Begitulah.
Menjadi unik itu sudah pasti. Sebab tiada satu pun individu di dunia ini yang persis sama denganku. Sebab memang begitulah kita diciptakan.
Sidik jariku, dengan pola gambar seperti itu, hanya ku sendiri yang memiliki.
Iris di bola mataku, pun, satu-satunya. Tiada dua.
Pun bila aku Nakula-Sadewa, tetap saja, pola iris mata-ku berbeda dari kembaranku.
Antik. Ini yang menjadikan yang unik menjadi spesifik. Ini soal sesuatu yang tua. Sesuatu yang mendorong untuk terus menelusur. Menjelujur. Menautkan lembaran, menyatukan yang terhampar. Ini soal mencintai akar: yang jauh menghunjam ke kedalaman; yang tiada tampak dari permukaan; yang sering dilupakan orang.
Etnik. Ini yang menjadikan yang unik dan antik lebih spesifik. Ini soal telah ditemukannya sebuah warna. Seperti aku menemukan bahwa aku menyukai warna merah. Pantulan cahaya kasatmata pada panjang gelombang 620-750 nm & frekuensi 400-484 THz. Seperti kutemukan merah, seperti itu pula kutemukan etnik.
Rebel. Alias nabrak-nabrak. Seperti gerakan ion yang kesana-kemari. Apalagi bila suhu semakin tinggi. Rebel bicara tentang yang tak kasatmata. Ini soal pencarian yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H