Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imah*)

15 Januari 2021   13:17 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:47 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah adat Kanekes Baduy Luar (Objekwisatabanten.com)

"Rambu, silakan menginap di rumah saya. Pakailah imah-nya, untuk Rambu. Saya mah gampang, bisa tidur di tepas atau sasoro. Atau saya bisa tidur di rumah Idong"

Kata seorang Baris Kolot kepadaku, saat kami berjalan kaki menapaki ujung awal jalan selepas jembatan bambu, berupa batu-batu jalan setapak yang memanjang yang memisahkan dua kelompok rumah-rumah adat terbuat dari kayu dan bambu tanpa sebatang paku pun yang menancap. Seluruh rumah itu, kecuali rumah Sang Ketua, hanya menghadap ke dua arah mata angin: Utara atau Selatan. Titik pertemuannya adalah jalan setapak berbatu. Perkampungan itu tanpa cahaya listrik. Di sana, di kampung Cibeo.

Sang Baris Kolot itu, Ayah Karnin namanya, berjalan di sisi kiri saya, agak di belakang. Usianya barangkali hanya berselisih 1-2 tahun saja dari saya. Ia lebih tua. Namun kharismanya membuat Ayah Karnin tampak jauh lebih berumur dibanding saya.

Saya tersenyum. Senyum manis yang pekat. Sesungguhnya senyuman itu hanya untuk menutupi kebingungan saya. Bagaimana nggak bingung, berjalan berurut di belakang Ayah Karnin ini ada beberapa sahabat yang juga memberikan tawaran hampir serupa. Menawarkan rumah bambunya untuk saya menginap malam ini. Lima hingga tujuh orang. Semua sahabat itu dulur dekat saya. Mereka pun sama. 


"Terima kasih, Ayah. Terima kasih, dulur-dulur semua,"
sahut saya.

Saya memperlambat laju langkah kaki saya yang telanjang. Sejak 25 menit yang lalu sebelum mencapai kampung Cibeo, saya sudah melepas sandal gunung bertali merah kesayangan yang sudah agak butut, dan menjinjingnya. Setidaknya, saya merasakan terhubung dengan Ibu Bumi di desa Kanekes melalui kaki telanjang saya, mencontoh dulur-dulur kampung Cibeo.

Kunjungan kali ini saya hanya membawa tas punggung Osprey hitam kapasitas 10 liter saja, berisi pakaian ganti dan sleeping bag. Saya tidak tahu akan berapa lama lagi saya bermalam di kampung ini.

Dalam senyum dan diam, saya membujuk hati dan pikiran untuk akur dan sesegera mungkin memutuskan.

Kata saya pada diri saya sendiri,
"Rambu Ambu Siwi, ayolah, mumpung bawaan gak banyak, segera putuskan, dimana hari ini akan bermalam"

Selebihnya saya biarkan hening hadir dan menjernihkan benak dan hati. Kubiarkan detik-demi-detik menghitung diri mereka sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun