setelah Neta Pane. Juga wartawan senior. Kami pernah bekerja bersama di Harian Merdeka (2008-2009).
Neta yang saya kenal sosok wartawan cerdas. Wawasannya luas dan berani. Dia juga Ketua Presidium Indonesia Police Watch dari 2004 hingga wafatnya pada Juni 2021. Ia dikenal sebagai orang yang vokal mengkritisi lembaga Kepolisian.