Hari itu aku jalani seperti biasa. Bangun pagi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Yuni, teman sekolah sekaligus tetanggaku menjemput aku untuk berangkat bersama agar perjalanan ke sekolah menjadi lebih menyenangkan. Kami berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan umum dengan trayek khusus yang berakhir di sekolah kami. Sesampainya di sekolah, kami pun langsung menuju kelas kami masing-masing. Tak lama…
“Krrrriiiiiiiiiinnnnggggg…” Bel tanda masukpun berbunyi. Aku menempati tempat dudukku dan merasa siap untuk menerima pelajaran walaupun mata masih belum rela untuk berakomodasi dengan baik mendukung pembelajaranku hari ini. Tidak ada yang baru di kelasku, kecuali…
“Siapa tuh?” tanyaku pada Gita teman sebangkuku.
“Tau! Anak baru kali” jawabnya singkat sambil tangannya memasukkan tas ke kolong meja sementara matanya tertuju pada sosok yang juga sedang ku perhatikan.
Seorang anak baru muncul di kelasku, guruku memperkenalkannya sebagai siswa pindahan dari Padang. Tidak menarik! Itulah kesan pertamaku padanya. Tubuhnya memang lebih tinggi dariku tapi kami akan sama tinggi jika aku memakai high heels. So, aku simpulkan dia cowok pendek, hitam, dan berwajah cenderung jerawatan. Aku tidak melihatnya sebagai cowok baik, mungkin dia termasuk siswa bermasalah di sekolahnya dulu sehingga sekolahnya memberi opsi tidak naik kelas atau pindah sekolah. Semua kecurigaan muncul dalam benakku mengiringi kehadirannya di kelasku. Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja dengan slogan “judge a book by it’s cover.”
Makin hari tingkah cowok baru itu menurutku makin nyebelin. Tapi heran temannya semakin banyak. Memang siy aku sudah tidak suka padanya sejak pertama dia muncul di kelasku. Seiring dengan kegilaan teman-teman sekelas yang semakin menjadi-jadi, dia pun tampaknya tidak sulit beradaptasi dengan teman-teman sekelasku. Kelas yang sempit dengan jumlah siswa 52 anak, membuat guru semakin sulit untuk memperhatikan eksistensi para siswa di kelas. Ditambah dengan posisi pintu masuk yang berada di belakang, tak heran jika guru tak tahu bahwa siswanya bolak balik keluar masuk kelas bahkan ada yang tidak kembali dan menghabiskan jam pelajaran di kantin.
“Krrriiiiinnnggg” bel tanda istirahat pun berbunyi.
Semua siswa berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk melepas dahaga dan kepenatan selama belajar di kelas yang monoton. Ada pula yang langsung menuju lapangan untuk bermain bola.
“Gile tuh Gurning, ngasih PR kagak kira-kira. Lo ngerti gak yang dijelasin tadi, Yan?” Endah mengeluh soal pelajaran matematika yang sama sekali tidak menyenangkan.
“Jiaaahhh… boro-boro ngerti, dari tadi gue bingung dia ngomong apa.” Jawab ku putus asa.
“Lha! Ini PR bejibun gimana ngerjainnya? Lo tau sendiri gimana Gurning kalo kita gak selesein ni PR. Mati lah kita.” Celetuk Tina yang juga tidak senang dengan tugas yang menyiksa ini.
Tiba-tiba terdengar celetukan dari belakang “Tenang aja! Ada Cie noh! Die pasti ngerti.” Celetuk Parjo dari belakang membuat aku dan Endah saling pandang keheranan.
“Cie sape?” Tanya Endah penasaran.
“Itu si Alid” Jawab Parjo singkat sambil ngeloyor pergi.
“Idih… minta tolong sama dia? Lah dia aja kagak ada di kelas tadi, mana bisa ngerjain PR yang bejibun gitu.” Komentarku mengiringi kepergian Parjo menuju kantin.
“Tau tuh Parjo, ngarang aja.” Ucap Endah setuju.
“Ya udah, pulang sekolah kita kerjain aja di rumah Tina. Gimana, Tin?” Usul Endah.
“Boleh! Sip dah…” Jawab Tina.
Dan hari-hari pun berlalu dengan keraguan akan kualitas belajar masing-masing.
“Heran deh! Perasaan tuh bocah kabur-kaburan mulu tiap pelajaran Gurning, tapi kenapa PR mereka lengkap banget, malah bener pula.” Oceh Tina yang kesal karena PR yang kami kerjakan susah payah ternyata sama benarnya dengan PR yang dikerjakan para cowok itu yang notabennya jarang ada di kelas.
Mulai curiga dengan para cowok ini, sempat terpikir mereka curang dengan membeli buku soal beserta jawabannya atau mengancam siswa kelas lain untuk mengerjakan PR mereka.
“Jo, Ngaku lo! Sape yang lo palakin buat ngerjain semua PR lo?” Tanyaku sedikit memaksa pada Parjo untuk mengakui kecurangannya.
“Idih! Ngapain malak orang? Cie noh yang ngerjain PR. Eh! gini-gini kita anak-anak baik.” Jawabnya pasti.
“Alah… mana ada anak baik yang malakin anak-anak cewek kalo mau maen bola?” Celetuk Tia.
“Yang penting kelas kita menang.” Jawab Tanjung membela Parjo.
“Ayo Jo, udah ditunggu kelas 1-8 tanding noh!” sambung Tanjung.
“Eh! Cewek-cewek, siapin es teh manis ye supaya kita menang.” Brian berkata setengah berlari menuju lapangan sepak bola menyusul Parjo, Tanjung dan Cie yang sudah berada di lapangan.
“Idih! Bisanya malak.” Saut Tia.
Walaupun sering kena palak para cowok di kelas kami, tapi kami para cewek masih saja rela mentraktir para cowok itu walaupun hanya sekedar es teh manis. Apalagi jika kelas kami menang, itu suatu kebanggaan tersendiri.
Oke! Singkat kata, selain sepak bola yang membuat kami bersemangat, kecurigaan soal PR para cowok yang selesai nyaris sempurna pun semakin tajam. Ini terjadi setelah kedatangan si anak baru ini Cie a.k.a Alid. Gak cuma matematika tapi hampir semua mata pelajaran. Padahal mereka termasuk yang hobi meninggalkan kelas dan tak kembali saat jam pelajaran berlangsung.
Walaupun hal ini masih belum merubah eksistensiku sebagai ketua kelas dan juara kelas semester lalu, namun hal itu cukup membuatku gelisah. Sama gelisahnya ketika mendapati sekolah kami bermusuhan dengan sekolah lain di kota ini. Aku sendiri tidak terlalu paham akar masalahnya seperti apa. Tapi yang pasti, ancaman tawuran semakin sering terjadi. Satu ketika ancaman penyerangan itu pun terjadi. Kami pun harus pulang sekolah bersama-sama dalam kelompok-kelompok besar yang menuju berbeda-beda arah. Hal ini dilakukan agar pegawasan terhadap keselamatan kami lebih mudah untuk dilakukan.Semua akses masuk ke sekolah kami telah dikuasai oleh para siswa dari sekolah tersebut sehingga kami harus melewati jalan tikus yang lebih aman. Siswa dan guru back to back saling bantu mengatasi situasi ini. Sementara pihak guru sedang bernegosiasi dengan pihak kepolisian untuk menangani hal ini, para siswa berinisiatif melakukan pengamanan terhadap siswa lain hingga sampai tempat perhentian angkutan terdekat.
“Yan, lo ma Endah, Tina, Tia sama yang lain ikut rombongan Si Cie. Gita, Dina ma Nani ikut rombongan Brian” Perintah Parjo yang bertugas membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk pulang dalam pengawasan.
Aku menuruti perintah Parjo karena memang keadaan sedang mendesak. Semua menuju kelompok pulang masing-masing dengan harapan selamat sampai rumah.
“Hmmm… cepet juga dia gaul, sekarang dapet tugas pengawalan segala.” Ucapku tanpa sebab dan Endah mendengarku tanpa komentar sedikit pun.
Kami lalu berangkat menuju tempat perhentian angkutan umun yang akan kami tumpangi. Melewati jalan tikus yang sepengetahuan kami hanya siswa sekolah kami yang tahu. Tak disangka, kelompok kami telah ditunggu pihak lawan yang jumlahnya tak sedikit. Ketegangan mulai melanda kami. Walaupun jumlah kami banyak, tapi sebagian besar dari kami adalah perempuan yang tidak tahu caranya bekelahi.
“Ko’ mereka bisa tau jalan ini siy? Bukannya cuma kita-kita aja yang tahu?” keresahan melanda kami.
Dan, mulailah kami pasang kuda-kuda. Ada yang mengeluarkan penggaris, ada yang tidak tahu harus bagaimana hingga dia hanya mengacungkan tasnya sebagai bentuk kesiapannya melawan. Ada yang mulai mengeluarkan air mata dan aku hanya bisa diam mematung sambil mulut tak berhenti berdoa membaca Alfatiha minta pertolonganNya.
Saat yang lain mengambil ancang-ancang untuk menyerang atau mempertahankan diri, tiba-tiba seseorang maju ke arah lawan. Ni orang udah gila apa? Terang saja pihak lawan merespon dengan maju lebih banyak. Tunggu! Orang ini sosoknya aku kenal. Aku perhatikan dengan seksama dan ternyata, Cie!
“Endah, tu orang dah gila apa? Ngapain dia kesono! Cari mati.” Kontan aku menanggapi. Endah hanya diam saja sambil menaikkan sedikit pundaknya tanda dia sendiri tidak mengerti apa yang sedang dilakukan si Cie.
Cie semakin maju dan maju, semakin dekat dia dengan pihak lawan, dia pun menaikkan tangannya tanda perdamaian. Ku lihat dua orang dari pihak lawan maju mendekati Cie. Mereka bertiga bicara dan sempat terlihat ketegangan di antara mereka. Satu orang dari pihak kami berencana maju tapi dicegah oleh teman kami.
“Mereka lagi ngapain siy?”, “Bukannya si Cie dibantuin!”, “Nanti kalo si Cie dipukulin gimana?”, “Kalo si Cie ampe dipukulin gue gak akan tinggal diam, gue cincang mereka sampe habis.” Terdengar berbagai ocehan dari teman-temanku yang khawatir akan keselamatan Cie si anak baru itu.
Tak lama, Indra salah seorang teman kami mendekat dan menghampiri Cie untuk membantu.
“Lama sekali dia di sana, ngobrolin apa siy?” keluhku tak tahan.
“Sssttt…. Brisik luh!” seru Endah.
Setelah diskusi yang cukup lama akhirnya aku melihat mereka berjabat tangan layaknya orang dewasa yang saling sepakat akan suatu hal. Cie dan Indra akhirnya berjalan ke arah kami. Cie mengarahkan kami untuk melanjutkan perjalanan setelah gerombolan lawan perlahan pergi meninggalkan kami.
Ternyata negosiasinya berhasil. Cie dibantu Indra berhasil membuat pihak lawan memberi kami jalan. Apa yang di bicarakan Cie tadi membuatku penasaran hingga tanpa sadar aku memperhatikannya sepanjang jalan. Merasa diperhatikan, dia pun menengok ke arahku. Tertangkap basah sedang memperhatikannya, aku cepat-cepat menolehkan wajahku ke arah lain.
Akhirnya tibalah kami di tempat perhentian angkutan umum. Cie dan teman-teman cowok yang lain sibuk memberhentikan angkutan dan mengatur siapa saja yang naik. Giliranku, Cie berada di dekat pintu angkutan. Aku melangkahkan kakiku menaiki mobil angkutan saat seseorang berkata dengan lembut “Hati-hati!” Aku palingkan wajahku ke arah suara itu dan mataku bertemu dengan mata Cie yang menatapku tajam. Tatapannya tajam hingga aku tertunduk dan hanya sedikit mengangguk sebagai isyarat aku menurutinya. Tatapan mata itu, tak bisa ku lupa.
Mulai hari itu aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Dirinya sering muncul dalam pikiranku. Dia mulai membuatku gelisah dan serba salah. Menyiksa, sungguh menyiksa. Dia sudah menyiksaku dengan cara yang sederhana. Semakin lama, semakin ku tahu bahwa dia cowok yang baik. Tak heran dia mudah sekali mendapatkan teman. Ketidaksukaanku padanya di awal semakin lama semakin luntur dan aku semakin menyukainya. Tidak hanya terhadap teman-temannya, terhadap keluarganya pun demikian. Dia sangat menghormati orang tuanya, dia juga sangat menjaga adik-adiknya, dia pun rukun dengan sepupunya Anwar yang tinggal satu rumah dan bersekolah di sekolah yang sama dengan kami. Tidak hanya baik, dia pun cerdas. Dia berhasil mengalahkanku dan mendapatkan ranking pertama di semester ke-dua.
Perasaan ku ini tak bisa aku rahasiakan dari sahabatku Endah dan Tina. Tapi gengsiku masih belum terkalahkan. Tidak bisa aku menyatakan perasaanku duluan. Entah apa yang membuat teman-temanku berinisiatif untuk menjadi mak coblang untukku dengan Alid. Tapi yang pasti, kami menjadi project satu kelas walaupun kami tak kunjung jadian hingga akhir kebersamaan kami di kelas 1.
Di kelas dua aku, Endah dan Tina kembali sekelas. Kami pun mendapatkan sahabat baru. Ika namanya. Setelah mengetahui kisahku dengan Khalid, Ika berinisiatif untuk mempersatukan aku dengan Alid. Sebenarnya Ika menyukai Anwar sepupu Alid. Sambil mendekati Anwar, dia pun berencana untuk menyatukan aku dengan Alid. Aku salut akan keberanian Ika mengungkapkan perasaannya terhadap Anwar walaupun Anwar tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi menurut Ika, dia sudah lega ketimbang menyimpannya dalam hati dan terus-terusan penasaran seperti yang sedang aku alami.
Singkat kata, Ika bercerita padaku bahwa dia berhasil masuk sebagai penelepon gelap bernama Meta dan membuat Alid berjanji untuk bertemu dengannya di waktu yang telah ditentukan. Setiap janji pertemuan, Ika selalu melapor padaku dan mengatakan bahwa Alid tidak datang dan selalu ingkar janji. Ika pun bercerita bahwa Alid ingin sekali bertemu denganku dan saat yang sama dia pun ingkar janji. Singkat kata, melalui Ika yang menyamar sebagai Meta, aku mendapati Alid sebagai pembohong besar. Dan aku kecewa padanya. Hal ini pun sontak membuat Endah sahabatku juga marah.
“Bisa-bisanya dia bikin janji palsu.” Ujar Endah kesal. “Untung rumah lo deket Ka. Emang tu cowok ga bisa dipercaya.” Ujar Endah kesal. Aku hanya terdiam, sedih, marah juga menyukainya dalam hati. Hatiku masih tidak percaya Alid ingkar janji.
Hari berikutnya, Endah menemui Alid. Bertanya padanya apakah dia mengenal seseorang yang bernama Meta atau tidak. Dan ternyata Alid tidak pernah dihubungi siapapun yang bernama Meta. Endah menuduh Alid berbohong dan menantang Alid untuk bertemu langsung dengan Meta.
“Oke! Gue akan datang. Tapi gue akan datang dengan Iyung dan Tanjung. Lo gak boleh kasih tahu Meta yang mana gue. Kita lihat siapa yang berbohong.” Alid pun setuju untuk datang dan membuktikan bahwa dia benar.
Janji pun kami buat. Kali ini melibatkan Aku, Endah dan Ika (sebagai Meta). Selama ini Ika berjalan sendiri, aku dan Endah hanya menerima ceritanya tentang Alid yang selalu ingkar janji.
Aku dan Endah diam-diam melibatkan Anwar sepupu Alid untuk memonitor keberadaan Alid di rumahnya. Jika Anwar bilang Alid ada di rumah, maka benarlah Alid ingkar janji. Tapi jika Alid keluar rumah di kisaran jam yang telah disepkati, maka Alid memang menepati janjinya. Berarti ada yang membohongi kami. Entah Ika atau Alid sendiri yang berkamuflase.
