Sudah cukup.
Demikian pesan dari para mahasiswa Massachusetts Institute of Technology, University of Pennsylvania, Columbia University hingga University of Chicago. Otak dan hati mereka terlampau lama telah kehilangan cara untuk menolerir Ben Netany yang dengan sengaja menyerang rumah sakit, sekolah, gereja, masjid, hingga kamp pengungsi di Gaza demi memberangus warga. Merampas kebutuhan penting warga sipil, seperti makanan, air, bahkan mempersulit akses bantuan kemanusiaan. Kebrutalan yang jelas melanggar hukum humaniter internasional.
Tak perlu ditambah pemutusan listrik dan pengurangan pasokan bahan bakar yang jelas kemudian berdampak parah pada ketersediaan air di Gaza dan kemampuan rumah sakit untuk menyediakan perawatan medis. Belum terhitung dengan lima puluh ribuan nyawa lebih terbunuh -ratusan ribu terluka- laiklah jika para mahasiswa itu lantas menuding Ben Netany melakukan genosida.
***
“Orang-orang yang dituduh oleh Dewan Inkuisisi Spanyol tidak pernah diizinkan untuk mengetahui nama penuduh mereka! Bayangkan, Ben! Hanya dua pemberi informasi –yang boleh jadi keliru atau sengaja memfitnah- sudah cukup untuk digunakan oleh pelaku inkuisisi memaksa tertuduh mengakui tuduhannya. Yang tentu saja pada akhirnya, si tertuduh tak pernah bisa mengelak!” seru Zion Netany sengit dengan mata penuh kepedihan.
Ben kecil mematung menatap ayahnya.
“Semua cara penyiksaan fisik tak termaafkan bisa-bisanya dipakai oleh mereka.... anak kecil macam kau mana bisa membayangkannya, Ben - seperti merentangkan kaki tangan mereka pada alat perentang, membakar mereka dengan logam panas, meremas daging dengan penjepit, menusukkan pengait ke bagian tubuh yang lunak dan menarik pengait itu menembus dagingnya, menyayat daging mereka menjadi potongan kecil-kecil, memelintir kaki dan tangan serta melepaskan sendi mereka...” terang Profesor Zion Netany dengan suara bergetar penuh kengerian. “...Raja Ferdinand dan Ratu Isabella mengusir lebih dari 160.000 orang Yahudi...”
Mata Ben kecil melotot seakan hendak loncat dari lubangnya. Nafasnya seakan terhenti mendengar kekejian itu.
Ayahnya tak hendak berhenti berkisah meski dilihatnya reaksi anaknya.
“Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol, seorang komandan pasukannya, Lehmanowski, melaporkan bahwa pastor-pastor mengurung diri dalam biara di Madrid. Ketika pasukan Lehmanowski memaksa masuk, para inquisitors itu tak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara. Namun, setelah digeledah, pasukan Lehmanowski -yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah- sampai merasa muak dengan pemandangannya. Mereka menemukan alat pemecah tulang dan peremuk tubuh. Ada juga alat yang membuat tubuh korban tercincang seperti pergedel. Begitu penuh tawanan, semuanya telanjang, diantaranya gila. Para tentara lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, lantas meledakkannya.”
***
Tanah seluas 168 are di kota Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat itu nampak asri, rimbun dengan pohon-pohon. Terdapat hamparan-hamparan rumput nan luas, jalan yang teduh. Sinar mentari dengan mudah menaburkan energinya bersama angin semilir berhembus. Diatasnya berdiri salah satu institusi riset dan universitas terbaik - serta paling bergengsi sedunia - Massachusetts Institute of Technology. Saksi sejarah yang meluluskan seorang brilian yang di kemudian hari menjadi perdana menteri buronan dunia.
***
Ben remaja pindah bersama keluarganya ke Cheltenham, pinggiran Philadelphia, mengikuti posisi kerja ayahnya. Pengalaman hidup di AS dan didikan ayahnya telah memberikan Ben wawasan luas tentang dunia internasional. Ben lulus bachelor dari MIT, dan kemudian menyabet gelar MS dari MIT Sloan School of Management, dan bahkan belajar ilmu politik di Universitas Harvard. Setelah lulus, Ben - kembali ke Israel - menjadi seorang komandan unit pasukan elit khusus IDF.
“Ben, ayahmu menceritakan sejarah kelam itu, sebagai pelajaran. Dia kan sejarawan, bahkan editor Hebrew Encyclopedia,” tutur Eli Nethany, saudara ayahnya, profesor Matematika. “His field of expertise was the history of the Jews in Spain.”
“Aku juga sering teringat Yon Netany, Paman Eli, tak bisa terhapuskan kenangannya,” timpal Ben dengan sengau. “dia komandan yang hebat,”
“Yeah, Ben, of course. Dia komandan pasukan khusus IDF, gugur dalam Operasi Entebbe, misi penyelamatan sandera di Uganda. Salah satu sejarah terbaik Israel,” tegas Eli sembari menepuk-nepuk bahu Ben.
Ben Netany diangkat menjadi Wakil Kepala Misi dari Kedutaan Besar Israel di Washington. Kemudian Ben menjabat sebagai DUbes Israel untuk PBB. Dia juga menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan di pemerintahan Sharon. Ketidakmampuan PM Shimon menghentikan aksi jihad militan Hamas melancarkan karir Ben menjadi Perdana Menteri. Maka, Ben yang berasal dari garis keras Israel mengabaikan perdamaian yang telah dirintis pendahulunya, Rabin dan Shimon. Para pendukung Ben segera memujinya atas kebijakan keamanan yang kuat.
***
Ben tinggal di sebuah villa dua lantai di lingkungan al-Qatamon, Yerusalem yang mulanya milik keluarga Palestina, Taufik Kanaan. Dia sedang istirahat di kamarnya ketika matanya tertumbuk pada layar televisi.
International Criminal Court menyatakan bahwa pertempuran antara Israel dan Hamas berada di bawah hukum humaniter internasional. Selanjutnya Majelis menemukan alasan yang menurut mereka masuk akal, bahwa Ben dan Gallant memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan kelaparan sebagai metode perang dan kejahatan penganiayaan. Banyak sekutu Israel, termasuk Uni Eropa, telah berkomitmen untuk menegakkan surat perintah penangkapan.
Dada Ben berdegup kencang. Sama sekali tak diduganya kejutan ini. Dia mengira dirinya telah aman dengan takdir kemenangan sahabat dekatnya, Trump sebagai Presiden AS, meskipun dengan cara menipu habis-habisan masyarakat Islam di AS.
Berita itu juga memperlihatkan bahwa Sekjen Amnesty Callamard menegaskan, PM Ben Netany sekarang resmi menjadi buronan. Keputusan ICC ini membatasi pergerakan Ben. Sebab ia mewajibkan 124 negara anggota ICC untuk menahan Ben dan Gallant jika mereka berdua kedapatan memasuki 124 wilayah negara tersebut.
Mantan Menhan Israel, Yaalon, berkomentar miring, “Apa yang disembunyikan dari kami sesungguhnya adalah bahwa militer kami telah melakukan praktik pembersihan etnis. Tidak ada lagi Beit Lahiya, Beit Hanoun, tanah tersebut dibersihkan dari orang-orang Arab.”
Ben mengganti saluran tivinya. Dia merutuki media yang menurutnya sangat bodoh.
Tanpa dinyana, sebuah media lain sedang menayangkan sejarah wilayah al-Qatamon. Media itu menyebutkan bahwa keluarga Kanaan -dokter senior di RS Bikur Holim- bukan satu-satunya yang rumahnya dijarah Israel. Pada 1948, tentara Israel menyerang daerah al-Qatamon, membuat pemukim yang tinggal di sana terpaksa mengungsi. Dua tahun berlalu, pemerintah Israel mengesahkan “Undang-Undang Properti Tanpa Orang” yang melegalkan pencurian sistematis properti milik warga Palestina di Yerusalem Barat.
Undang-undang tahun 1950 tersebut menyatakan pengungsi Nakba sebagai “orang yang tidak hadir” dan mengizinkan pemerintah Israel untuk mengambil alih properti mereka. Pada 1949, sebuah keluarga Yahudi dari AS datang ke Israel. Mereka tidak punya tempat tinggal. Pada masa itu Yerusalem dipenuhi properti kosong, rumah-rumah warga Palestina yang terusir. Maka, pengurus properti rumah jarahan waktu itu menyerahkan rumah cantik Kanaan kepada keluarga Yahudi tersebut.
Pada akhir 1959 keluarga Yahudi itu akhirnya membeli rumah yang mereka tempati itu. Rumah itu kemudian diwariskan kepada dua putra mereka. Salah satu anak laki-laki mereka kemudian menjual 50 persen saham kepemilikan rumah itu. Sisa 50 persen lagi dimiliki oleh adiknya yang bernama Ben Netany.
Kepala Ben terasa terbakar. Dia pun langsung mematikan televisi dan membungkus badannya dengan selimut, tidur.
Ben Netany terengah-engah berkeringat ketika terbangun. Dia bermimpi bertemu dengan ayahnya yang telah meninggal. Dia seakan berada dalam perburuan yang hampir usai. Dalam pikirannya terus terngiang percakapan dengan ayahnya.
“Ben, aku tahu bahwa kamu ingin melakukan yang terbaik sesuai arahanku. Namun kurasa ini semua terlalu berlebihan,” ungkap Zion Netany lemah. “kini kau dibenci kebanyakan elit dan media massa sayap kiri Israel, bahkan menjadi buronan dunia. Aku malu sebagai profesor sebab saat ini kau seperti itu,”
Ben terhenyak mendengar ujaran ayahnya. “Tapi Ayah, aku punya dasar melakukan ini semua...” sanggah Ben seakan meraung.
“Aku belum menceritakan padamu, apa yang sebenarnya terjadi pada Inkuisisi Spanyol.” Zion Nethany menyela tak sabaran. “Yang terjadi adalah, korban tercatat tidak kurang dari sembilan juta orang Islam, Ben. Sejak tahun 1333 hingga tahun 1835, lima abad lamanya dewan lalim itu berbuat keji.”
Kata-kata ayahnya meluncur deras menyibak kekelaman masa kecilnya.
“Kau harus pahami ini, Ben. Kardinal Alfonso menangkapi dan menyiksa bukan hanya kepada orang Yahudi, tetapi justru lebih banyak orang Islam. Bagi Alfonso, orang-orang kafir adalah orang-orang yang tidak memeluk Katolik. Maka artinya, orang Islam, Yahudi, Kristen aliran Martin Luther, pemikir-pemikir bebas, dan lainnya, semua inilah yang terus menerus dikejar-kejar, disiksa, dan dibakar. Namun, di zaman modern ini, hal seperti itu tidak ada lagi, Ben. Katolik sekarang tak seperti itu, dan Islam sudah banyak jatuh korban.”
Ben mendesah. Akhir tahun yang sama sekali tidak ia harapkan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H