Betapa beruntungnya 'terdampar' di pantai bening sejernih hati yang selalu tertaut pada tali jiwa. Pantai Tureloto, Desa Balefadorotuho, Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara. Posisinya berada di ujung Utara Pulau Nias, di sisi Barat. Â
Terumbu karang di Pantai Tureloto memiliki bentuk yang spesifik. Sebagian besar terumbu karang mencuat di atas permukaan air laut. Beberapa rekan mengatakan bentuknya seperti otak manusia. Terbayang kan, bentuk agak membulat, dengan lekuk-lekuk labirin permukaan otak. Begitulah penampakannya. Cuatan-cuatan membulat itu bermunculan di berbagai sisi pantai.Â
Bagi saya terlihat seperti Raja Ampat versi mini. Sebagian lagi terumbu karang malu-malu, membiarkan dirinya terbenam di bawah permukaan air. Mereka ini kaum 'underground'. Namun karena air laut demikian jernihnya, maka dari kejauhan pun keberadaan 'para underground' ini terdeteksi oleh panca indera.Â
Pantai Tureloto ini adalah pantai yang tenang, hampir tak ada gulungan ombak yang tinggi yang datang bergelombang-gelombang bersama dengan suaranya yang menggemuruh. Tak ada debur ombak. Yang ada adalah kecipak-kecipak lidah ombak yang menjilati bibir pantai dan tubuh-tubuh telanjang batu-batu karang. Gerakam air lautnya mengalun, seperti tari klasik Jawa yang masih terdengar di balik pagar keraton.Â
Laut lepas jauh di arah Utara hingga ke Timur tertahan oleh hamparan karang yang diantaranya membentuk semacam dinding pembatas. Semacam The Great Barrier Reef. Namun yang di Nias ini panjangnya sekitar 800 meter. Maka yang sampai di daratan adalah gelombang tenang. Para penikmat pantai yang memang ingin merasakan kontak langsung dengan perairan yang indah dan bening ini seolah terlindungi dari gelombang besar dan bisa mengapung-apung tenang dan damai dalam wilayah jelajah sekitar 500 meter.Â
Bagi yang tidak membawa baju ganti (dan itu sayang banget), masih bisa menikmati indahnya pemandangan perairan. Beberapa perahu kayu nelayan berlintasan. Pada jarak satu hingga lima meter dari batas daratan, ikan-ikan kecil terlihat melintas berenang-renang dari satu gugusan karang ke terumbu karang yang lain. Sekedar menjejakkan kaki dan merasakan lembutnya pasir yang sangat putih di pinggiran masih bisa dilakukan.Â
***
Memandangi kedalaman pantai Tureloto, dasar pantainya yang berupa pasir putih bersih, entah mengapa aku teringat pada Tiga Ibu dari Kota Jepara. Kanjeng Ibu Ratu Shima; Kanjeng Ibu Ratu Kalinyamat; dan Kanjeng Ibu R.A. Kartini. Tentu saja tak kulupa Kanjeng Ibu, ibu kandungku sendiri, yang selalu di hati.Â
Seputih pasir dasar pantai Torelotu ini, seputih itu kebaya Ibu R.A. Kartini. Saat kupejamkan mataku, kudengar suara.
"Kangmas, terima kasih, telah kau tunjukkan padaku jendela dunia hingga kupahami bahwa batas cakrawala itu hanya ciptaan manusia belaka," kata Si Trinil kepada kakandanya yang kelak kemudian hari berjuluk Mandor Klungsu. Kakak kandungnya ini baru saja memberikan buku-buku bacaan sebagai teman untuk Kartini selama masa pingitan.
R.M. Sosrokartono memandang lekat adik kandungnya. Mengelus kepalanya dan rambutnya yang bergelung. "Kelak, kau akan mewarnai dunia, Ni. Kangmas hanya menjadi perantara." Senyum Sosrokartono mengembang. Indah, damai, teguh, menembus relung hati Kartini. Kartini menyandarkan kepalanya di bahu Sang Kakak. Dalam pejamnya, ia menyimpan seluruh energi yang diberikan kakandanya baik-baik. Energi dari senyum itu, usapan tangan di kepala, dan kata-kata non verbal yang terucap dari ikatan batin mereka yang kuat.