Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kopi Putih Pertamaku

14 Oktober 2015   19:31 Diperbarui: 14 Oktober 2015   19:53 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kopi. Selalu menggoda aromanya. Selalu. Hmmmm... 'begitu' aapa yaa..? Entah 'begitu apa' sensasinya, yang jelas: memberi efek "nyaman", "senang", "tenang", dan sering membuat bibir melengkung ke atas: tersenyum.

Hampir pasti, jika bertemu dengan kopi, akan tampak adegan konyolku seperti ini: menuangkannya ke dalam cangkir, satu tanganku memegang tatakannya hati-hati, satu tangan lagi memegang dengan mesra gagang cangkir, membawanya mendekat ke wajahku, membiarkan hidungku yang mungil merasakan uap panas dengan bonus aroma yang indah. Lalu mataku terpejam. Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga aku merasakan aroma kopi yang terbawa oleh Oksigen dan Nitrogen yang memasuki rongga hidung, menggelitik saraf-saraf penciumanku yang mengirimkan sinyal-sinyal ke neuron-neuron di otak. Hingga puncaknya kurasakan seolah ada banyak tangan bersorak di kepalaku.

Seringkali adegan itu kulakukan sembunyi-sembunyi. Khawatir orang akan memperhatikan seorang wanita terpejam lama dengan cangkir berisi kopi di depan hidungnya, dan ... berakhir dengan: tidak meminumnya.

Pasti aku akan gugup jika tiba-tiba terpergok, ada orang yang melihat adegan itu dan bertanya padaku: mengapa?

Sekali lagi, aku suka aromanya. Selebihnya, bagiku, adalah timbulnya gas yang eksesif di lambung, hingga rasa perih yang menyiksa. Bahkan rasa tidak enak itu seringnya 'naik' ke kepala, menimbulkan rasa sakit yang sulit dijelaskan dengan kata-kata: bukan pusing, mungkin lebih cenderung ke pening. Sialnya, rasa itu bisa bertahan lama disana, selama beberapa jam sesudah tegukan kopi terakhir. Efek yang harus kutanggung demi secangkir minuman berwana hitam (atau kadang berwarna lain karena tercampur dengan creamer atau susu atau teh atau apapun yang secara sengaja kutambahkan untuk mengurangi efek negatifnya) itu cukup menyiksa.

Beberapa teman pernah menyarankanku, untuk melakukan hypnotherapy, memberi sugesti positif kepada alam bawah sadarku, membujuknya, meyakinkannya, bahwa nggak akan ada efek seram akibat minum kopi. Tapi, ya, kadang aku memang bandel, atau mungkin, merasa nggak bisa (atau enggan?) lakukan hypnotherapy itu. Intinya, hypnotherapy tidak kugunakan dalam hal minum kopi. Aku lebih memilih "menciumnya tanpa menyentuhnya". Menikmatinya dari jarak tertentu. Lebay, ya? Lebay as you always, ledek otak kananku, sambil terpingkal-pingkal.

Lalu, beberapa waktu lalu, ada trend, white coffee. Yang, konon, bisa dinikmati oleh para penderita maag akut atau komunitas penderita "Lambung Bermasalah Akibat Minum Kopi". Kurasa trend ini muncul sudah lama sekali. Mungkin sejak dua-tiga tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Namun, aku, tak membiarkan diriku mudah "digoda" oleh iklan-iklan tentang white coffee itu: di mulut teman-teman kantor, di radio mobil, atau di televisi. Termasuk iklan televisi yang pemeran utamanya sungguh tampan dan cantik yang digambarkan berada dalam dimensi ruang yang sebenarnya berbeda, namun gesture mereka, fragmen yang mereka jalani sungguh serupa, yang berakhir seolah pria dan wanita itu "bertemu" di meja yang sama namun ternyata "tidak berada di koordinat yang sama". Huh! Iklan-iklan memang keterlaluan. Pintar sekali para creative di belakang layar menjejalkan adegan demi adegan ke pikiran penonton televisi dan membiarkan adegan-adegan itu tinggal lama disana.

Dan, siang itu, 7 Juni 2013. Di sebuah bangunan tua buatan Belanda yang masih kokoh berdiri sejak tahun 1922 yang hingga kini masih beroperasi sebagai papierfabrik atau pabrik kertas (dan semoga terus demikian dan semakin baik. Amin), a heritage, I should say, di Padalarang, tepatnya di Jalan Cihaliwung. Disitu, aku meneguk white coffee pertamaku. Ya, dengan ritual khusus-ku. Kali ini, kulakukan dengan menyendiri. Atau setidaknya, aku berusaha: beringsut dari rombongan Bapak-Bapak Pejabat dan Direksi dan teman-teman seperjalananku. Menyingkir, berjalan ke sisi pintu masuk yang besar khas bangunan Belanda, dimana termungkinkan olehku memandang keluar dengan seluruh diriku seutuhnya. Memberi jiwaku kesempatan untuk sebuah running away sebentar dengan raga masih di posisi yang sama. Tangan kiriku memegang tatakan cangkir dengan hati-hati, tangan kananku memegang gagang cangkir dengan mesra. Aromanya kuhirup dengan penuh perasaan. Dengan gerakan perlahan, bibir cangkir akhirnya bertemu dan bersentuhan dengan bibirku. Dan aku terpejam. Sedetik, dua detik, tiga detik. Perlahan, kopi putih itu kuseruput dengan hidmat. Kubiarkan dia menyentuh rongga mulutku, kerongkonganku, hingga (entah butuh berapa lama) menyapa lambungku.

Kopi putih pertamaku.
Seperti menunggu saat yang tepat.
Seperti menunggu tempat yang tepat.

Karawang, 8 Juni 2013, untuk Padalarang 7 Juni 2013.
Usai hujan deras, berkilat berpetir. — drinking coffee.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun