Gelar Guru Besar atau yang juga dikenal dengan sebutan profesor merupakan salah satu pencapaian tertinggi dalam dunia pendidikan. Gelar ini memiliki makna yang dalam, tidak hanya menandakan pencapaian seorang akademisi dalam hal pendidikan dan penelitian, tetapi juga membawa tanggung jawab moral dan sosial yang besar. Guru Besar diharapkan tidak hanya berperan sebagai ilmuwan yang memimpin inovasi di bidang keilmuan mereka, tetapi juga sebagai agen perubahan. Dalam konteks Guru Besar yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), dituntut mampu mewujudkan nilai-nilai dasar ASN yang terangkum dalam akronim BerAKHLAK: Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Kolaboratif, Adaptif, dan Loyal.
Pada nilai Berorientasi Pelayanan, seorang Guru Besar memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mengedepankan kepentingan pribadi atau karier akademiknya, tetapi juga memikirkan kontribusi yang lebih luas terhadap masyarakat dengan berperan aktif dalam menciptakan dan menyebarluaskan pengetahuan yang berdampak positif bagi kemajuan masyarakat. Melalui prinsip Tridharma Perguruan Tinggi yang mencakup pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, diharapkan seorang Guru Besar dapat memberikan solusi yang aplikatif dan relevan untuk membantu mengatasi berbagai tantangan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, hingga kesehatan.
Kemudian pada nilai Akuntabilitas dalam peran sebagai seorang Guru Besar tidak hanya berarti menjalankan tugas secara transparan dan jujur, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan seorang Guru Besar untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan akademik yang diambilnya. Misalnya, dalam publikasi ilmiah, akuntabilitas terkait dengan etika penelitian dan kejujuran dalam menyajikan data. Di era digitalisasi saat ini, di mana plagiarisme dan manipulasi data semakin menjadi perhatian, seorang Guru Besar harus mampu menjunjung tinggi integritas akademik. Ia harus bertanggung jawab dalam memastikan kualitas pendidikan yang diberikan, baik dalam hal kurikulum yang terkini maupun metode pengajaran yang efektif. Karena itu, Guru Besar harus menjadi panutan dalam menjunjung tinggi standar akademik yang berkualitas.
Nilai Kompeten juga menjadi fondasi utama dalam pencapaian seorang Guru Besar. Gelar ini bukan sekadar simbol akademis, tetapi menunjukkan kapasitas seseorang untuk terus berkembang dan berinovasi. Di era globalisasi dan perubahan teknologi yang cepat, seorang Guru Besar dituntut untuk terus memperbarui ilmunya serta mampu menyesuaikan metode pengajaran dan penelitian sesuai dengan perkembangan zaman. Kompetensi seorang Guru Besar juga dinilai dari kemampuannya untuk melahirkan lulusan yang kompetitif di pasar kerja global dengan mengembangkan kurikulum yang relevan dan berbasis pada kebutuhan industri serta tren global.
Dalam membangun lingkungan kerja yang produktif, seorang Guru Besar juga harus mencerminkan nilai Harmonis. Hubungan baik dengan kolega, mahasiswa, tenaga kependidikan serta masyarakat luas merupakan kunci dalam menjalankan tugas sehari-hari sebagai pengajar dan peneliti. Seorang Guru Besar harus mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar dan berkarya, serta mendorong kolaborasi lintas disiplin ilmu dan lintas institusi. Dalam dunia akademik yang identik dengan kompetisi, kemampuan untuk menjaga keharmonisan menjadi faktor penting dalam mencapai tujuan bersama. Kerjasama yang harmonis akan menghasilkan karya-karya akademik yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Nilai Loyal menekankan komitmen seorang Guru Besar terhadap institusinya dan negara. Selain itu, Guru Besar harus memiliki dedikasi penuh untuk mendukung kebijakan-kebijakan nasional, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Loyalitas ini tercermin dari seberapa besar komitmen seorang Guru Besar dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, serta dalam mendukung misi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Guru Besar yang loyal akan berperan aktif dalam mendorong reformasi pendidikan yang berkelanjutan dan berkontribusi dalam upaya mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Kemampuan untuk beradaptasi juga menjadi nilai yang sangat relevan bagi seorang Guru Besar agar mampu menghadapi perubahan dengan cepat dan tepat. Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital dan perubahan pola pembelajaran akibat pandemi COVID-19 menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan. Guru Besar dituntut untuk cepat beradaptasi dengan situasi ini, baik dalam hal metode pengajaran daring, penggunaan teknologi digital dalam penelitian, maupun dalam menyusun kebijakan akademik yang fleksibel dan sesuai dengan situasi terkini.
Sementara itu, nilai Kolaboratif menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor dan disiplin. Guru Besar di era modern tidak dapat bekerja sendiri. Mereka dituntut untuk mampu bekerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun internasional, untuk menghasilkan penelitian yang berdampak dan relevan. Dalam konteks ASN, kolaborasi juga dapat mencakup kerjasama antara pemerintah, dunia akademik, dan sektor swasta dalam pengembangan kebijakan pendidikan yang lebih baik. Seorang Guru Besar harus bisa menjadi jembatan yang menghubungkan teori akademis dengan praktik di lapangan, terutama dalam hal inovasi pendidikan dan penelitian terapan.
Dalam isu terkini, peran Guru Besar menjadi semakin strategis di tengah tantangan dunia pendidikan yang terus berkembang. Di Indonesia, keterbatasan jumlah Guru Besar di berbagai perguruan tinggi menjadi salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Menurut data tahun 2022 yang tercatat, presentase guru besar hanya mencapai kurang dari 2%, atau kira-kira 5.478 profesor. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang kekurangan Guru Besar, sehingga berpotensi menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan di level nasional apalagi internasional. Selain itu, proses pengangkatan Guru Besar sering kali dianggap terlalu birokratis dan memakan waktu yang lama, sehingga banyak akademisi yang merasa frustasi dengan tahapan yang dilalui. Hal ini memungkinkan menjadi salah satu pemicu terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam memproses pengangkatan Guru Besar di salah satu universitas negeri di Kalimantan Selatan yang mengakibatkan perubahan status akreditasi institusi. Tentunya kejadian ini mencoreng nama baik gelar Guru Besar yang seharusnya merupakan gelar terhormat sehingga menurunkan kepercayaan publik.
Dengan demikian, gelar Guru Besar bukan hanya sekadar pencapaian akademik, tetapi juga simbol tanggung jawab yang besar dalam menciptakan perubahan di dunia pendidikan. Dalam menjalankan tugasnya, seorang Guru Besar ASN harus mampu menjunjung tinggi nilai-nilai BerAKHLAK sebagai fondasi utama dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan negara. Di tengah dinamika global yang terus berubah, Guru Besar di Indonesia dituntut untuk tidak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga menjadi teladan dalam penerapan nilai-nilai kebangsaan, integritas dan profesionalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H