‘Puas’… batin pria paruh usia itu. Kurang dari sepuluh menit, dua kali dia menyetubuhi perempuan itu, Situn. Dan kemudian ringsek di samping tubuhnya yang bugil. Menelungkup. Lemas.
‘Hik..hik, pak Kos perkasa’ desis Situn nakal.
Tiba-tiba, air muka lelaki itu tegang. Tanpa aba-aba, dia bangkit, berdiri tegak bak perwira dimedan perang.
‘Edan!’ umpat lelaki itu ringkas. Disambarnya beberapa lembar kain di sudut ranjang. Satu persatu dilekatkan ditubuhnya. Tanpa satupun kata yang keluar.
‘Eh.. mau kemana pak Kos? Kok buru-buru’ celetuk Situn menggoda dari pojok sana. Di depan meja rias, sambil meringis melihat biji giginya yang menguning. Karena rokok.
‘Istriku Tun, waduh mati aku….’ jawab lelaki itu singkat. Lalu lelaki itu menutup kancing celananya. Dan bergegas kilat memungungi Situn. Berjalan merunduk, seakan mencoba melipat mukanya dibalik kerah kemeja. Menuju pintu dan hilang setalah daun pintu itu kembali merapat.
Sesaat kemudian, suasana kamar Situn benar-benar senyap. Tubuhnya membatu diatas kursi rias. Pandanganya mendadak kosong, bersamaan tertutupnya pintu itu. Jiwanya sesaat tergoncang. Dan detak jantungnya terpacu.
Seolah seperti melihat hantu, Â ketika sosok pria itu hilang.
Tidak, bukan hantu. Hanya saja, sosok pria tambun itu tidak asing baginya. Entah di mana.
Situn terus mengkocok otaknya. Mencari potongan memori di dalam kepalanya. Sampai akhirnya, ingatanya melayang ke desa, tempat dia berasal.
Puluhan tahun lalu, pada hari Kamis, pagi hari, sesaat setalah azan subuh, suara tangisan meladak di halaman rumah Situn. Ibunya, berteriak kesetanan. Dia mendekap sepotong tubuh yang terbungkus goni. Ada dua lubang menganga di mayat itu. Tepat di jidat dan dada kirinya. Darahnya sudah membeku. Hitam pekat dan kental.
Kerumunan tetangga berdiri memagar. Membentuk garis lengkung menyerupai setengah lingkar. Beberapa perempuan di sana menutup hidung dan penyembuyikan muka dibalik para lelaki. Takut, ketakutan dan sedih. Sedangkan para lelaki hanya mematung. Tak tau apa yang harus dilakukan. Hanya mematung.
‘Pak Sukeni mati dipetrus’  bisik salah seorang tetangga ke orang di dekatnya.
Sementara itu, ibunya Situn terus meronta, meraung memanggil-manggil nama suaminya.
Di balik pintu, sekitar dua meter dari si ibu dan sepotong mayat itu, sesosok anak kecil sekitar 8 tahun, perempuan, muncul dengan mengusap kedua matanya. Dia baru bangun dari mimpi indahnya. Terganggu oleh suara ledakan tangis di luar.
Suasana yang temaram membuat pandangan Situn terganggu. Hanya seperti bayangan. Sosok perempuan mengeloni sepotong mayat lelaki tambun yang terbungkus goni.
Yang jelas hanyalah suara tangis seorang wanita. Yang seperti suara ibunya. Namun dia tak yakin, karena selama ini ibunya tak pernah menangis.
Situn juga tak tau siapa mayat lelaki itu. Yang jelas bukan bapaknya. Karena Situn tak pernah mengerti siapa bapaknya. Dan situn hanya berdiri. Mengamati. Tak tau apa yang terjadi, dan tak satupun yang memberi tau.
Sesaat kemudian, beberapa orang lelaki yang berkerumun itu, mencoba menenangkan ibunya Situn. Mengangkatnya perlahan. Lalu kemudian membuka bungkusan goni itu.
Mayat lelaki tambun itu dikeluarkan. Perutnya sedikit buncit. Beberapa otot-otot tanganya mulai mengendur. Namun masih terlihat kekar.
Perlahan tubuh itu dibalikan. Menelungkup. Beralaskan tanah. Punggunya masih terlihat kokoh dan beberapa sayatan membelah kulitnya.
‘Punggung itu….’ gumam Situn lirih. Seolah dia menemukan apa yang telah dicari dalam kenanganya.
Dia masih mematung di atas kursi riasnya. Lemas. Ingatanya masih tetap berada puluhan tahun yang lalau. Sesaat setelah azan subuh. Â Di Kamis pagi.
‘Tun…..Situn buka pintu, cepat’ suara dari luar kamar itu memotong lamunan Situn.
‘Tun, ini lo, tak bawakan terong sama tempe. Yuk nyambel di tempatku’ imbuh suara dari luar itu……….. bersambung. (5/1/12)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H