Tepat di jam yang telah di tentukan. Endah menelepon Anwar untuk mengecek keberadaannya.
“Anwar, Alid ada gak?” tanya Endah pada Anwar.
“Nggak tuh! Baru aja dia pergi. Ada apa?” tanya Anwar penasaran.
“Dia bilang gak mo kemana?” tanya Endah penasaran.
“Katanya mo ketemuan ma lo ma Yanti juga.” Jawab Anwar.
“Sama siapa dia pergi?” lanjut Endah bertanya.
“Sama Iyung dan Tanjung.” Jawab Anwar singkat.
“Emang ada apa siy? Kenapa lo gak tanya sendiri ke dia?” tanya Anwar makin penasaran.
“Eh, ga ada apa-apa. Lo jangan bilang –bilang Alid yah gue telepon lo!” ujar Endah mengakhiri.
Endah pun memberi tahu aku tentang kondisi ini.
“Dia dateng, Yan!” ujar Endah via telepon
“Aduh… gimana nih? Kalo dia dateng berarti selama ini ada yang bohong ma kita. Apa Ika bohong?” tanya ku curiga.
“Jangan dulu percaya, Yan. Sapa tau ini kamuflase doang.” Ujar Endah.
Keesokan harinya di sekolah.
“Mana? Lo bilang mo dateng ma Yanti ma Meta. Gue tungguin lo gak ada yang dateng.” Ujar Alid sedikit kesal. “Udah deh! Lo gak usah percaya sama Meta. Orangnya juga gak pernah ada.” Ucapnya.
Kondisi ini kontan membuatku bingung sekaligus kesal. Ada yang bermain-main dengan perasaanku ini dan aku tidak tahu apakah Ika atau Alid yang sudah membohongiku. Satu sisi Alid adalah orang yang aku suka dan aku cukup tahu kualitasnya. Disisi lain, Ika adalah sahabatku dan aku percaya padanya. Saking bingungnya, refleks aku berkata
“Gue gak percaya lo, gue juga gak percaya Meta.”
Aku langsung pergi dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi bicara dengan Alid hingga lulus sekolah. Kami pun berpisah dan tidak mendengar kabar masing-masing. Aku hanya menjalin kontak dengan Endah dan Tina sahabatku.
Pada akhirnya aku mengetahui bahwa Ika lah yang telah berbohong padaku. Tapi terlambat. Kami telah memasuki jenjang kuliah. Aku pun tidak mengetahui keberadaannya. Tak seorangpun temanku yang mengetahui keberadaan Alid. Aku menyesal tidak mempercayainya. Setiap saat aku berdoa agar aku dipertemukan kembali dengannya hanya untuk mengatakan betapa aku menyesal sudah percaya pada bualan Ika dari pada percaya padanya. 7 tahun tidak mendengar kabar darinya hingga suatu hari…
“kringgg…” teleponku berdering.
“Yanti… gue ketemu Dian adiknya Alid di bis. Dia disini Yan, di Jakarta” Tina melaporkan apa yang telah dia temukan untukku.
Sontak aku bahagia sekaligus bingung. Bahagia karena akhirnya aku bertemu kembali dengannya. Bingung karena aku tidak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu dengannya nanti. Cukup tenang mengetahui keberadaannya. Tapi ternyata kabar gembira itu diiringi kabar duka darinya. Setelah seminggu lalu aku mendengar berita keberadaan Alid, hari ini aku mendengar bahwa ayah Alid meninggal. Tak berpikir panjang, aku dan teman-temanku melayat ke rumahnya. Dia sibuk dengan pemakaman ayahnya dan aku tetap menunggunya. Menunggunya untuk bicara.
“Gue turut berduka atas meninggalnya bokap lo.“ ujarku membuka percakapan.
“Thanks.” Jawabnya singkat. Cukup lama jeda antara kami.
“Lama tak bertemu, apa kabar?” Aku jadi salah tingkah sendiri.
“eemmm… pertanyaan yang bodoh yah?!” Aku merasa makin salah tingkah dan dia pun tak beranjak untuk menjawab.
Cukup! Aku tak tahan lagi dan akhirnya dengan nada suara yang lebih tinggi disertai tekanan
“Kemana lo selama ini? Kita semua nyariin lo. Kenapa ga ada kabar? Kenapa menghilang gitu aja? Kemana?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku pendam.
Rasa rindu, kesal, marah dan ingin tahu campur jadi satu saat itu. Dia masih terdiam dan kami pun mencoba meraba dan menyelami diam ini. Dia masih belum menjawabnya, akupun mendekat dan duduk tanpa tahu apakah dia akan menjawab pertanyaanku atau tidak.
“7 Tahun gak ketemu, lo masih aja cerewet.” Ucapnya tanpa menatapku. Aku menoleh kearahnya dan menatapnya dengan heran. Bisa-bisanya dia bilang begitu.
“Gak inget ya pertanyaan gue tadi? 7 tahun lo ngilang gitu aja. 7 tahun ga ada kabarnya dan sekarang lo bilang gue cerewet?” Ujarku protes.
Dia berbalik menatapku
“Yakin lo mau tau kemana gue selama 7 tahun ini? Apa yang gue lakukan dalam 7 tahun ini? Dan setelah tau, lo mau apa?” Dia balik bertanya padaku.
Dia benar-benar membuatku naik darah. Tak berpikir panjang, aku langsung terbangun dari dudukku.
“Mau apa? Lo tanya gue mau apa? 7 tahun gue simpen sesal ini. 7 tahun gue merangkai momen ini. 7 tahun gue tunggu momen ini. Teganya lo ma gue. 7 tahun gue tunggu lo cuma untuk bilang gue menyesal, 7 tahun gue tunggu lo cuma mo minta maaf sama lo, 7 tahun gue tunggu lo cuma mo bilang gue menyesal waktu itu gue gak percaya sama lo dan marah-marah karena gue termakan hasutan Ika sahabat gue sendiri, 7 tahun gue tunggu lo cuma mo bilang gue gak bermaksud menjauhkan lo dari gue, 7 tahun gue tunggu lo cuma untuk mengaku dihadapan lo betapa bodohnya gue waktu itu, bodohnya gue yang percaya sama omongan tanpa bukti yang keluar dari mulut temen gue sendiri.” Akupun pada akhirnya meluapkan semuanya.
Pendaman sesal, rasa bersalah juga kemarahan selama 7 tahunpun akhirnya terungkap diiringi air mata yang kutahan selama 7 tahun ini.
“Lo ga tau besarnya keinginan gue untuk kembali ke waktu itu saat lo bersikukuh dengan kejujuran lo sementara gue dibutakan oleh cerita palsu yang membakar amarah gue.”
“Gue menyesal meragukan kejujuran lo, meragukan kebaikan lo, meragukan bahwa lo gak pernah main-main dengan kejujuran lo.”
“Setiap saat gue menantikan moment ini. Berdoa supaya gue dipertemukan lagi dengan lo suatu saat nanti dan bisa kembali melihat sosok lo, wajah lo dan mengungkapkan penyesalan gue selama ini. Tapi, ketika doa itu terkabul dan lo muncul dihadapan gue, gue bingung, gue malu, gue takut sekaligus marah, gue gak tau harus bersikap gimana sama lo, semua emosi campur aduk jadi satu bikin gue senewen gak karuan. Gue berharap lo sudah lupa dengan kejadian dulu dan memaafkan gue. Tapi gue gak bisa membohongidiri gue sendiri, gue gak bisa berpura-pura gak bersalah sama lo dan menganggap kejadian 7 tahun lalu gak pernah ada lalu kita bersikap baik-baik aja. Gak bisa! Dan akhirnya, disinilah gue, dihadapan lo dengan berbagai perasaan yang campur aduk, gak tau akankah lo maafin gue atau nggak untuk kejadian 7 tahun lalu yang membuat jarak di antara kita semakin jauh hingga gue ga tau keberadaan lo, kehilangan jejak lo. Tega!” aku pun tak ragu lagi untuk menangis dihadapannya.
