Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia di awal tahun 2020 benar-benar telah menjungkirbalikkan "kehidupan normal" hampir semua manusia di dunia, tak terkecuali saya sendiri.
Meskipun saya pekerja lepas, yang berarti lebih banyak bekerja di rumah, tetap ada perubahan besar yang harus saya lakukan. Di antaranya adalah setiap habis keluar rumah, saya harus langsung mandi dan keramas sebelum melakukan apa pun. Saya tidak lagi kumpul-kumpul bersama teman-teman. Di awal tahun 2021 ini pun saya masih tidak berani makan bareng di luar bersama teman-teman. Itu semua karena di rumah ada ayah saya yang sakit. Beliau sakitnya memang sudah lama, sejak tahun 2017, dan jenis penyakitnya itu termasuk jenis yang membuatnya sangat rentan dengan paparan virus corona ini. Saya tidak mau berisiko menjadi carrier bagi ayah saya. Jadi, terpaksa saya tetap lanjut menggunakan medsos dan telepon biasa sebagai alat komunikasi saya dengan teman-teman.
Selain itu, seperti halnya para pekerja lain yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi, saya pun bisa dibilang mengalami hal yang sama. Aliran proyek terjemahan dan editan yang saya terima menjadi mandek semandek-mandeknya. Sempat pusing, ya memang, tapi saya tidak mau pusing berlama-lama. Saya coba berpikir positif tentang keadaan ini:Â
Dengan begini saya jadi bisa punya waktu banyak untuk membaca buku-buku yang dulu pernah saya beli tapi belum sempat dibaca. Kalaupun ada buku-buku yang ingin saya baca tapi belum memilikinya, saya bisa meminjamnya di perpustakaan daring. Sewaktu masih sibuk menyelesaikan kerjaan terjemahan atau editan, saya cenderung malas baca buku-buku lain di luar kerjaan. Dan di waktu luang malah inginnya nonton, bukannya membaca. Jadi, begitulah alasan saya memulai kembali kegiatan membaca.
Di antara banyak buku yang saya baca selama pandemi, ada buku-buku terbitan GPU yang bisa dibilang membantu saya melewati kondisi pandemi ini, membantu saya beradaptasi dan menjadikan kondisi saya sekarang sebagai pemicu untuk tetap berpengharapan menjadi seseorang yang lebih baik ke depannya.
Dari kisah-kisah para ibu muda, yang kemungkinan besar sebaya dengan saya, dalam serial-serial kumpulan cerpen "Cerita Mamah Muda", yaitu Me Time (terbit tahun 2018), Resolusi (2018), dan Yang Ketiga (2019), saya melihat bagaimana perjuangan ibu-ibu muda itu dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan rumah tangga yang penuh tantangan. Bagaimana mereka belajar bersabar dan harus pintar-pintar mengatur waktu. Dari situ, saya belajar juga untuk menjalani sebaik mungkin apa yang harus saya jalani sekarang ini.
Selama pandemi, saya tidak berani untuk membeli makanan rumahan di warung makan langganan saya. Dulu saya tidak bisa masak, dan cenderung malas untuk memulainya, jadi saya hampir selalu membeli makanan di luar. Mau ikutan pesan katering juga sudah kapok, karena alasan biayanya yang mahal plus varian lauk-pauk dan sayurnya lama-kelamaan membosankan. Nah, berhubung kondisi sekarang tidak memungkinkan saya untuk membeli sembarang makanan di luar, apalagi ada ayah saya yang sakit, saya pun mau tak mau mulai belajar masak. Syukurlah, sekarang kegiatan memasak itu sendiri sudah menjadi kebiasaan.
Lalu, karena tidak ada pekerjaan terjemahan dan editan, saya juga jadi lebih sering membantu suster untuk mengurus ayah saya. Kondisi ayah saya yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain memang menguras tenaga dan emosi siapa pun yang merawatnya. Jadi, setiap kali suster terlihat lelah, sayalah yang akan menggantikannya. Hal-hal ini mungkin bisa sedikit disamakan dengan pengalaman ibu-ibu muda dalam mengurus anak balita mereka seperti di serial kumcer "Cerita Mamah Muda" tadi. Cerita-cerita mereka membuat saya merasa ada "teman" yang menemani saya menjalani semua ini.
Belum lagi ditambah bacaan novel Kim Ji-Yeong, Lahir 1982 karya Cho Nam-Joo (terbit tahun 2019) dan buku motivasi Imperfect karya Meira Anastasia (2018), yang juga dilengkapi dengan menonton film-film adaptasinya. Kedua karya tulis ini yang menurut saya lebih masuk ke jenis jurnal pribadi, mendorong saya untuk tetap tabah dalam menerima kenyataan (kehilangan pekerjaan sebagai penerjemah dan editor, mengurus kegiatan rumah tangga seperti memasak, dan mengurus ayah yang sakit).Â
Dari semua ini, saya terinspirasi untuk "banting setir" dalam pekerjaan saya. Seperti halnya Kim Ji-Yeong dari versi filmnya, saya ingin menjadi penulis. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah menjadi penulis buku-buku nonfiksi, sebelum akhirnya beralih menjadi editor dan penerjemah buku. Mungkin sekaranglah saatnya saya mencoba lagi untuk menjadi penulis. Dan kali ini, saya ingin mencoba ranah baru, yaitu fiksi. Apalagi kalau diingat-ingat, dulu waktu novel fantasi Harry Potter-nya JK Rowling sedang populer di mana-mana, dalam hati saya sempat ada keinginan besar untuk mengikuti jejak Rowling: Menciptakan sebuah cerita yang berpengaruh pada hidup banyak orang. Semoga keinginan ini bisa terwujud. Amin.