Mohon tunggu...
Siva Rahma
Siva Rahma Mohon Tunggu... Akuntan - akuntansi

@Sivaa.fr

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Kasus Fraud Pada PT Asuransi Jiwasraya

9 Januari 2025   18:39 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:38 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Fraud Triangle Theory Oleh Cressey (Machado & Gartner, 2018)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang  
Fraud atau kecurangan adalah tindakan yang disengaja untuk mendapatkan keuntungan yang
tidak sah dengan cara melanggar aturan, hukum, atau prinsip etika. Fraud dapat terjadi di
berbagai sektor, mulai dari pemerintahan, korporasi, hingga organisasi non-profit. Fenomena
ini telah menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem yang ada.
Dalam dunia bisnis, fraud sering kali muncul karena lemahnya pengawasan, tekanan
finansial, atau budaya organisasi yang permisif terhadap pelanggaran etika. Fraud tidak hanya
berdampak pada kerugian finansial, tetapi juga dapat menghancurkan reputasi organisasi dan
merugikan banyak pihak. Di Indonesia, berbagai kasus fraud yang melibatkan perusahaan besar
dan institusi pemerintah menunjukkan bahwa kecurangan sering kali dilakukan secara
sistematis dan melibatkan kolusi antara pihak internal dan eksternal.
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud dapat dikelompokkan
ke dalam tiga kategori utama:
1. Fraud Laporan Keuangan: Manipulasi data akuntansi untuk memberikan gambaran yang
tidak akurat tentang kinerja atau posisi keuangan perusahaan.
2. Penyalahgunaan Aset: Pencurian atau penggelapan aset perusahaan, seperti uang,
inventaris, atau properti.
3. Korupsi: Praktik penyuapan, penggelapan dana publik, atau kolusi yang melibatkan pihak
pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus seperti Jiwasraya, Asabri, dan korupsi dana
bantuan sosial adalah contoh nyata dari fraud yang terjadi dalam berbagai bentuk. Fraud sering
kali didorong oleh kombinasi faktor, termasuk tekanan untuk memenuhi target finansial,
kelemahan dalam sistem pengendalian internal, dan rasionalisasi moral yang dilakukan oleh
pelaku. Kelemahan sistem hukum dan pengawasan juga menjadi celah yang dimanfaatkan oleh
pelaku fraud.
Fraud tidak hanya berdampak pada organisasi, tetapi juga merugikan masyarakat luas.
Misalnya, dalam kasus Jiwasraya, ribuan nasabah kehilangan dana investasi mereka karena
pengelolaan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa fraud dapat
menimbulkan efek domino yang merugikan banyak pihak. Selain itu, tingkat kepercayaan
publik terhadap institusi keuangan dan pemerintah juga menurun akibat maraknya kasus fraud.
Seiring dengan perkembangan teknologi, modus operandi fraud menjadi semakin
kompleks. Teknologi yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan efisiensi justru
dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan kecurangan. Oleh karena itu, upaya pencegahan
fraud tidak hanya memerlukan penguatan sistem pengendalian internal, tetapi juga penerapan
teknologi yang dapat mendeteksi dan mencegah potensi fraud sejak dini.
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh fraud, penting bagi organisasi untuk memiliki
kebijakan yang tegas dalam mencegah dan menangani kecurangan. Selain itu, pendidikan dan
pelatihan untuk meningkatkan kesadaran akan risiko fraud juga perlu diterapkan secara
berkelanjutan. Dengan memahami latar belakang dan penyebab fraud, langkah-langkah
preventif dapat dirancang untuk menciptakan lingkungan yang transparan dan bebas dari
kecurangan.
 
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja teori yang dapat digunakan untuk memahami terjadinya fraud?
2. Bagaimana analisis terhadap salah satu kasus fraud di Indonesia?
3. Apa saja langkah pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya fraud?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan perkembangan teori fraud dari Triangle of Fraud hingga Hexagon of Fraud.
2. Menganalisis salah satu kasus fraud di Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi upaya pencegahan fraud.