“Udah?” dia merespon singkat.
Matanya menatapku tajam. Tapi… Ada kelembutan di dalam sana. Teduh itu masih ada. Tenang itu masih ada. Disitu, di dalam matanya yang jernih yang menembus jiwanya.
“Ya! Gue kecewa sama lo waktu itu. Gue berharap kita bisa saling menjajaki dan semakin mengenal lebih dekat satu sama lain. Berharap hubungan kita bisa lebih serius. Tapi, kemarahan lo waktu itu membuyarkan semuanya. Harapan gue berubah. Waktu itu gue berpikir, cuma segitu kepercayaan lo sama gue? Mana mungkin gue melanjutkan niat gue sama orang yang cuma segitu kepercayaannya sama gue. Lo bahkan minta Endah untuk mengkonfirmasi kejadian itu saking gak percayanya lo sama gue. Gue gak punya pembelaan karena lo lebih percaya sahabat lo itu daripada gue, jadi gue putuskan untuk membiarkan lo dengan pikiran lo sendiri dan berdoa supaya suatu saat lo akan tau kebenarannya. Syukurlah, lo dah tau sekarang” ucapan terakhirnya itu memunculkan senyumnya yang telah lama hilang dari tatapku.
“So?” tanyaku
“Apa?” dia merespon singkat.
“Ya, selanjutnya gimana? Lo mau maafin gue? Lo mau melanjutkan niat lo yang tertunda selama 7 tahun?” Aku bertanya sambil berharap dalam cemas akan jawaban darinya.
Dia beranjak dari duduknya dan mendekatiku, “Lo sudah gue maafin sebelum lo minta. Lo selalu termaafkan.” Ujarnya dengan tatapan teduh itu.
Bahagia aku mendengarnya, hangat tubuhku terasa bersamaan dengan pernyataannya dan aku tak sabar mendengar kelanjutannya.
“Jadi, lo mau memulai lagi hubungan yang telah tertunda selama 7 tahun dengan gue?” tanyaku serius.
Dia berpaling dari hadapanku, menghadapkan tubuhnya ke arah laut yang hitam gelap.
“Lo selalu termaafkan. Tapi, waktu tak bisa diulang. Sekarang, gue harus berfokus mengurus adik-adik gue setelah bokap gue meninggal. Gue harus pasitiin mereka sukses sesuai keinginan bokap gue.” Dia menjawab.
“Tapikan bisa kita lakukan bersama.” Aku menjawab tak sabar.
Dia membalik badannya menghadapku
“Tidak bisa, ini sepenuhnya tanggung jawab gue dan gue gak bisa membaginya bersama lo atau siapapun. Gak sekarang. Gue harus selesaikan tugas gue dulu baru gue bisa berfokus pada urusan gue sendiri”
Tak rela melepasnya aku menjawab “Gue akan tunggu lo sampe urusan lo selesai.”
Spontan dia menjawab “Gak pelu nunggu gue, posisinya akan semakin sulit, sulit buat lo sulit juga buat gue. Gue akan merasa bersalah sama lo kalau lo nunggu gue. Biarlah Tuhan yang menentukan apakah kita memang ditakdirkan bersama atau tidak. Toh kita sudah pernah terpisah dan gak mendengar kabar masing-masing selama 7 tahun. Dan ternyata Tuhan masih menghendaki kita untuk bertemu. Jadi, kenapa tidak kita pasrahkan lagi padaNya?”
Petir yang menyambarku kali ini lebih dahsyat dari pada ketika aku tahu bahwa aku dikhianati oleh sahabatku sendiri. Mulutku tak sanggup berkata apapun. Hanya air mata yang terus mengalir semakin deras. 7 tahun aku setia menunggunya kembali hanya untuk meminta maaf dan menjelaskan semua kesalahpahaman dimasa lalu dan kini aku harus melepasnya. Aku harus kembali setia padaNya, setia menanti jawaban dariNya. Akankah aku bersamanya atau tidak hanya Dia yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H