(Cerita kecil dari Peluncuran Prangko Seri Khusus Gerhana Matahari Total)
[caption caption="Rudiantara ber-wefie ria dengan para pelajar yang mengunjugi Observatorium Bosscha "][/caption]
Bandung Sabtu pagi mendung. Matahari sama sekali tidak kelihatan. Dan di Observatorium Bosscha, sebuah kesibukan kecil terjadi di sebuah bangunan mungil di sisi kiri observatorium. Beberapa roll banner dipasang dengan apik. Satu roll banner di halaman paling depan, dan tiga buah roll banner dipasang di dekat pintu masuk bangunan mungil. Tertulis informasi di dalamnya bahwa pada hari itu, Sabtu 27 Februari 2016, akan dilaksanakan peluncuran prangko seri khusus Gerhana Matahari Total.
Pada saat waktu belum menunjukkan pukul 10 pagi, terlihat Rudiantara, dengan kostumnya yang smart casual, sepatu sporty dan kemeja putih lengan panjang, datang dengan langkah ringannya dan mengatakan bahwa akan berkeliling dulu sebelum acara dimulai. Rupanya Menteri Kominfo ini sangat antusias dan tertarik pada fasilitas peneropongan bintang peninggalan jaman Belanda ini.Â
Saat menuju ke gedung observatorium, puluhan anak-anak pelajar dengan seragam pramuka telah berkerumun di depan gedung observatorium. Di salah satu tepi jalan setapak, ada anak terjatuh yang dikerumuni teman-temannya, dengan sebuah luka kecil berdarah di lututnya. Rudiantara sempat menyapa dan memastikan apakah anak itu baik-baik saja. Dan sejurus begitu mengetahui bahwa yang menyapa adalah Pak Menteri, anak-anak menghambur berebutan untuk bersalaman. Di dekat pintu masuk pun demikian. Bahkan Rudiantara sempat ber-selfie dengan anak-anak tersebut.Â
Adalah Dr. Mahasena Putra, yang mengawal Rudiantara dalam tour singkat berkeliling fasilitas observatorium Bosscha ini. Beliau adalah Kepala Observatorium Bosscha yang berada di bawah tanggung jawab jurusan Astronomi Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam. Lelaki berperawakan kurus dan berkacamata ini dengan telaten menjelaskan kepada Rudiantara tentang seluruh fasilitas yang dimiliki observatorium ini.
[caption caption="Rudiantara menerima penjelasan dari Mahasena Putra"]
Memasuki hall utama tempat teropong legendaris semakin tampak ketertarikan Rudiantara. Mahasena menjelaskan bahwa, teropong bintang terbesar ini adalah buatan tahun 1923. Jika ada objek bintang yang akan dilihat, maka atap observatorium yang memiliki lubang memanjang bisa digeser sesuai dengan posisi keberadaan bintang. Motor yang digunakan pun masih menggunakan motor yang sama pada saat bangunan ini dibuat. Teropong bintang dengan lensa merek Carl Zeiss tersebut harus digerakkan dengan tangan untuk mengubah posisinya. Mahasena memeragakan bagaimana menggerakkan teropong raksasa tersebut. Namun meski demikian, beberapa penyesuaian seiring perkembangan jaman telah dilakukan. Teropong raksasa itu sudah dihubungkan dengan komputer dan peralatan digital masa kini.Â
Rudiantara rupanya tidak bisa tinggal diam, turut mencoba naik ke lantai movable berbentuk lingkaran dengan kapasitas muat 200 kg. Lantai tersebut bisa dinaikkan posisinya sehingga memiliki jarak tertentu yang memungkinkan personil mencapai lensa pengamatan di teropong bintang itu. Dengan rinci, Rudiantara menanyakan pelbagai hal teknis cara pengamatan dengan teropong raksasa tersebut.
Sekembali dari lantai movable tersebut, Rudiantara kembali menyusuri tepi ruangan dimana terpasang foto-foto sejarah pembangunan gedung observatorium Bosscha. Sebelum beranjak meninggalkan ruangan tersebut, Rudiantara sempat menyapa seorang gadis manis yang bertugas di ruang obeservatorium utama itu. Fatimah, namanya, rupanya dia adalah mahasiswi semester 6 jurusan Astronomi MIPA ITB yang berprestasi, pemenang olimpiade Astronomi.
[caption caption="Rudiantara bersama Fatimah, mahasiswi jurusan Astronomi Fakultas MIPA ITB yang berprestasi"]