Mohon tunggu...
Siwi Sang
Siwi Sang Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi Desa

Pengelola TBM Umahbukumayuhmaca, penulis buku tafsir sejarah GIRINDRA Pararaja Tumapel Majapahit, dan Pegiat Literasi Desa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suasana Mencekam Gerhana Matahari Total Tahun 1983

9 Maret 2016   01:51 Diperbarui: 9 Maret 2016   02:19 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang lahir sebelum tahun 1980 dan sekarang masih segar bugar, tentu masih membekas kenangan Gerhana Matahari Total yang terjadi pada tanggal 11 Juni 1983 silam.

Saya masih sangat ingat kenangan mencekam di tahun 1983 silam bersama Gerhana Matahari Total. Saat itu saya masih kelas satu Sekolah Dasar. Saat itu saya dan hampir semua teman teman serta para warga dusun, memiliki satu kepercayaan sama, bahwa Gerhana Matahari Total dapat menyebabkan kebutaan mata siapa saja yang memandang dengan telanjang mata.

Berita bahaya Gerhana Matahari Total yang dapat menyebabkan kebutaan mata itu saya dengar langsung dari ayah dan ibu saya. Selain itu saya juga mendapat informasi terkait bahaya Gerhana Matahari Total dari televisi hitam putih yang saya tonton bersama keluarga dan tetangga.

Dari televisi hitam putih, kami mendapat himbauan dari pihak pemerintah, kalau tidak keliru saat itu melalui Dinas Penerangan, yang menyampaikan kepada seluruh warga di wilayah Indonesia untuk tinggal di dalam rumah atau jangan keluar ketika terjadi Gerhana Matahari Total atau jangan sampai memandang langsung Gerhana Matahari Total.

Karena percaya dan patuh pada himbauan pemerintah, kami sekeluarga dan seluruh warga dusun, tidak ada yang berani keluar rumah pada pagi tanggal 11 Juni 1983 silam saat terjadi Gerhana Matahari Total.

Saya masih ingat peristiwa sangat mencekam itu. Saya bersama tiga kakak laki saya, sejak pagi sekitar jam enam sudah masuk tempat penyimpanan padi terbuat dari kotak kayu besar ukuran sekitar 3mx2mx2m. Tempat penyimpanan padi ini dinamakan sebagai grobogan.

Ayah dan ibu saya yang memaksa kami berempat bersembunyi di grobogan, suatu tempat paling gelap di dalam rumah kami yang terbuat dari dinding kayu berubin tanah. Kami berempat menurut saja. Selebihnya, kami memang sangat takut. Ya, siapa yang ingin buta matanya?

Nek matane kosih picek, kowe pada ora bisa dolan. ora bisa sekolah. begitu kira kira yang dibilang ayah kepada kami dalam bahasa Banjarnegara yang artinya, kalau matanya sampai buta, kamu semua tidak lagi dapat bermain. Tidak dapat sekolah.

Sekali lagi, saya terutama, sangat takut ketika itu. Saya dan tiga kakak laki saya tidak ada yang berani membantah perintah kedua orang tua untuk bersembunyi saja sejak pagi di dalam grobogan sampai selesai Gerhana Matahari Total.

Ibu dan ayah serta adik saya yang masih usia 3 tahun, berdiam di kamar tidur.Tidak menyetel televisi hitam putih karena akinya habis.

Di dalam grobogan kayu, saya dan tiga kakak laki saya saling bercakap menerka nerka suasana di luar rumah yang menurut bayangan kami pastinya sangat gelap karena tidak ada sinar matahari yang sedang Gerhana Total.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun