Semalam, setelah seporsi nasi pecel plus teri pedes di lesehan blok M Bu Gendut sambil cari-cari ide tulisan (siapa tahu ada ide tercecer atau ada yang iseng membuangnya sia-sia di sepanjang emperan toko diantara kanvas para pelukis wajah) saya bermaksud jajan take away affogato original favorit saya di Filkop Melawai. Ternyata setiba di depan kedai kopi itu banyak properti shooting terpasang di dalam dan di luar kedai. Lampu-lampu terang benderang dan belasan kru film bertebaran di halaman depan. Tak ada deretan sepeda motor yang biasanya terjajar rapi tepat di batas emperan toko di depan kedai. Sebagai gantinya, kursi-kursi dan orang-orang sibuk mondar-mandir. Kerumuman orang juga menempati trotoar di seberang jalan. Sepertinya mereka pengunjung Blok M Square yang menghentikan langkah karena penasaran dengan kegiatan di Filkop.
Affogato. Buat saya, affogato originalnya Filkop masih jadi ratu di hati, meskipun kedai ini menyediakan Affogato Orgasm yang ditambah duren dalam penyajiannya dan sebagian besar teman saya tergila-gila mencicipinya. Menu baru yang saya cicipi pekan lalu adalah Affogato Foreplay (by the way, ada-ada saja nih Kedai Filkop bikin nama. Hahaha). Alih-alih mencampurnya dengan duren, Foreplay ini disajikan dengan buah alpukat. Lebih karena alasan ketersediaan duren yang rada langka. Begitu sih penjelasan Tim Filkop. Dari sisi inovasi, not bad lah. Tapi buat saya, rasanya kurang match dengan harapan yang sudah menggantung di angan-angan. Affogato original tetap juaranya.
***
Di depan meja kasir ada dua orang sedang mengantri. Seorang wanita di belakang, dan seorang pria di depan wanita itu. Kasir dan baristanya berada di sisi dalam meja permanen panjang yang berfungsi untuk menyiapkan segala rupa sajian kopi. Saya berdiri di depan kedai dan berpikir, dua orang itu, beneran orang yang lagi ngantri, atau talent untuk adegan film ya? Saking inginnya menikmati affogato favorit, saya hampir saja melangkah masuk ke kedai yang lukisan di kaca depannya sudah berganti baru. Namun otak saya tiba-tiba menayangkan gambar yang ada tulisan Ben & Jody serta wajah Luna Maya bareng-bareng banyak orang sedang berada di depan kedai Filkop. Entah dimana saya lihat gambar itu pertama kalinya. Mungkin di instragramnya Dewi Dee Lestari, salah satu penulis Indonesia yang saya sukai karya-karyanya. Atau entah dimana.
Seorang anak muda berkaos putih dengan garis-garis cerah hijau-kuning-biru yang berdiri di samping saya tiba-tiba bertanya,
“Mbak, ini lagi ada apa ya?”
“Shooting..”, jawab saya pendek.
“Film apa..?”, tanyanya lagi. Wajahnya menatap saya dengan penuh harap. Nggak ngerti juga kenapa dia begitu. Padahal tampang saya sama sekali sedang jauh dari tampang wartawan hiburan yang mengerti banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi. Tampilan saya begini: bercelana jins warna biru, sendal jepit, kaos komunitas berwarna hitam dengan logo biru oranye di bagian dada dengan tulisan putih 'makes you speak the guitar', outer lengan panjang selutut, kerudung pink, dan di pundak saya menggantung tote bag besar bergambar sketsa karikatur 'Pangkas Rambut Asep Pesanggrahan' karya Sheilla Roosewithaputri. Oh ya, saya juga menenteng kanvas ukuran 40x60 cm.
“Ben & Jody 2”, jawab saya dengan sabar dan tersenyum samar. Ah, saya sendiri kaget atas jawaban saya. Jawaban itu kurasa karena otak saya sudah berhasil menyambung gambar-gambar yang semula muncul bertebaran terputus-putus. Semacam potongan puzzle.
“Mbak, boleh nggak mbak, saya minta foto sama artisnya?”, tanya anak muda itu. Kutaksir usianya baru diatas 20. Saya memandangnya dengan mata jenaka. Baru saja bibir saya akan usil menjawab pertanyaannya, dia menjawab sendiri pertanyaannya,
“Ah, saya masuk aja deh ke dalam, trus saya mau minta foto bareng”