Mohon tunggu...
Situr  Wijaya
Situr Wijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profesional Muda
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Beraking News dan Hiburanâś…

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertahankan Seni dan Budaya Jawa di Perantauan, Donggala

30 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   00:19 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BEGINILAH salah satu pentas Kudang Lumping yang ada di Desa Karya Mukti, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala. Nampak memukau penonton yang datang. Foto: Situr Wijaya/Kompas.com

PADATNYA penduduk di sejumlah wilayah Jawa, Bali dan Lombok era Presiden Suharto, puluhan tahun silam membuat Presiden itu membentuk program Transmigrasi.

KALAH itu ribuan warga Jawa Bali dan Lombok di Transmigrasikan ke luar pulau. Tujuannya adalah untuk mengurangi kepadatan penduduk dan memberikan kehidupan yang baik agar angka kemiskinan berkurang.

Mengingat padatnya penduduk di Jawa, Bali dan Lombok membuat lapangan pekerjaan kala itu minim. Hingga Presiden Suharto memberangkatkan ribuan warga menjadi penduduk Transmigrasi ke Sulawesi, Sumatera, Irian, Kalimantan dan Maluku.

Salah satunya ada di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Para Transmigrasi yang datang ke Donggala pun tidak meninggalkan warisan sejarah dan budayanya.

Adalah Kudang Luping, warisan budaya satu ini tidak pernah lepas dari suku jawa. Pagelaran Kudang Lumping yang kerap meramaikan acara pesata kawin dan sunatan serta acara lainya itu tumbuh di Perantauan.

Salah satu Grup Kudang Lumping Turonggo Pandowo di Desa Karya Mukti, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala. Di daerah ini kesenian jawa tumbuh dan berkembang terus berkembang.

“Orang jawa itu tidak bisa lepas dari seni jawanya walau hidupnya di perantauan, jauh dari kampung,” kata salah satu Anggota Kerukunan Keluarga Jawa Sulteng, Endah Wahyuning Asih Minggu (28/8/2016).

Selain itu warga Transmigrasi yang masih mempertahankan adat istiadat jawanya juga ada di Laludu, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala. Rio Pakava adalah Transmigrasi yang mayoritas dihuni oleh penduduk jawa. Selain jawa ada juga Lombok dan Bali.

“Kita di Palu kalu ada acara kita biasa mengundang Grup Kuda Lumping di Rio Pakava. Karena kita masih sebagai kekeluargaan semua kalau sesama jawa,” tambah Endah.

Kesenian tari kuda lumping sebetulnya lebih populer didaerah Jawa, khususnya Timur, Malang, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya.

Biasanya kuda lumping ini ditampilkan juga apada dalam event event tertentu misalnya menyambut Tamu Kehormatan, sebagai acara syukuran  atas Doa yang dikabulkan Yang Maha Kuasa.

Seringkali yang dikenal masyarakat adalah bahwa kuda lumping ini selalu melibatkan makhluk halus dalam atraksi atraksi supranatural dan berbau magis.

Misalnya makan kaca,makan bara api,berjalan diatas pecahan beling dan bara api,mengangkat benda berat,disayat pisau,dibacok  dengan golok sampai menari dalam keadaan kesurupan.

Sepertinya ini adalah merefleksikan bentuk kekuatan supranatural yang berkembang dilingkungan kerajaan Jawa.Merupakan  aspek non militer pada saat perlawanan terhadap penjajah Belanda

Untuk diketahui Kuda Lumpung adalah seni dan budaya warisan turun temurun di jawa. Kudang Lumping merupakan terbuat dari bambu-bambu yang dibelah dan dirangkai sedemikian rupa menyerupai kuda.

Pemainnya diatas dua orang dan saat sedang mementaskan kuda lumping tentu diiringi dengan musik khas jawa. Ada musik Gong, Gamelan dan gendang sebagai pengiring permainan kuda lumping.

Seiring dengan perkembangan zaman maka gamelan tersebut ditambah dengan music piano guna menambah keindahan suara alunan gambelan.

Gamelan dipukul satu persatu bersahutan menjadi satu mengiringi tarian khas Kudang Lumping saat dipentaskan di suatu acara. Baju-baju yang kenakan pemain pemain pun beda dengan baju yang dipakai orang pada umumnya.

Corak baju khas jawa, seluruh muka dihiasi dengan coretan yang rapi warna-warni hitam merah kuning dan sejumlah warna muka lainnya menjadi ciri khas tersendiri permainan kudang lumping itu.

“Kita hidup diperantau ini harus mempertahankan seni dan budaya jawa yang diwariskan oleh leluhur kita,” tutupnya Endah. ***

Oleh : Situr Wijaya, Donggala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun