Jangan lupa semangat awal yang digelorakan melalui PON adalah memupuk persaudaraan, persatuan untuk membangun karakter bangsa melalui olahraga.
Tapi, muatan itu tampaknya sudah ternoda. Bonus ratusan juta rupiah telah membutakan insan olahraga. Tradisi jual beli atlet antar daerah disadari atau tidak telah merusak peradaban olahraga.
Tak heran jika sebagian besar atlet SEA Games tampil di PON juga. Bahkan PON dijadikan gengsi daerah. Sejatinya daerah harus legowo. Harus bisa memilah mana atletnya untuk PON dan SEA Games. Sejatinya PON dan SEA Games bukan puncak prestasi. Keduanya hanya jenjang sasaran antara menuju Asian Games dan Olimpiade.
Jadi disini Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus tegas. Kembalikan PON pada marwahnya. Atlet Pelatnas SEA Games 2021 dilarang tampil di PON.
SEA Games Hanoi, Vietnam mustahil dimundurkan ke tahun genap. Itu jutsru akan menjadi mata rantai masalah baru. Karena tahun 2022 ada Asian Games yang menunggu di Cina.
Olahraga sejatinya mengandung nilai-nilai tertentu yang bisa menyumbangkan konstruksi dan budaya dalam masyarakat. Manusia pada dasarnya adalah "Homo Ludens" menurut J. Huizinga. Manusia memiliki sifat dasar untuk bermain dan olahraga sebagai permainan memiliki karakteristik terbebas.
Secara fungsional olahraga memiliki peran untuk menyehatkan tubuh. Pada sisi sosial berperan dalam menanamkan nilai-nilai dan norma kehidupan yang patut untuk direnungkan dan diterapkan. Lebih jauh lagi olahraga bahkan dapat menunjukkan karakter dan identitas sebuah bangsa.
Jadi pengunduran PON Papua sebenarnya blessing. Tapi, bisa bikin pusing jika tidak disikapi dengan bijak dan tegas.
Jadikanlah PON Papua 2021 sebagai drama yang mempesona. Yang membuat bangga olahraga Indonesia dan penikmatnya menangis bahagia.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H