Tiba-tiba, saya terhubung dengan Paman Hariadhi. Kompasioner yang juga editor, designer dan entrepreneur. Belum pernah ketemu sih di dunia nyata. Baru ketemu di WA aja. Itupun WA group, bukan japri.Â
Ketemunya pun unik. Sama-sama di kelas menulis online yang digagas Ombud alias Budiman Hakim ('idolak' saya dalam pathway saya yang merintis dan membangun skill di bidang menulis).
The Writers. Begitu nama group WA itu. Kemarin sore ada sharing super seru dari Paman Hariadhi sehingga sangat menggugah saya untuk terus bersemangat menulis. Sayangnya saya nggak bisa nyimak materi online itu kemarin, karena selepas Isya, saya tepar dengan sempurna ke alam mimpi. Sudah gitu, pukul 04.00 WIB harus sudah lari ke bandara Soetta untuk mengejar GA 260 tujuan Gunung Sitoli, pulau Nias. Delapan belas dua dua WIB ini baru selesai seluruh rangkaian acara yang saya ikuti bersama Dinas Pariwisata Kabupaten Nias untuk menjadi juri dan memberikan pembekalan pemilihan Putri Pariwisata Kabupaten Nias 2019.
"Siapa di sini yang suka duit?" Itu kalimat awal dari Paman Hariadhi di sharing sessionnya. Pertanyaan yang mengarahkan pembaca pada jawaban seragam: 'saya' atau 'aku' atau 'semua orang'. Sharing itu lalu disusul dengan sesi tanya jawab yang rame serta sebuah quiz.
Pertanyaan tentang duit itu rupanya menjadi awal bagi quiz yang disiapkannya lengkap dengan hadiah dompet Toraja untuk tiga tulisan terbaik.Â
Bunyi quiz itu: "Tulis di kompasiana masing-masing, jalan karir menulis seperti apa yang teman-teman bayangkan dari menulis masa kini. Apakah akan bergabung dengan digital agency, atau jadi lepasan, atau penulis SEO, atau mau masuk situs dengan konten berbayar?"
Saya lama banget diam. Digital agency. Penulis lepasan. Penulis SEO. Masuk situs dengan konten berbayar. Waduh. Mau jadi yang mana nih saya? Bingung!Â
Saya termasuk yang masih berpikir bahwa dunia menulis itu cenderung dunia yang 'cost center', bukan dunia yang 'profit center'. It is all about 'spending money'. Buktinya ketika membuat buku kumpulan puisi dengan teman-teman, yang ada adalah keluarnya dana tertentu untuk iuran bareng cetak buku plus acara launchingnya. Ketika menulis di Kompasiana, tidak ada duit yang mampir menghampiri rekening saya. Ketika menulis di 'caption' media sosial, yang saya unduh adalah sejumlah likes dan komentar pujian. Bukan uang. Itupun gak banyak. Puluhan saja, tidak sampai ratusan.
Kalau ngomongin uang, ya, bisa jadi malah ngomongin pencetaknya, 'to be precisely', kantor tempat saya bekerja: Peruri. Yang jelas-jelas memberikan gaji tiap tanggal 25 (eh, hari ini dong ya?!).
Membaca tulisan Paman Hadiadhi, sharingnya tentang pengalamannya, menjadikan saya tahu satu hal, bahwa rupanya dunia digital sudah menjadi jembatan yang semakin memperpendek jarak antara kita dan impian kita. Dari contoh-contoh pengalaman yang disampaikan Paman Hariadhi, tampaknya jadi mudah kita merintis jalan menuju impian kita.Â
Buat saya, yang paling mengesan dan cocok adalah kalimatnya yang ini: