Senja tetap saja tenang, hanya kicauan burung gereja yang menari membentuk garis horizontal penuh dengan simponi tak merdu. Dibalut oleh angin semilir yang mulai dingin, membentuk sebuah retorika yang ia telan dan muntahkan kembali, menjadi sebuah dunia dalam pergantian hari, detik ini, menit sebelumnya, semua nya menjadi muram ketika temaram mulai memudar, di gantikan oleh kegelapan yang sebentar lagi berwujud hitam nan pekat.
Ah… sejenak ku memejam kan mata menghirup udara yang tersisa dengan tergesa gesa menanti pergantian waktu yang sebentar lagi berujung sempurna, berat rasa nya melepas senja itu, namun apa daya, akupun tak kuasa menahan nya, yang ku bisa hanyalah memandang jauh kilauan cahaya yang mulai meredup pertanda gelap tiba.
“ Ya sudahlah ”….
Aku tetap mematung disini menyaksikan fenomena yang sama setiap hari, diatap sebuah bangunan yang menjadi tempat ku melepaskan penat dari rutinitas sehari hari, tempatku melepaskan harapan harapan ku yang esok akan kurebut kembali, tempat dimana sejenak aku menemukan kedamaian di hati, tempat dimana aku bisa melarikan diri sebentar dari semua, dari kebisingan, dari paradigma yang sama, dari raungan masalah masalah ku yang menunggu untuk di selesaikan, dari sebuah kenangan kenangan, yang membuat ku terasa hidup kembali meskipun hanya beberapa menit, seperti dua menit yang akan datang yang bersemayam didalam arloji hitam di tangan kiriku, yang terus berbisik dan menunjuk angka 17.46, angka yang kubenci, angka yang membuat ku harus mengakhiri pertemuan bersama sore yang damai, bersama kilauan cahaya senja yang merangkul langit dan alam raya.
“ pulanglah nak “ ucapnya
Lalu ku langkahkan kedua sepatu dengan agak sempoyongan, karena jarak pandang yang tersekat oleh malam yang mulai menyeruak, kuturuni anak tangga yang ada di samping kanan ku yang tembus pada beberapa ruang ruang yang mulai kosong karena telah selesai nya beberapa perkuliahan hari ini. Ku lewati lorong demi lorong dengan amat tenang sekaligus cemas, cemas di karenakan lagi aku akan menghadapi sebuah realita, lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan selalu sama, realita yang selama ini membuat ku lari dan lari dan lari lagi dan selalu begitu. Kuberhentikan langkah sepatu ku pada kursi kosong yang menunggu, di halaman universitas yang sepi, di bawah sebuah pohon talok yang kesepian, di sekat oleh angin malam yang membacok tulang.
“ hmmm “ ku ambil sebatang tembakau yang tergeletak di saku depan kemejaku, menunggu untuk di bakar, kepulan asap yang terbang dari ujungnya ikut membius ku dalam sebuah keadaan yang berbeda, kesadaran yang meninggi dari biasa nya, sesuatu yang kusebut dengan altered state, kesadaran dimana diri ini serasa menyatu dengan jagad raya, alam rekayasa, imajinasi serta warna warna, stimulus yang muncul di sekitarku adalah symbol awal ketika aku memulai pelarian ini, yang kadang aku sebut dengan tiket menuju wonderland, yakni dunia tak terbatas dan tersentuh oleh ruang dan waktu, tak tersentuh oleh kebisingan, tak tersentuh oleh akhir, dunia yang abadi, dunia yang tak pernah bisa di lukai, dunia yang penuh dengan kepalsuan…
Dunia yang sebenar nya tidak pernah nyata.
ketika semuanya mulai buram, kembali ku putar kenangan kenangan tentang masa yang lampau, ketika saat itu aku masih belia, masa masa yang renyah, masa yang penuh dengan tawa, bermain, tersenyum, berteriak, menangis dan terlelap, semua gambar diri itu perlahan mulai menggerogoti nurani ku, mengoyak nya menjadi beberapa bagian, dan beberapa bagian itu terkoyak lagi menjadi beberapa keping keping, bagian ke bagian, dari bagian menjadi keping keping, dari keping melebur menjadi butiran butiran yang segera tertiup angin dan menghilang, hilang dalam sekat angin yang semakin membacok tulang, angin yang menyelimuti dan mengekang, bersama sebuah pohon talok yang juga semakin kesepian.
“ ah…. Apa yang di dapat dari masa lalu, hanyalah tanda yang terjaga dan bagian yang terbuang, diantara kedua nya, kita coba mengenang yang teringat yang terlupakan ”
Terhanyut dalam sebuah lamunan yang mengalir, aku di kagetkan oleh suara lirih yang memanggil lembut, di barengi dengan derap kaki yang kemudian berhenti tepat di hadapan ku, ternyata adalah DIA, yang selama ini menemaniku dalam rekayasa panjang ini, dia yang dengan sabar mencoba untuk meluruskan ku, dia yang anggun juga harum semerbak bagai wangi kembang yang tak lekang, dia yang mulai menganggu pikiran ku sekaligus melahirkan rasa penasaran, dia adalah wanita terindah yang pernah ku temui disini, yang setia dan berdiri di sisiku, menopang ku ketika aku mulai terjatuh, dia yang dengan segala kekuatan hati, cinta dan kasih nya membantuku untuk lepas dari jerat rantai yang kelam, rantai yang mengikatku pada gelombang dan potensi penyalahgunaan.
“ kenapa tidak pulang ???.. sudah gelap “,
ucap nya lembut di barengi kerutan senyum di bibir nya, aku hanya terdiam tanpa menjawab , dan sejenak kami berdua terkulai dalam keheningan, tanpa sepatah kata, sepatah suara, hanya lah detak jarum jam tangan yang melingkar pada lengan ku, yang seakan tau apa yang sedang terjadi, pada hari gelap ini, pada angin yang semakin menguasai, pada bangku dan kursi yang telah terisi, di bawah pohon talok yang seperti nya telah mati, dan membiru tragis.
Tak terasa waktu yang mengalir perlahan menjadi semakin cepat, kulirik jam yang menunjuk pukul 18.47, ku lirik dia, kupandangi perlahan semua lekuk tubuh nya, indah paras nya yang ayu nan rupawan, dia hanya tertunduk tanpa berbicara, seakan mengerti apa yag ku rasa, dan kembali kami berdua hanyut dalam situasi ini. Cukup sabar menunggu ku bergerak dan apa yang di tunggu nya telah tiba, ku sentuh jemari nya, dan berlanjut dengan genggaman yang erat, ia menoleh kearah ku, tersenyum dan membalas genggaman ku, bibir tipis nya bergetar seakan ingin menyampaikan sebuah rasa yang berbunyi “ APAPUN YANG TERJADI AKU AKAN TETAP MENYANYANGIMU SELALU “, dibarengi dengan kecupan hangat di keningku serta ucapan selamat jumpa. J..
Dan dia pun melangkah pergi menjauh, aku terus memandangnya dari sini, terus menerus memandangnya, hingga ia melambaikan tangan dan hilang dalam cahaya malam yang pekat.
Ah… sendiri lagi, duduk seorang diri lagi, seperti ini lagi, lagi dan lagi dan lagi dan selalu begitu, namun sebenarnya aku tak sendiri lagi, tak duduk seorang diri lagi, tak seperti ini lagi, lagi dan lagi dan lagi dan tak selalu begitu. Ya kembali terdengar ocehan dan ucapan dari orang yang lalu lalang tadi siang, yang berkata bahwa aku hanyalah seorang pendusta, celaka, terluka, terkulai juga, melodramatic yang sakit jiwa. Namun aku tak berpikir begitu, aku tak berpikir bahwa aku hanyalah seorang pendusta, celaka, terluka, terkulai juga, ahhh sudah biasa, melodramatic yang sakit jiwa. Namun ternyata aku memang seperti itu, seperti seorang pendusta, celaka, terluka, terkulai juga, ahh makin biasa, melodramatic yang sakit jiwa, terlepas dari itu semua aku hanyalah seorang yang mencoba menyelamatkan kehidupan nya, dari keadaan, dari kenangan, dari masa lalu, dari luka luka, dari busuk nya luka, dari kebohongan, dari dusta, celaka, terluka, terkulai juga, dan melodramatic yang sakit jiwa.
“ Ya… aku hanyalah orang biasa, yang mencoba mencintai diri nya sendiri “..
Semakin larut, kuputuskan untuk melangkah kembali, dengan berat dan tergesa gesa, karena jarak pandang yang berkurang akibat gelap yang datang, agak sempoyongan karena asap yang tertelan, bersama dengan ilusi samar yang ku pertahankan untuk menyembunyikan apa yang seharusnya tak disembunyikan. Tapi setidaknya, dengan menjadi seperti ini, aku tau bagaimana rasa nya menjadi seorang munafik, menyedihkan, terkekang, sama seperti kalian. Tapi setidaknya, aku punya dia yang selalu ada, tapi setidaknya, aku punya asap yang tertelan perlahan membuat berat urat kepala, namun setidak nya…. Aku……
Namun setidak nya..
Namun setidak nya..
Namun setidak nya..
Aku masih bisa bertahan sampai sejauh ini…
Aku masih mampu berjalan, untuk kembali
PULANG..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H