Banjir bandang informasi di Abad Digital ini tetap tidak dapat memusnahkan keberadaan buku bentuk cetak non digital. Buku, dalam hal ini bukan buku bentuk digital, rupa rupanya masih sangat dibutuhkan kehadirannya di Abad Digital sebagai salah satu bahan bacaan yang memiliki watak dan karakter kusus, tak tergantikan oleh bahan bacaan lain bentuk digital.
Meski membanjir ke hadapan kita arus informasi bentuk tulisan dan berita di media online atau Dunia Maya, yang dapat kita akses kapan saja dan di mana saja ada jaringan internet, peran bahan bacaan bentuk buku cetak non digital masih sangat penting bahkan tetap dibutuhkan sepanjang jaman.
Hari Bahtiar, seorang tokoh literasi dari Pacitan Jawa Timur pernah pada suatu ketika menyampaikan keyakinannya bahwa buku akan tetap ada sepanjang jaman. Dia menyampaikan, sekarang jaman dunia maya berkembang pesat. Banyak bahan bacaan yang dapat kita nikmati sewaktu waktu. Lalu apa bedanya membaca buku yang dicetak dengan membaca di monitor komputer? Kalau baca buku kita enjoy nyaman berjam jam merampungkan berpuluh puluh halaman tidak gampang lelah. Tetapi kalau baca di monitor, mata kita pedih perih jika membaca terlalu lama. Karena itu kita harus yakin bahwa karakter media cetak atau buku akan terus dibutuhkan sepanjang jaman. [Selengkapnya: Heri Bahtiar: Menulis Itu Salah Satu Hakikat Peradaban].
Ketika membaca buku, kita memegang secara langsung, tangan kita bersentuhan langsung dengan kertas sampul dan lembar lembar isi buku. Sabrang Suparno penulis dan sastrawan dari Jombang malah punya kelakuan unik. Yaitu suka menciumi aroma buku baru yang siap dibaca. Buku baru dibongkar plastiknya, lalu dia menempelkan beberapa bagian buku baru itu ke hidung dan dengan terpejam mata segera dia menghirup aroma khas suatu buku baru. Itu salah satu dialog pertama Sabrang Suparno dengan setiap buku baru yang siap dibacanya.
Saya tidak tau pasti apakah salah seorang tokoh literasi Jombang itu juga memberi perlakuan yang sama ketika pertama membaca suatu buku bekas atau buku lama yang tentu saja apek baunya. Yang jelas, saya tau pertama kelakuan unik Sabrang Suparno saat awal tahun 2014 saya bersama Bunda Zakyzahra Tuga dari Sanggar kepenulisan Pena Ananda Club Tulungagung berkunjung ke Lincak Sastra padepokan sastra asuhan Sabrang Suparno di Jombang dan menyerahkan buku baru judul Girindra Pararaja Tumapel Majapahit yang langsung saja dibongkar plastic pembungkus buku lalu Sabrang Suparno menciumi aroma buku baru itu. Ketika kami tanya kenapa melakukan itu, Sabrang Suparno menjawab bahwa itu juga dilakukan setiap mendapatkan buku baru.
Demikianlah, ketika membaca buku, dalam waktu yang sama pula kita memiliki penilaian dan perasaan dengan buku yang sedang kita pegang atau kita baca. Kita terutama para pecinta buku, pasti kerap berpikir dan menilai kualitas buku itu, kita mengecek kekuatan lem untuk mengecek bagaimana kualitas percetakannnya, kita membolak balik halaman buku menilai kualitas tata letak dan isi buku, apakah bagus apakah berantakan, dan seterusnya.
Widi Suharto sastrawan dari Trenggalek punya kebiasaan yang patut kita tiru dalam soal merawat atau memperlakukan suatu buku baru. Ketika mendapat buku baru, dia selalu menekuk sampul buku sesuai garis baca yang biasanya ada di sampul depan buku. Jika tidak ada garis buku, Widi Suharto membuat garis baca dengan cara memberi garis menggunakan ujung kuku ibu jari tangan atau menekuk sampul buku dengan bantuan penggaris dan alat lain yang lurus. Selanjutnya halaman demi halaman dia buka lalu ditekuk selurus garis pada sampul depan buku baru lalu membaca tanpa cemas halaman halaman buku baru miliknya terlepas atau mbrodoli.
Menurut Widi Suharto, dengan membaca sejudul buku, kita juga berkesempatan membaca atau menyelami siapa penulis atau pengarang buku itu. Kita akan mengetahui juga pengalaman penulis atau pengarang buku yang dibacanya. Menaksir kerja keras penulis atau pengarang buku yang sedang dibacanya.
Begitulah, sebelum membaca isi buku, kerap kita sudah membaca dan menyelami sebagian yang di luar buku itu. Selain sosok penulis atau pengarang, kerap juga memiliki penilaian terhadap pihak percetakan dan penerbit buku yang kita baca.
Sementara penilaian utuh terhadap buku, kerap kita lakukan usai membaca sampai tuntas, meski ada sebagian yang sudah menilai suatu buku ketika baru sebagian membaca isinya. Bahkan ada sebagian orang yang sudah memiliki penilaian terhadap suatu buku ketika baru membaca halaman daftar isi. Semua itu tentu terkait bagaimana sejudul buku menyampaikan informasi kepada pembacanya dan sebesar apa minat pembaca terhadap sejudul buku yang akan dibacanya.
Masing masing kita punya penilaian dan pemahaman beda beda soal kualitas suatu buku, baik bahan dan kandungan isinya. Itu sangat wajar karena membaca buku terkait dengan cita rasa. Yang tidak wajar jika di abad Digital ini kita berusaha menjauhi atau meninggalkan buku cetak non digital.