BAB II
TEORI PENUNJANG
2.1 Pengertian Fraud  
Fraud adalah penyajian laporan keuangan palsu secara sengaja dengan menghilangkan atau
menambahkan jumlah tertentu untuk menipu pemilik hak dari laporan keuangan tersebut.
Contoh fraud adalah penipuan pajak, penipuan kartu kredit, penipuan sekuritas, dan penipuan
penipuan keuangan yang lain. Fraud sendiri dapat dilakukan oleh satu individu, kelompok
maupun perusahaan secara utuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian dari apa itu
fraud adalah serangkaian ketidakberesan (irregularities) dan perbuatan melawan
hukum (illegal act) yang dilakukan oleh suatu pihak guna mendapatkan keuntungan pribadi.
Berikut definisi dan pengertian fraud dari beberapa sumber buku:
a) Menurut Tunggal (2009), fraud atau kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud
untuk memberikan manfaat keuangan pada si penipu.
b) Menurut Rozmita (2013), fraud adalah penyimpangan, error (kesalahan) dan irregularities
(ketidakberesan dalam masalah financial).
c) Menurut Pusdiklatwas BPKP (2002), fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar
hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan
maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara langsung atau tidak
langsung merugikan pihak lain.
d) Menurut Sawyer's (2004), fraud adalah suatu tindakan pelanggaran hukum yang dicirikan
dengan penipuan, menyembunyikan, atau melanggar kepercayaan.
e) Menurut Karyono (2013), fraud adalah penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum
(illegal act), yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu misalnya menipu atau
memberikan gambaran keliru (mislead) kepada pihak-pihak lain, yang dilakukan oleh
orang-orang baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
Sesuai dengan pengertian fraud, berikut adalah jenis-jenis fraud yang biasa terjadi di
lingkungan perusahaan berdasarkan bentuknya.
1. Korupsi
Korupsi adalah salah satu contoh fraud yang paling marak terjadi di Indonesia. Korupsi
biasanya berbentuk penyuapan, pemerasan, atau penyalahgunaan informasi suatu instansi.
Wujud yang dapat terbentuk dari fraud jenis ini adalah gratifikasi atau pemberian hadiah demi
kepentingan jangka panjang.
2. Pencucian dan penggelapan uang
Pencucian dan penggelapan uang adalah jenis kasus fraud di Indonesia yang berkorelasi
dengan white collar crime. Dalam jenis penipuan ini pelaku akan menyalahgunakan aset yang
dipercayakan padanya.
Contohnya adalah multi level marketing dengan skema Ponzi. Jadi, pelaku akan menggelapkan
aset para investor yang dipercayakan padanya.
3. Pencurian data
Pencurian data adalah salah satu jenis kasus fraud di indonesia yang terjadi melalui
pengambilan data-data penting instansi atau perusahaan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Tindakan ini tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga dapat merugikan
masyarakat secara luas.
Penipuan jenis pencurian data disebut computer fraud jika pencatatan data baik berupa
pembukuan keuangan atau catatan operasional hingga data pribadi suatu perusahaan terpusat
pada komputernya.
4. Penyimpangan aset
Penyimpangan data merupakan salah satu jenis kasus fraud di Indonesia yang paling
umum terjadi dalam sebuah perusahaan. Jenis penipuan ini meliputi seluruh tindakan berkaitan
dengan pencurian atau penyalahgunaan aset yang dipercayakan pada orang tersebut.
Walaupun penyimpangan aset paling banyak terjadi dalam perusahaan, namun
penyimpangan ini merupakan yang paling mudah dideteksi selama pencatatan dan pengelolaan
keuangan perusahaan dikerjakan dengan baik.
2.2 Teori Perkembangan Fraud
2.2.1 Teori Fraud Triangle  
Gagasan pertama kali diciptakan oleh Cressey pada tahun 1953 dinamakan fraud Triangle
atau segitiga kecurangan. Penemuan dari penelitiannya yang berjudul Other People Maney: A
Study In The Social Psychology Of Embezzelent menjelaskan mengenai alasan mengapa
orang-orang berpotensi melakukan fraud. Cressey (1953) dalam (Skousen, Smith, & Wright,
2009), berpendapat bahwa sampai batas tertentu terdapat tiga kondisi yang selalu hadir pada
saat kecurangan laporan keuangan terjadi. Kondisi ini (pressure, opportunity, dan
rasionalization) menjadikan dasar kerangka faktor resiko kecurangan. Berikut skema dari fraud
triangle yang digambarkan seperti dibawah ini:

Pressure
Kondisi yang dapat menekan seseorang untuk melakukan kecurangan yang dikemukakan
oleh Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014), pressure dibagi kedalam tiga kelompok
yaitu:
1. Tekanan Keuangan (Financial Pressure) Hampir 95% Fraud dilakukan kaena adanya
tekanan dari segi keuangan yang biasanya diselesaikan dengan tindakan mencuri.
2. Tekanan akan Kebiasaan Buruk (Vices Pressures) Pada tekanan ini dikarenakan adanya
dorongan memuaskan kebiasaan (nafsu). Tekanan ini mendorong memenuhi kebiasaan
buruk yang dapat dibilang sebagai hobi.
3. Tekanan yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work-Related Pressure) Kebutuhan
akan keadaan dalam lingkungan kerja tidak diperoleh karyawan karena hubungan antar
sesama rekan maupun hubungan dengan atasan-bawahan kurang harmonis baik dalam
hal pekerjaan maupun kinerja individu, sehingga terjadi tekanan dan mendorong
karyawan untuk melakukan fraud untuk memperoleh perhatian atas usahanya.
Opportunity
Elemen kedua dari Fraud Triangle adalah peluang atau kesempatan. Fraud tidak mungkin
terjadi apabila tidak adanya peluang atau kesempatan pada kondisi yang tepat dalam
melakukan kecurangan. Menurut Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014) terdapat enam
faktor peluang untuk melakukan fraud antara lain:
1. Kurangnya kontrol dalam pencegahan atau mendeteksi fraud
2. Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja
3. Kegagalan untuk mendisiplinkan para pelaku fraud
4. Kurangnya pengawasan terhadap akses informasi
5. Ketidakpedulian dan ketidakmampuan untuk mengantisipasi fraud
6. Kurangnya jejak audit (audit trail)
Rationalization
Sikap rasionalisasi yang menjadi elemen terakhir dalam fraud triangle theory yang mendasari
bahwa anggapan tindakan yang dilakukan adalah benar. Rasionalisasi merupakan alasan
pembenaran dari pribadi pelaku fraud atas kesalahan dari perbuatan yang merugikan pihak lain.
Albrecht dan Sihombing (2014) menjelaskan bahwa rasionalisasi sering terjadi ketika
melakukan fraud antara lain:
1. Asset itu sebenarnya milik saya (perpetrator's fraud)
2. Saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali
3. Tidak ada pihak yang dirugikan
4. Ini dilakukan untuk sesuatu yang mendesak
5. Kami akan memperbaiki pembukuan setelah masalah keuangan ini selesai
6. Saya rela mengorbankan reputasi dan integritas saya asal hal itu dapat meningkatkan
standar hidup saya
2.2.2 Teori Fraud Diamond  
Fraud diamond theory pertama kali dikenalkan oleh Wolfe dan Hermanson pada bulan
Desember 2004. Hal ini dipandang sebagai penyempurnaan yang diperluas dari fraud triangle
theory. Wolfe dan Hermanson (2004) mengatakan: many frauds, especially some of the
multibillion-dolar ones, would not have occurred without the right person with the right
capabilities inplace. Opportunity opens the doorway to fraud, and incentive and
rationalization can draw the person towars it. But the person must have the capability to
recognize the open doorways as an opportunity and to take advantage of it by walking through,
not just once, but time and time again. Accordingly, the critical question is; who could turn on
opportunity for fraud into realty. (Banyak kecurangan tidak akan terjadi tanpa adanya orang
yang tepat yang memiliki kemampuan untuk melakukan kecurangan. Posisi seseorang atau
fungsi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan
kesempatan agar kecurangan tidak tersedia untuk orang lain).
Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa variabel kemampuan (capability) dapat
dijadikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan fraud di
lingkungan organisasi. Fraud diamond ini terdiri dari empat elemen indikator yaitu tekanan
(pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization) dan kemampuan
(capability). Berikut merupakan gambar fraud diamond:

Gambar 2: Fraud Diamond Theory (Wolfe dan Hermanson, 2004)
Gambar 2: Fraud Diamond Theory (Wolfe dan Hermanson, 2004)

2.2.3 Teori Fraud Pentagon  
Teori ini dikemukakan oleh Crowe Horwath pada tahun 2011. Teori fraud pentagon
merupakan perluasan dari teori fraud triangle yang sebelumnya dikemukakan oleh Cressey
1953, dan teori fraud diamond yang sebelumnya dikemukakan oleh Wolfe dan Hermanson
2004, dalam dalam teori ini menambahkan elemen fraud lainnya yaitu kompetensi (competence)
dan arogansi (arrogance).

Sumber : The Institute of Internal Auditors Long Island Chapter Newsletter
Sumber : The Institute of Internal Auditors Long Island Chapter Newsletter

Konsep dari capability dan competence secara umum sama definisinya, dalam fraud
diamond (Wolfe dan Hermanson, 2004) dan Crowe's Fraud Pentagon Model (Horwath, 2011).
Competence merupakan perluasan pada elemen dari opportunity yang meliputi kemampuan
individu untuk mengesampingkan pengendalian internal dan untuk mengendalikan secara
sosial situasi tersebut untuk keuntungan pribadinya. Sedangkan arrogance merupakan perilaku
superioritas dan hak atau keserakahan pada pelaku kejahatan yang mempercayai bahwa
kebijakan perusahaan dan prosedur tidak diterapkan kepadanya (Horwath, 2011).
Horwath (2011) mengemukakan bahwa ada lima elemen dari arrogance dari perspektif
CEO, sebagai berikut (Yusof, Khair, & Simon, 2015):
1. Ego besar -- CEO terlihat seperti selebriti daripada seorang pengusaha.
2. Mereka menganggap pengendalian internal tidak berlaku untuk dirinya.
3. Memiliki karakteristik perilaku pengganggu.
4. Memiliki kebiasaan memimpin secara otoriter.
5. Memiliki ketakutan akan kehilangan posisi atau status.

BAB III
CONTOH KASUS DI INDONESIA
3.1 Kasus Fraud Jiwasraya (2019)
3.1.1 Kronologi Kasus  
PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) ialah salah satu perusahaan milik negara yang bergerak
dalam bidang jasa keuangan dan telah berdiri sejak tanggal 31 Desember 1859. Kegiatan utama
yang dilakukan perseroan bertujuan untuk memberi edukasi terhadap masyarakat dalam hal
perencanaan masa depan serta berupaya untuk memenuhikebutuhan masyarakat yang berupa
asuransi jiwa dan perencanaan keuangan yang kompleks. Pada pertengahan tahun 2018,
ditemukan kejanggalan dalam laporan keuangan oleh direksi baru perseroan yang kemudian
terbukti atas melakukan kecurangan manipulasi laporan keuangan pada November 2018.  
Pada tahun 2006, nilai ekuitas perseroan dinyatakan mencatat defisit sebesar 3,29 triliun
rupiah oleh Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada tahun 2008,
dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang kemudian diberi opini
disclaimer dalam arti bahwa auditor tidak menyatakan pendapat untuk laporan keuangan 2006
hingga 2007, hal ini dikarenakan informasi yang diberikan mengenai cadangan tidak dapat
diyakini kebenarannya. Di tahun yang sama, ekuitas perseroan terus menurun hingga mencapai
Rp 5,7 triliun pada tahun 2008 dan Rp 6,3 triliun pada tahun 2009. Perseroan terus melanjutkan
skema reasuransi pada tahun 2010 hingga 2012 dan berhasil mencatat angka positif sebesar Rp
1,3 triliun pada akhir tahun 2011. Namun, Isa Rachmatawarta yang merupakan kepala dari Biro
Perasuransian menyatakan bahwa metode reasuransi ialah solusi sementara terhadap seluruh
masalah. Hal ini mendukung keputusan Kepala Biro Perasuransian pada tahun 2012, dimana
permohonan perpanjangan reasuransi juga ditolak dengan pernyataan bahwa laporan keuangan
perseroan 2011 tidak mencerminkan angka yang wajar.  
Perseroan mulai menunjukkan keanehan sejak tahun 2014, dimana perseroan mampu
memberikan sponsor untuk klub sepak bola Manchester City di tengah permasalah
keuangannya. Namun, kondisi keuangan perseroan kembali tampak mengalami kenaikan
dengan pendapatan yang dicapai dari produk JS Saving Plan sebesar Rp 21 triliun. Kinerja baik
perusahaan tidak berlangsung lama, dimana pada tahun 2018, direktur utama dan direktur
keuangan Jiwasraya dicabut. Posisi direktur utama digantikan oleh Asmawi Syam, dan
dibawah kepemimpinannya, Asmawi melaporkan keanehan laporan keuangan perseroan
kepada Kementerian BUMN. Keanehan tersebut terbukti dari hasil audit
PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan 2017 yang dilakukan koreksi terhadap
laporan keuangan interim dari laba sebesar Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.  
Pada Agustus 2018, Menteri BUMN mempertemukan direksi untuk menyelidiki
penyebab potensi kegagalan perseroan dalam membayar nasabah, serta mengundang BPK dan
BPKP untuk ikut serta dalam melakukan audit investigasi terhadap perseroan. Oktober 2018,
masalah tekanan likuiditas mulai diketahui publik, dan perseroan juga mengumumkan atas
ketidakmampuan dalam membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp
802 miliar. Akibat dari hal ini, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko menggantikan
Asmawi Syam dalam posisi direktur utama. Direktur baru ini mengungkapkan bahwa
perseroan membutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas 120
persen, dan aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 23,26 triliun dengan kewajiban
perusahaan yang mencapai Rp 50,5 triliun.  
Erick Thohir, selaku Kementerian BUMN mengaku melaporkan indikasi kecurangan di
perseroan ke Kejaksaaan Agung (Kejagung) pada bulan November 2019. Hal itu dilakukan
setelah pemerintah telah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak
transparan. Selain itu, kegiatan investasi perseroan terhadap saham-saham yang buruk juga
menjadi salah satu penyebab gagal bayar klaim asuransi nasabah. Hasil audiensi Kepala Staf
Kepresidenan Moeldoko dengan Forum Nasabah Korban Jiwasraya mengungkapkan bahwa
gagal bayar klaim asuransi tersebut melibatkan korban sebanyak 5,3 juta nasabah dan sekitar
80 persen di antaranya merupakan nasabah kalangan mengengah ke bawah. Pada bulan yang
sama, status pemeriksaan perseroan dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan kasus
korupsi. Kemudian, pada bulan Desember 2019, penyidikan Kejagung terhadap dugaan
korupsi perseroan menyebutkan bahwa Jiwasraya menempatkan 95 dana investasi pada asset
yang berisiko.  
Kasus perseroan berlanjut hingga tahun 2021. Pada tanggal 25 Agustus 2021, 6 terdakwa
yang dinyatakan menyebabkan kerugian terhadap negara sebesar Rp 16 triuliun dipidana atas
kasus korupsi dan pencucian uang di PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) dipenjarakan oleh
Kejagung DKI Jakarta. Pihak terpidana merupakan komisaris PT Trada Alam Minera Heru
Hidayat, mantan kepala divisi investasi direktur dan keuangan Jiwasraya Syahwirman, mantan
direktur Maxima Integra Joko Hartono, mantan direktur keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo,
mantan direktur utama Rahim Hendrisman, dan komisaris PT Hanson Internasional Benny
Tjokcrosaputro. Keputusan ini dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) atas hukuman pidana
berupa penjara dan denda.  
3.1.2 Kategori fraud
Berdasarkan hasil pembahasan kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero), dapat diketahui
bahwa fraud yang dilakukan oleh perseroan berupa korupsi dan manipulasi laporan keuangan.
Korupsi merupakan kategori fraud yang rentan terjadi dan paling merugikan di Indonesia
(Murdock, 2018). Selain melakukan tindak pidana korupsi dan manipulasi laporan keuangan,
perseroan juga terdeteksi dalam melakukan pencucian uang. Pencucian uang merupakan
sebuah upaya yang dilakukan secara sengaja untuk menyembunyikan hasil dari tindak kriminal,
baik itu korupsi, judi, atau tindakan lain yang melanggar hukum.
3.1.3 Analisis geografis dan indsutri fraud
Berdasarkan hasil analisa dari kasus fraud PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) diketahui
bahwa kecurangan ini dilakukan oleh direksi perusahaan yang merupakan warga negara
Indonesia dan bekerja di salah satu industri jasa keuangan milik negara. Tindakan fraud
dilakukan dan terdeteksi di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, DKI Jakarta.  
3.1.4 Identitas korban
Tindakan korupsi dan pencucian uang yang terjadi di PT. Asuransi Jiwasraya (Persero)
menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak, salah satunya adalah negara. Berdasarkan
pembahasan kasus, diketahui bahwa negara Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 16
triliun atas kasus fraud yang dilakukan oleh perseroan. Selain itu, kasus ini juga merugikan
korban sebanyak 5,3 juta nasabah yang 80 persen di antaranya merupakan nasabah kalangan
menengah ke bawah.
3.1.5 Identitas pelaku
Kasus fraud PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) pada tahun 2018 menyeret 6 orang
terdakwa yang kemudian telah dipidanakan atas keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2021
yaitu komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, mantan kepala divisi investasi direktur
dan keuangan Jiwasraya Syahwirman, mantan direktur Maxima Integra Joko Hartono, mantan
direktur keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan direktur utama Rahim Hendrisman, dan
komisaris PT Hanson Internasional Benny Tjokcrosaputro.  
3.1.6 Motivasi pelaku
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa pada kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero),
pelaku fraud melakukan investasi terhadap saham-saham yang tidak bagus dan melakukan
korupsi. Hal ini menyebabkan terjadinya defisit pada ekuitas perseroan. Tercatatnya nilai
negatif pada laporan keuangan ini menimbulkan tekanan bagi para pelaku, sehingga melakukan
manipulasi terhadap laporan keuangan.  
3.1.7 Dampak dari tindakan fraud  
Dampak dari tindak kecurangan yang dilakukan oleh PT. Asuransi Jiwasraya (Persero)
terbagi menjadi dua jenis, yaitu dampak dari aspek keuangan dan non- keuangan. Dari aspek
keuangan, dampak dari kasus fraud tersebut membawa kerugiandari investasi reksadana dan
pembelian saham bagi negara Indonesia yang mencapai Rp 16 triliun. Selain itu, jumlah
transaksi dari perusahaan mengalami penyusutan di pasar modal, dan frekuensi transaksi harian
di bursa yang turut melambat. Akibat dari kecurangan yang dilakukan oleh perseroan juga
menyebabkan dampak dalam aspek non-keuangan, yaitu menurunnya tingkat kepercayaan
nasabah terhadap industri jasa keuangan, terutama asuransi.  
3.1.8 Strategi, alat dan metode dalam mendeteksi fraud
Serangkaian tindakan fraud yang dilakukan oleh PT. Asuransi Jiwasraya (Persero)
berhasil terdeteksi oleh berbagai pihak mulai dari pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan
kembali oleh direksi baru dan menemukan kejanggalan terhadap laporan keuangan, serta
whistleblowing atau pelaporan yang dilakukan kepada Kementerian BUMN. Pelaporan
tersebut kemudian dilanjutkan dengan audit oleh pihak eksternal perusahaan, yaitu audit yang
dilakukan oleh PwC. Selain itu, laporan keuangan perusahaan dilakukan pemeriksaan oleh
berbagai pihak hingga tindakan fraud tersebut terbukti.
 
BAB IV
PEMBAHASAN DAN PENCEGAHAN
4.1 Pembahasan Berdasarkan Teori Fraud
1. Pressure: Direksi Jiwasraya menghadapi tekanan untuk menunjukkan kinerja
perusahaan yang menguntungkan.
2. Opportunity: Lemahnya pengendalian internal dan pengawasan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
3. Rationalization: Direksi mungkin merasa tindakannya sah karena dianggap sebagai
bagian dari "strategi bisnis."
4. Capability: Pelaku memiliki kemampuan teknis dalam mengelola investasi dan
menyembunyikan transaksi ilegal.
5. Arrogance: Pelaku merasa tidak akan terjerat hukum karena posisinya.
6. Collusion: Kolaborasi antara direksi Jiwasraya dan manajer investasi mempermudah
pelaksanaan fraud.
4.1.1 Dampak Kasus Fraud
* Ekonomi: Kehilangan dana besar dan rusaknya kepercayaan publik terhadap sistem
keuangan.
* Sosial: Ribuan korban individu yang mengalami kerugian finansial.
* Hukum: Kompleksitas proses hukum untuk menangani kasus dengan banyak pihak
terlibat.
4.2 Pencegahan Fraud
1. Penguatan Pengendalian Internal
* Implementasi sistem pengawasan yang ketat pada pengelolaan dana.
* Penggunaan teknologi seperti blockchain untuk meningkatkan transparansi.
2. Pendidikan dan Kesadaran
* Program pelatihan untuk karyawan tentang etika kerja dan risiko fraud.
* Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang modus-modus fraud.
3. Penegakan Hukum
* Penjatuhan hukuman yang tegas terhadap pelaku fraud untuk memberikan efek jera.
* Kerjasama antar lembaga penegak hukum untuk menangani kasus fraud yang
kompleks.
4. Regulasi yang Lebih Ketat
* Penguatan peraturan di sektor asuransi dan keuangan.
* Peningkatan kewenangan otoritas pengawas seperti OJK.
5. Penggunaan Teknologi
* Implementasi analitik data untuk mendeteksi anomali dalam transaksi keuangan.
* Pemanfaatan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi potensi fraud secara dini.
 
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan  
Fraud merupakan sebuah tindakan curang yang dilakukan dengan berbagai cara secara
cerdik dan fiktif untuk mengambil keuntungan dari pihak lain. Fraud yang dilakukan di
perusahaan dapat berupa penyelewengan aset, korupsi, kecurangan laporan keuangan, dan
sebagainya. Berdasarkan pembahasan dan analisa kasus pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero)
ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan Tindakan fraud berupa korupsi dan manipulasi
laporan keuangan. Perseroan melakukan manipulasi laporan keuangan atas defisit ekuitas yang
timbul akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan direksi dan pihak lainnya dalam melakukan
investasi terhadap saham-saham yang kurang bagus. Tindakan fraud ini melibatkan enam pihak
dan menyebabkan kerugian bagi nasabah dan negara dengan jumlah kerugian yang mencapai
Rp 16 triliun. Kecurangan ini terdeteksi setelah berjalan beberapa tahun dan melalui
pemeriksaan oleh berbagai pihak eksternal. Atas hasil analisa dari kasus ini, direkomendasikan
untuk para konsumen dan investor agar lebih teliti dalam melakukan keputusan investasi
ataupun pembelian produk dari sebuah perusahaan untuk menghindari terjadinya kerugian
yang tidak diinginkan. Pengendalian internal dalam perusahaan juga perlu diperkuat untuk
meminimalisir peluang bagi pelaku fraud dalam melakukan kecurangan, terutama dalam
penyusunan laporan keuangan. Pengawasan dan pemeriksaan rutin terhadap laporan keuangan
perlu dilakukan agar kejanggalan ataupun salah saji yang terjadi dapat terdeteksi dalam waktu
yang singkat.
 
Daftar Pustaka
1. ACFE. (2020). Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2020). Laporan Kasus Jiwasraya.
3. Cressey, D. R. (1950). Other People's Money: A Study in the Social Psychology of
Embezzlement.
4. OJK. (2020). Laporan Tahunan Pengawasan Industri Keuangan.
5. https://www.ocbc.id/id/article/2022/03/23/fraud-adalah
6. https://bbs.binus.ac.id/businesscreation/2020/10/fraud/#:~:text=Menurut%20Karyono
%20(2013)%2C%20fraud,dalam%20maupun%20dari%20luar%20organisasi.  
7. https://educhannel.id/artikel/akuntansi/perkembangan-fraud
theory.html#google_vignette  
8. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi) Vol. 6 No. 2, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun