Krisis global yang diakibatkan sampah plastik dibuang tanpa pemilahan saat ini, bukan hanya mengancam hewan-hewan di sungai, hewan di laut, dan hewan di kutub tetapi pada dasarnya mengancam manusia itu sendiri. Bermacam plastik saat ini, setiap jenis memiliki susunan kimia berbeda, dan hanya bisa didaur ulang jika tidak dicampur dengan jenis lain. Hal itu membuat rumit masalah daur ulang plastik.
Negara Malaysia pernah mendapatkan sampah impor dalam jumlah yang sangat banyak sehingga mencemari tanah, air, dan udara mereka. Hingga pada akhirnya mereka mengajukan protes pada pemerintah, tak mau lagi ada sampah impor.
Tiongkok yang pada tahun 2017 pernah membeli hampir tiga perempat sampah plastik dunia pun saat ini telah menghentikan impor sampah. Pada tahun-tahun sebelum Tiongkok melarang sampah impor, mereka adalah tempat daur ulang terbesar didunia. Terdapat ribuan pabrik daur ulang bermunculan di seluruh Tiongkok, mereka dapat memproses jutaan ton plastik setiap tahun. Tingkok berkeliling dunia membeli semua potongan plastik yang bisa mereka dapatkan, yang terutama berasal dari AS dan Eropa.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, pernah menyatakan bahwa penyediaan truk dan perbaikan TPA belum cukup untuk mengurangi produksi sampah. Pola pikir pemerintah, masyarakat, dan pengusaha juga perlu diubah. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Masyarakat bisa mulai dengan memilah sampah organik dan non-organik di lingkungan rumah masing-masing. Sampah organik dikelola menjadi kompos atau eco-enzyme, sedangkan sampah non-organik didaur ulang menjadi batako atau produk-produk lain yang bermanfaat. Saat ini sudah banyak yang membuat eco-enzyme, bahkan laku untuk dijual.
Peneliti dari Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali (2014), pernah menyampaikan bahwa penanganan sampah itu sangat terkait dengan masalah sosial. Partisipasi masyarakat masih minim, begitu pula dengan SDM dan prasarana yang ada masih kurang memadai. Di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pernah terjadi tumpukan sampah menggunung hingga 2 meter. Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan mengakui, tumpukan sampah itu terjadi karena pihaknya kekurangan truk pengangkut.
Di Yogyakarta juga pernah terjadi hal serupa. Pada tahun 2023, TPA Piyungan sempat ditutup disebabkan hasil kesepakatan Rapat Sekda Pemda DIY dengan Sekda Pemda Kabupaten Sleman, Sekda Pemda Kabupaten Bantul, dan Sekda Pemkot Jogja dikarenakan lokasi zona eksisting TPA Regional Piyungan yang sudah sangat penuh dan melebihi kapasitas. Oleh karena itu pelayanan sampah di TPA Regional Piyungan tidak dapat dilakukan sejak tanggal 23 Juli 2023 sampai 5 September 2023. Sebelum surat pemberitahuan tersebut, pada 23 Mei 2023 juga terbit surat pemberitahuan yang menjelaskan tentang kedaruratan kondisi TPA Piyungan yang hampir over capacity dengan rata-rata 700 ton/hari masuk ke TPA Piyungan. Hal itu menyebabkan sampah di Kota Yogya menumpuk. Dari detik.com ditunjukkan bahwa sampah-sampah tampak berserakan hingga menutup jalan di sekitar Pathuk, Gondomanan, Kota Jogja. Bau busuk sampah langsung menyeruak di sekitar lokasi tersebut.
Di tempat lain, dari website cimahikota.go.id, PJ. Walikota Cimahi Dikdik S. Nugrahawan mengatakan, seiring dengan terjadinya musibah kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti Kab. Bandung Barat, mengakibatkan terganggunya proses pembuangan sampah di kawasan Bandung Raya termasuk di Kota Cimahi. Saat ini tidak bisa membuang sampah ke TPA Sarimukti karena kebakaran sampah yang masih belum padam. Oleh karena itu, pemkot Cimahi mengajak seluruh masyarakat untuk memilah sampah dari rumah.
Menurut jabar.tribunnews.co.id (29 Agustus 2023), ada empat daerah yang bersepakat untuk mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti hingga 50 persen, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Gubernur Ridwan Kamil menyatakan bahwa sudah tandatangan komitmen pengurangan sampah ke Sarimukti. Sebelumnya sampah yang dibuang dari empat wilayah Bandung Raya ke TPA Sarimukti mencapai 2.000 ton per hari. Kota Bandung menjadi penyumbang tertinggi lebih dari seribu ton per hari.
