Joko Tri Haryanto, Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan, ada tiga instrumen kebijakan perlu diterapkan untuk memobilisasi pengumpulan minyak jelantah dari sektor rumah tangga, restoran dan kafe. Menurut Joko bisa dimulai dari sektor komersial, seperti hotel, restoran dan sektor sosial seperti sekolah dan rumah sakit. Menurutnya, selama ini pihak-pihak tersebut tidak menolak menyerahkan minyak jelantah (mongabay, 2021).
Pertama, perlu regulasi di pemerintah daerah untuk mendorong para penghasil minyak jelantah menyerahkan limbah jelantah. Kedua, perlu mekanisme insentif dan disinsentif sebagai stimulus. Insentif, menurutnya bisa berupa kebijakan fiskal seperti pemberian diskon pajak hotel dan restoran. Apabila non fiskal, bisa terkait dengan proses pengurusan perpanjangan izin usaha. Ketiga, perlu model bisnis untuk mengelola industri pemanfaatan minyak jelantah dengan sistem sinergi antara pemerintah dan publik seperti organisasi masyarakat sipil, bank sampah atau bank jelantah (mongabay, 2021).
Industri minyak jelantah, menurut Joko, bisa dilakukan oleh BUMD atau bisa juga badan layanan umum daerah. Menurutnya, apabila pemda mewajibkan hasil biodiesel minyak jelantah untuk kendaraan pemerintah maka akan bisa menghemat belanja operasional APBD dan berpotensi menambah pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah juga bisa bekerja sama dengan Pertamina untuk mengolah jelantah dengan skema tanggung jawab sosial sehingga bisa menumbuhkan industri baru di daerah (mongabay, 2021). Adapun contoh kebijakan jelantah dari pemda yang telah diberlakukan seperti berikut: Pergub DKI No. 167/2016 tentang pengelolaan limbah minyak goreng dan Perda Kota Bogor No. 1/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Tenny Kristiana, peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT) sepakat, program biodiesel minyak jelantah harus diawali dengan kebijakan. Merupakan hal penting untuk memasukkan biodiesel minyak jelantah dalam program insentif. Sentralisasi sistem pengumpulan minyak jelantah baik regional maupun nasional, kampanye atau promosi pengumpulan minyak jelantah juga penting untuk dilakukan (mongabay, 2021).
Menurut Traction Energy Asia, potensi minyak jelantah untuk jadi bahan baku biodiesel di Indonesia sangatlah besar. Meski begitu, masih ada tantangan besar dalam pemanfaatan minyak jelantah yakni diantaranya: proses pengumpulan, tranportasi, pengolahan dan standardisasi kualitas biodiesel minyak jelantah.
Kendala Biodiesel Jelantah Dalam NegeriÂ
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan biodiesel berbasis jelantah diantaranya: jelantah mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga membutuhkan katalis asam homogen sehingga diperlukan pengembangan teknologi yang efisien dan terjangkau. Diperlukan pula pemetaan potensi bahan baku dan mekanisme pengumpulan dari restoran, hotel dan rumah tangga. Juga perlu penentuan zona pengembangan program karena sebaran lokasi sumber tidak simetris dengan lokasi pengolahan biodiesel. Tantangan utama juga yakni dibutuhkan mekanisme harga beli dan insentif untuk pengembangan biodiesel jelantah karena saat ini baru berfokus insentif berbasis minyak sawit (ebtke.esdm.go.id, 2021).
Menurut Ricky, Manajer Riset Traction Energy Asia (Tribunnews, 2022),  minyak jelantah terbentur tiga permasalahan utama. Pertama karena belum diakui sebagai salah satu sumber energi nasional, maka pengumpulan minyak jelantah secara masif belum bisa dilakukan. Kedua, belum ada insentif untuk minyak jelantah seperti halnya biodiesel dari CPO karena itu perlu dipikirkan proses pemberian insentifnya. Hambatan ketiga adalah terkait teknologi. Sampai saat ini, kata Ricky, UCO masih kesulitan mendapatkan SNI dari pemerintah. Menurutnya, Indonesia perlu belajar dengan negara lain karena penggunaan UCO untuk biodiesel di Eropa sangat masif.
Potensi Penghematan dan Potensi Kerusakan Lingkungan dari BiodieselÂ
Per 1 Januari 2020, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Program B30, sebuah program mandatori untuk mencampur 70 persen solar dengan 30 persen biodiesel. Program tersebut menjadi prioritas nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai transisi energi bersih (Tribunnews.com, 2022). Riset ICCT menunjukkan, penggunaan biodiesel B30 mengurangi 30 juta ton emisi CO2. Namun kalau dihitung dari analisis daur hidup sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), emisi CO2 bertambah sekitar 52 juta ton karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel (mongabay, 2021).