Dengan tram itulah, kutempuh perjalanan ke tempat kursusku. Juga menjelajah sisi-sisi Melbourne saat akhir pekan, termasuk menyambangi rumah makan Indonesia yang menunya sedikit mengobati rasa kangen tanah air, meskipun masakan di rumah Father Eddy yang khas Palestina-Timur Tengah, tak kalah lezatnya. Nelayan di Swanston Street dan Bali Bagus di Franklin Street adalah dua tempat yang masih kuingat hingga saat ini. Ada satu lagi tempat makan di seberang National Library yang sop buntutnya enak sekali rasanya, namun kulupa nama rumah makannya.
Beberapa blok yang harus kulalui menuju Kotak Telepon Umum, suasananya masih kuingat dengan jelas. Ada lapangan kriket, ada rumah kayu dengan halaman luas dengan tanaman mawar yang bunganya mekar besar sebesar dua tangkup telapak tangan. Pernah suatu ketika, saat akan menyeberang di jalan kecil menuju Sydney Road, sebuah mobil melaju cukup kencang saat aku akan menyeberang. Dan yang terjadi saat itu di luar dugaan, karena pengendara mobil menghentikan laju kendaraan dan gesture tangannya mempersilakanku untuk menyeberang. Hal yang di Indonesia tak pernah kudapatkan.
***
Â
Di bilik Kotak Telepon, jarang sekali aku harus mengantri, kecuali jika berangkat dari rumah Father Eddy -seorang pendeta berkebangsaan Palestina- bersama dengan teman-teman seperjalananku. Seringnya, aku berjalan sendiri. Celoteh yang sangat kurindukan terdengar dari gagang telepon. Timbre, intonasi, dan cara Semata Wayang bercerita masih terngiang di kepala. Meskipun kini, dia tak lagi seorang balita. Â
Â
Â
Jakarta, akhir November 2015. Daur ulang atas tulisan 8 Maret 2012, mengenang Melbourne tahun 2004.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI