Saung bambu yang dulu yang berjarak sepuluh meter di hadapanku kini sudah tak ada lagi. Hanya bambu kuning yang tumbuh malah makin tinggi. Serumpun tiga belas batang. Tampak jelas nyata diantara rimbun hijau aneka pohon. Mahoni. Durian. Jati. Dulu di saung itu, aku duduk menepi.
"Jangan sendiri saja"
Katamu.
"Aku mau sendiri saja"
Kataku meneguhkan maksud.
Kamu meraih sebutir kelapa muda muda. Menebas pucuknya. Mengambil sedotan warna putih susu. Mengulurkannya padaku.
"Setidaknya, ia menemanimu menepi di sana."
Ujarmu menghalau raguku.
Aku beranjak. Kamu tidak.
Aku tak menoleh lagi.
Suaramu mengikuti 5 jejak pertamaku.
Aku diam sambil melambatkan langkah.
Menajamkan telingaku menampung gumammu yang bagiku terdengar bagai lagu.
"Ya janma kang hakiki, wujud kak kiyanmil kodrat, jumeneng anane dhewe, Suksma manuks-meng kawula, kawula nuks-meng Suksma, napas sirna marang suwung, badan lebur wor bantala."
Ya Tuhan. Aku mengenalinya sebagai suluk Walisanga. Sudah lama sekali tak kudengar suluk itu sejak mimpiku tentang Eyang Kakung bertahun lalu. Kamu menembangkannya lagi sekarang. Langkahku menegang. Ingatanku lari secepat kijang. Pada makam Eyang Kakung di pekuburan tua, kompleks pemakaman Gedong Tjitrosoman.
Suluk Walisanga itu. Ditembangkan oleh Eyang Kakung di mimpiku. Mengapa pula kau tembangkan lagi? Sedangkan saat aku lahir pun, Eyang Kakung sudah tiada.
Hela napasku panjang. Mataku merebak tergenangi air mata. Tapi aku tak mau menoleh ke belakang. Kubayangkan, kamu, berdiri tegak dengan pakaian priyayi Jawa dan blangkon di kepala. Tentu saja tanganmu tidak ngapurancang. Justru terkepal genggammu sejajar tungkai kaki yang bersinjang Parang Kusumo. Kamu bukan abdi dalem. Kamu lah Sang Pangeran itu. Â Jika aku menoleh ke arahmu sekarang, tentu aku akan kecewa. Karena yang kulihat adalah pemuda dengan jins biru, kemeja hitam dengan lipatan di siku tangan. Wujud yang sekarang tak kuharapkan untuk tertangkap retina mataku.