[caption caption="Ilustrasi kotak telepon umum, namun bukan di Melbourne."][/caption]
Ah. Siapa sih yang bisa menahankan rindu? Jika rindu telah demikian menggedor-gedor dinding hatimu, memukuli setiap luas areanya hingga tak bersisa dimensi tanpa lebam?
Ya. Rindulah alasanku. Untuk berani menembus dinginnya suhu di kota tua di benua unik bernama Australia ini. Dingin yang menembus sekian mili susunan sel-sel kulitku yang hanya berbalut jins dan jaket tak seberapa tebal. Dan sepasang kakiku hanya beralaskan sepatu Converse merah bertali yang menemaniku juga hingga ke Yarra River. Berjalan dengan ritme cepat untuk mengusir rasa dingin menempuh sekian blok dari rumah Father Eddy – tempat tinggalku selama satu setengah bulan mengikuti kursus singkat di RMIT (Royal Melbourne Istitute of Technology) - menuju Sydney Road.Â
Di pertigaan sana, sebuah kotak telepon berdiri setia. Seakan paham, bahwa di setiap pukul 22.00 waktu Melbourne, yang adalah pukul sekian di tanah airku, aku selalu menujunya. Di dimensi waktu itu, aku tahu, dalam rentang jarak ribuan kilometer di sisi barat-utara, seorang bocah lelaki berusia 5 tahun masih berbinar matanya. Masih riang dengan segala celotehnya. Semata Wayangku.Â
Dialah alasanku untuk berani menempuh malam yang tak banyak orang berlalu lalang. Dia pulalah yang mendorongku untuk mengumpulkan receh-demi receh koin logam, serta dia jualah yang menyeretku untuk blusukan di sudut Pecinan Melbourne yang hingga kini kuingat aromanya untuk mendapatkan kartu telepon harga ekonomis. Demi untuk mendengar suaranya.
Aku mengenangmu, wahai Kotak Telepon Umum di Sydney Road Melbourne. Bahwa kamu, adalah saksi atas kerinduan alami naluriah makhluk hidup berpredikat induk dan anak. Meskipun waktu terus berjalan dan seringkali berlari tanpa lebih dahulu ambil ancang-ancang, masih jelas pula di ingatan, saat harus berjalan ke ujung jalan mencari kotak telepon umum lain lagi karena kotak terdekat dalam perbaikan.
Di negeri orang, meskipun hanya sebentar, meskipun bersama teman-teman yang sudah saling kenal, maupun teman-teman baru, dosen dan instruktur yang baik, segudang tugas-tugas tentang prepress dan materi Computer to Plate, serta keinginan menjelajah tempat-tempat baru yang menggebu, tak sanggup menyurutkan rasa rindu seorang ibu untuk buah hatinya. Apalagi, saat itu sedang lucu-lucunya, dengan kalimat-kalimat tanya yang bikin kewalahan bukan saja karena banyaknya, juga karena materinya. Seperti mata air yang tak ada habisnya.Â
***
Â
Jadi, meskipun kini sebelas tahun telah berlalu, suasana di sekitar Kotak Telepon Umum itu masih tergambar jelas. Jalur garis-garis melintang ala kulit Zebra untuk menyeberang jalan dan lampu merah-kuning-hijau serta tiang penyeberangan untuk pejalan kaki dengan bunyi khasnya. Bunyi ketukan dengan ritme pelan menandakan jatah waktu untuk menyeberang masih lama. Bunyi ketukan dengan ritme cepat dan semakin cepat, menandakan kuota waktu tinggal sedikit lagi, dan perlu bergegas untuk mencapai bibir jalan di seberang. Sebuah tombol di tiang penyeberangan berwarna merah atau jingga, dapat ditekan untuk menandakan kehadiran dan keperluan kita untuk menyeberang jalan. Sydney Road nama jalan itu. Bentangan jalannya cukup lebar, dan lalu lintasnya cukup ramai.
Tentu saja tidak sepadat dan semacet jalanan di Jakarta. Di bagian tengahnya, terdapat jalur khusus untuk moda transportasi yang menggunakan kabel listrik di bagian atasnya, dan jalur semacam rel di bagian bawahnya, tertanam di aspal jalanan. Ada dua rel logam yang membentang seiring panjang jalan Sydney Road. Entah dimana jalurnya berakhir, namun saat itu kuduga, bisa sampai ke kota Sydney yang terkenal dengan pelabuhan dan rumah operanya. Moda transportasi itu dinamakan dengan tram.