Ridwan Kamil berharap kesepakatan tersebut bisa dijalankan dengan maksimal. Caranya tiap daerah mengedukasi warganya agar mengurangi sampah dan mengolah sampahnya secara mandiri. Sampah makanan, makan malam dan makan siang bisa dibuat kompos. Jangan dibuang semua pakai plastik ke depan rumah. Bila hal itu dilakukan Ridwan Kamil optimistis volume sampah yang diangkut truk ke TPA Sarimukti akan berkurang. Nantinya sampah yang dibuang ke Sarimukti hanya yang sifatnya residu atau sampah yang sudah tidak dapat diolah.
Dari detik.com, diberitakan bahwa terdapat 25 ribu ton sampah di Bandung Raya yang masih berserakan, seperti yang terjadi di TPS Cibeunying, Kota Bandung. Sejak sebulan terakhir sampah yang dibuang ke TPS ini tidak diangkut karena terkendala kebakaran TPA Sarimukti. Akibatnya sampah yang sudah menumpuk di dalam tempat pembuangan meluber bahkan hingga ke pinggir jalan. Aroma tak sedap pun menyebar sampai ke pemukiman hingga rumah ibadah.
Perbaikan manajemen sampah pasti membutuhkan dana yang banyak. Hal ini disebabkan oleh prosesnya yang banyak, meliputi pemilahan awal, pemilahan lanjutan, sampah plastik dihancurkan, dan mencampurnya menjadi formula lalu berlanjut ke eskstruder.
Ekstruder memanaskan sampah remah plastik sampai meleleh, kemudian masuk mesin pendingin, lalu dicincang menjadi pelet kecil. Setelah itu baru bisa dijual ke pasar. Adapun untuk sampah plastik campuran, bisa dimanfaatkan untuk menjadi bahan holzewig. Bahan ini bisa dibaca pada tulisan sebelumnya di sini https://www.kompasiana.com/sittikinasih/6511078aae1f0726a84aed16/holzewig-kayu-abadi-material-pengganti-kayu-dan-besi
Pendanaan untuk kebutuhan tersebut boleh jadi sulit jika hanya mengandalkan dana pemerintah. Kerumitan daur ulang plastik saat ini sebaiknya diatasi dengan kolaborasi antara pemasok bahan baku plastik, perusahaan plastik, perusahaan yang menjadi pengguna plastik dalam memasarkan produk-produknya bersama perusahaan daur ulang. Melalui dorongan dari pemerintah dan masyarakat setempat dan kolaborasi saling membantu untuk kebaikan masa depan bersama, diharapkan dapat tercipta solusi yang diharapkan oleh semua pihak. Bahkan justru dapat mengurangi biaya ekternalitas negatif di masa depan yang lebih besar.
Eksternalitas adalah biaya atau manfaat yang muncul dari proses produksi tetapi berakibat pada orang selain produsennya sendiri, atau biaya/manfaat yang muncul dari proses konsumsi tetapi diterima oleh orang lain selain konsumennya itu sendiri. Ada banyak keputusan atau tindakan ekonomi yang dapat menyebabkan efek negatif atau positif terhadap orang lain atau stakeholders lain.
Eksternalitas negatif yakni kegiatan produksi atau konsumsi yang menciptakan biaya eksternal. Contohnya diantaranya yaitu: kerusakan lingkungan hidup, kemacetan jalan, perubahan daya dukung di area resapan air, polusi udara, kriminalitas dan lain-lain. Eksternalitas positif yakni kegiatan produksi atau konsumsi, yang menciptakan manfaat eksternal. Contohnya diantaranya yaitu: penelitian, pengajian, pelatihan, pendidikan, dan gerakan lingkungan hidup.
Industri plastik di AS pernah menyatakan bahwa mereka telah berinvestasi lebih dari 1,2 miliar dolar dalam daur ulang plastik, seperti ditunjukkan dalam film “Broken”. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab yang bagus, walaupun mungkin bagi direktur penanganan sampah di salah satu kota di AS, hal itu belum cukup untuk bisa menangani sampah di AS yang terlalu banyak, jika dibandingkan dengan sampah di negara berkembang.
