"Aku selalu suka jejak hujan di kaca jendela", katanya.
"Tiap butir airnya seperti sedang bercerita".
"Tentang apa?" tanyaku.Â
Kupandangi ujung hidungnya yang mungil. Dari samping. Sebab ia tengah sibuk memandangi hujan yang jatuh di luar jendela. Atau entah memandangi apa. Barangkali ia sibuk membayangkan dua atom hidrogen yang tertawa-tawa bergandengan tangan dengan sebuah atom oksigen. Aku sudah hafal dengan tingkat keabsurdan perempuan di sebelahku.
Benar saja. Ia tak menjawab. Justru senyum dikulumnya semakin melengkung indah. Matanya tak sedikitpun memandang ke arahku. Kupandangi lehernya yang putih jenjang. Rambutnya terdiri dari 80% poni. 20% lagi adalah rambut pendek yang tak pernah berhasil menutupi anak-anak rambut di lehernya. Aku sungguh lelaki yang beruntung memilikinya.
Aku tersenyum sendiri. Tertawa kecil malah. Hingga sopir taksi melirikku dari cermin cembung di kabin depan di bagian atas kaca mobil. Kurasa perempuan indah di sampingku sedang sepenuhnya percaya telah berhasil berkomunikasi dengan telepati denganku dan ia sibuk sekali menjawab pertanyaanku tadi yang 'tentang apa' itu. Duh, rupanya justru aku lah yang belum lulus tentamen mata kuliah telepati.
Ya sudahlah.
Nanti kuambil program remedial saja.
Kini, kubiarkan saja ia bahagia.
22 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H