Mohon tunggu...
Siwi Subiantoro
Siwi Subiantoro Mohon Tunggu... -

Menulis tidak hanya sekedar menuangkan ide tapi juga menyalurkan emosi (energi in motion) yang harus terus dialirkan agar tidak menjadi stres yang akan menjadi penyakit dan berujung pada kematian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Candi Gedongsongo

6 Desember 2011   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:45 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkunjung ke Ambarawa rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjungi Kompleks Candi Gedongsongo. Menurut riwayat, candi yang terletak di kawasan Gunung Ungaran ini dinamakan Candi Gedongsongo karena di kompleks tersebut ditemukan sembilan kelompok bangunan. Gedong berarti rumah atau bangunan, songo berarti sembilan, sehingga gedongsongo berarti sembilan (kelompok) bangunan. Candi Gedongsongo yang dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan ini kira-kira terletak ditinggian 1300m dpl sehingga udara sejuk masih menyelimuti wilayah candi ini walaupun matahari telah mencapai puncaknya. Diperlukan stamina yang baik untuk dapat menyusuri sembilan candi ini dengan berjalan kaki. Kuda tunggang tersedia bagi wisatawan yang tidak sanggup menyusuri indahnya kompleks candi ini dengan berjalan kaki.

Menurut catatan sejarah, tahun 1740, Loten menemukan kompleks Candi Gedongsongo. Tahun 1804, Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Namun, setelah ditemukan bangunan lain hingga menjadi sembilan unit, maka selanjutnya dinamakan Candi Gedong Songo. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925, Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1865. Tahun 1908 Van Stein Callenfels melakukan penelitian terhadapt kompleks candi dan Knebel melakukan inventarisasi pada tahun 1910-1911.

Menurut beberapa referensi, kompleks candi yang terletak di daerah pegunungan ini menunjukkan pemahaman spiritual rakyat setempat (tradisi lokal) pada masa itu yang menganggap bahwa gunung merupakan tempat persembahan terhadap roh nenek moyang (animisme). Sedangkan bagi menurut penganut Hindu yang saat itu sedang berkembang secara global mempengaruhi hampir separuh dunia (tradisi global) gunung juga merupakan tempat tinggal dewa-dewa. Sehingga terjadi perpaduan antara tradisi lokal dan global di Candi Gedongsongo ini.

Candi-candi yang terdapat di kompleks Candi Gedongsongo ini sudah tidak memiliki arca. Kelompok candi yang dibangun pada abad ke-8 Masehi ini sebagian sudah tidak utuh lagi disebabkan oleh berbagai faktor, yang paling menyedihkan adalah rusaknya dinding candi yang disebabkan oleh pahatan pengujung yang berusaha menorehkan kehadirannya di wilayah candi ini sehingga merusak keaslian candi. Tampaknya upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat untuk turut serta memelihara situs-situs sejarah masih harus lebih digencarkan lagi.

Foto-foto oleh Ari Setio Purnomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun