Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Awatara

18 Januari 2021   07:07 Diperbarui: 18 Januari 2021   07:39 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padang ilalang. Sabana luas sejauh mata memandang.
Dua jiwa berhadapan. Salah satu bilang,
"Sampai di sini. Kita akan bertemu lagi kelak. Sekian kali kelahiranku nanti".
Dia, yang mengucapkan kata-kata itu, adalah Sang Awatara.

Jiwa yang di hadapannya berucap,
"Jangan ....! Tidak sekarang, kan?"

Awatara tersenyum. Menyentuh bahu Bidadari di hadapannya.
"Aku tak akan jauh. Hanya soal waktu"

Sang Dewi kalah.
Tangisnya pecah.
Terguguk terguncang.

"Kita akan bertemu lagi di sini," ujar Sang Awatara.

Sang Dewi diam. Ia memandangi alam di sekitar tempatnya berdiri. Gaunnya yang putih berkibaran. Rambutnya (yang berikat rangkaian bunga sebagai mahkota) berderaian dihembus angin. Wangi Mawar Jawa menguar. Rumput. Hijau. Setinggi lutut. Setinggi bahu. Tak ada bunga. Ilalang. Hanya Ilalang. Aroma khas ilalang. Semua direkamnya baik-baik di ingatan. Seolah ia ingin menghimpun semua kesan agar nanti bila saatnya tiba pertemuannya dengan Sang Awatara ia bisa memastikan bahwa titik koordinat pertemuan mereka tepat.

Ini adalah Taman Surgawi.

Ah. Bodohnya. Mengapa harus 'rasa' yang ia rekam? Mengapa harus suasana? Aroma?
Ribuan tahun dari sekarang bisa jadi titik koordinat ini sudah menjadi hutan pencakar langit, atau jalan tol, atau bahkan kolam renang bukan?

Sang Dewi merasakan tubuhnya menegang saat Awatara melangkah mendekatinya. Tanda bahwa perpisahan yang sudah digariskan itu telah sedemikian dekatnya. Nyata. Menebal.

Sebuah kecup di kening.
Lalu hening.
Mengalir air mata bening.

:
Begitulah. Adegan film yang pernah kulihat entah dimana. Terlalu buruk sekarang ingatanku. Entah apa pula judul film itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun