Sore ini memberi keteduhan. Lembayung senja menulis kisah baru. Mungkin tidak seperti waktu dulu, sewaktu kaki kecilnya melangkah di tepi pantai, menanti matahari. Gadis kecil itu kini mempunyai kaki yang lebih panjang, tubuhnya mungkin memang tidak terlalu tinggi, tapi badannya yang mungil dan tingkahnya yang lucu selalu membuatnya tampak menarik. Ia bukan lagi gadis kecil yang merindukan matahari, karena di waktu malam hari matahari itu pergi meninggalnya. Saat ini ia memeluk udara, tak tersentuh, tetapi udara selalu mengisi rongga-rongga kosong di dalam tubuh mungilnya. Ia sudah mengenal dirinya lebih jauh, lebih mengenal obsesi mungilnya yang semakin hari semakin besar.
C i n t a .
Ia mulai menyadari Cinta tidak dapat seperti Silogisme Aristoteles yang menjadi kesimpulan antara Premis Mayor dan Premis Minor. Karena Cinta seringkali tak sejalan dengan Logika. Cinta, tidak selalu indah seperti alunan Divertimento karya Mozart. Namun, Cinta mampu membuatnya lebih indah atau jauh lebih buruk dari nyanyian penyanyi bersuara paling fals sekalipun. Cinta, mungkin memang tidak selalu indah seperti puisi-puisi Kahlil Gibran, tetapi juga tidak selalu tragis seperti kisah Romeo and Juliet. Semuanya berputar dalam satu pusaran, antara ekosistem mimpi dan keinginan untuk mewujudkan hukum tarik-menarik pada kenyataannya.
K o n t r a d i k t i f .
Seandainya hal ini mampu dipecahkan dalam paradoks mimpi. Pasti menemukan Cinta sejati tidak akan sesulit itu, bahkan sekalipun Nostradamus diberi umur panjang untuk meramalkan takdirnya. Gadis itu menggenggam erat jemarinya, menggigit bibir mungilnya. Didalam dadanya bergemuruh keinginan besar. Ia ingin menemukan takdirnya sendiri. Bolehkah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H