Si Pinky. Demikian namaku. Tepatnya, ada seseorang di kantorku yang selalu memanggilku dengan nama itu, dan diikuti oleh banyak teman kantorku lainnya. Hal itu karena hampir pasti ada nuansa warna pink untuk pakaian yang kukenakan: apakah itu kerudung, baju, rompi, blazer, jaket, asesoris, maupun sepatu.
Sore ini, di jam pulang kerja setelah menempuh perjalanan menggunakan Bus dari Karawang ke Jakarta, jika indikator emosiku bisa ditampilkan dalam layar yang terdiri dari susunan LED (Light Emitting Diode) yang bekedip-kedip seperti panel kontrol di mesin produksi, maka LED itu akan menyala berwarna merah. Merah menyala seperti cabe. Merah dan pedas. Bagaimana tidak? Aku, ibu muda bertubuh mungil, dan sedang membawa kemana-mana buah cinta kami (yang semoga laki-laki) di perutku yang mulai menggendut, berada di dalam angkutan umum bernama 'angkot' dan sebuah sepatu highs heel dengan telak menginjak kakiku yang selama kehamilanku kulindungi dengan sepatu flat. Sakiiiit banget rasanya.
Kalian bertanya padaku tentang pemilik sepatu high heels runcing itu? Dia adalah seorang perempuan muda yang berbusana kantor rapi. Dan dia tahu bin menyadari bahwasanya sepatu hak tingginya itu mendarat diatas kakiku, menginjak tanpa ampun dan membekaskan rasa sakit yang membuatku meringis hampir menangis. Namun entah mengapa, meskipun menyadari kejadian itu, pandang matanya dan pandang hatinya entah kemana. Menyebalkan sekali. Tak ada kata maaf, tak ada wajah menyesal, tak ada rasa empati. Yang ada hanya wajah datar yang cuek.
Lalu kucolek dia,
"Mbak, mbak, sorry ya, tadi itu hak sepatumu tuh nginjek kakiku. Dan itu sakit sekali tau...!"
Sambil menunjuk kakiku yang diinjaknya.
Dan apa yang terjadi? Si Mbak yang berbusana kantoran rapi itu hanya melengos. Membuang mukanya menghindari tatapan mataku. Seketika aku mendidih. Mendidih semendidih-mendidihnya! Seperti Tom Si Kucing yang marah hebat karena keusilan Jerry. Mendidih karena emosi. Dan spontan terucap sebuah kata yang tak sepantasnya aku ucapkan apalagi di tengah kehamilanku.
Astanghfirullah hal adziem.
Hanya itu yang kukatakan sambil mengelus perutku, akhirnya. Amit-amit jabang baby.
Sepanjang perjalanan pulang aku nggak habis pikir, mengapa ada orang seperti itu. Orang yang hilang empatinya. Orang yang dibutakan hatinya. Orang yang ditulikan pendengarannya. Orang yang mementingkan dirinya sendiri dan tidak sadar lingkungan. Hanya gara-gara di dua telinganya terpasang sebuah produk teknologi abad ini : earphone yang kabelnya entah menyambung ke perangkat komunikasi atau ke pemutar musik digital.
Bisa-bisanya, dia, yang menyadari telah menginjak kaki Ibu hamil, bahkan sudah ditegur, namun tidak ada sepatah katapun untuk permintaan maaf. Malah melengos saja.
Semoga teman-temanku, saudaraku, dan keluarga besar-ku terhindarkan dari hal-hal seperti itu. Semoga teman-temanku tidak 'terjajah' oleh hasil teknologi terkini buatan manusia yang justru memenjarakan manusia menjadi hanya homo homini lupus saja sedangkan ada fungsi lain di tiap insan untuk juga menjadi homo homini sosius. Semoga produk-produk teknologi masa kini yang semakin canggih saja belakangan ini tidak menjadikan kita kehilangan empati. (swhp_c01)
Karawang, 13 September 2012
Sebuah renungan dari pengalaman pahit seorang teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H