Investasi dalam kolaborasi antar perusahaan tersebut sebaiknya tidak dipandang sebagai beban pengeluaran oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi alangkah baiknya bila dimasukkan sebagai investasi modal/tabungan masa depan. Sebagaimana disebutkan oleh Merza Gamal, dengan mengambil inspirasi dari perubahan industri petrokimia yang mengagumkan dan kolaborasi yang berhasil, kita dapat menciptakan transformasi yang sama dalam mengatasi masalah sampah plastik.
Kolaborasi seperti ini sangat membutuhkan dorongan dari pemerintah. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan edukasi publik terkait reward and punishment untuk memacu masyarakat melakukan pemilahan dan daur ulang. Pendanaan yang besar sangat diperlukan selain untuk infrastruktur daur ulang sampah non organik, juga untuk infrastruktur persampahan ideal di perkotaan/pedesaan (termasuk komposter komunal, mobil sampah bersekat dan bangunan bank sampah tiap RW atau tiap kelurahan seperti tercantum di aturan SNI 3242:2008), dan tentunya tidak kalah penting adalah pembiayaan untuk para pekerja terkait, dan edukasi masyarakat.
Schenck dan Blaauw (2011) telah menunjukkan bahwa jika pemerintah lokal, perusahaan daur ulang, dan LSM menyadari pemulung sebagai penghubung yang bernilai dalam rantai manajemen sampah, mereka dapat berkontribusi pada solusi dengan kolaborasi untuk memperbaiki kondisi orang-orang ini, demi kebaikan para pemulung itu dan juga masyarakat umum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola bank sampah Kalidoni Kota Palembang, telah terlihat bahwa budaya masyarakat yang masih belum memilah sampah organik-non organik dengan benar menjadi permasalahan serius bagi pengelola bank sampah. Hal ini dikarenakan belum adanya pendanaan resmi dari pemerintah untuk mengupah para pengelola sampah tersebut, padahal pekerjaan memilah sampah yang sudah terlanjur dicampur dan busuk sangatlah berat.
Edukasi terhadap masyarakat harus dilakukan dengan intensif/ berkali-kali. Hal ini sejalan dengan penelitian Zorpas et al. (2018) yang mengindikasikan bahwa setelah rentang waktu sekitar 10 pekan, seorang surveyor dari dua grup yang mereka riset, menunjukkan bahwa 75% dari partisipan Tim A benar-benar mengikuti instruksi/petunjuk yang diajukan (sehubungan dengan produksi kompos). Tim A sungguh-sungguh diinformasikan bagaimana cara kerja compost bins, apa yang bisa dikomposkan, apa keuntungan pencegahan, dan setiap 3 hari dalam masa 10 pekan tersebut selalu dihubungi untuk mencari tahu bagaimana mereka menggunakan compost bins).
Di sisi lain dalam riset mereka tersebut, dari Tim B (dimana hanya diberikan informasi 1 kali dan selama masa 10 pekan tidak ada monitoring yang dilakukan), hanya 7% yang mengikuti instruksi yang diberikan dan berpartisipasi dalam produksi kompos rumah tangga.
Jumlah sampah organik persentasenya sekitar 39-74% (Zurbrügg, 2003) sehingga membutuhkan penanganan khusus sejak dari sumbernya. Oleh karena itu, sangat baik jika pemerintah memberikan kewajiban bagi setiap rumah yang dimiliki oleh kalangan menengah keatas, untuk memiliki komposter minimal 2 buah tiap rumah. Hal ini sesuai seperti Petunjuk Teknis Pt S-06-2000-C Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang menyebutkan bahwa komposter rumah tangga adalah alat yang digunakan untuk mengolah sampah dapur menjadi kompos terdiri dari 2 unit dipakai secara bergantian ditempatkan secara berdekatan atau terpisah. Sehingga tukang sampah hanya mengambil sampah daur ulang dan sampah residu. Paket komposter sederhana seperti gambar bawah hanya membutuhkan biaya sekitar 300-400 ribu rupiah (drum fiberglas sekitar 100 ribu, 1 botol bakteri EM4 30 ribu, pupuk kandang 10 ribu, dan pengelasan dudukan besi 95 ribu atau lebih).
Atau jika terasa sulit, bisa diganti dengan keluarga menengah keatas tersebut memberikan biaya iuran sampah yang lebih banyak untuk para petugas sampah agar dapat mengelola sampah-sampah tersebut dengan lebih baik. Namun sampah telah terpilah menjadi 3 sejak dari rumah, yaitu organik-daur ulang-residu. Sebagaimana diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat.
Adapun untuk lingkungan kalangan menengah ke bawah, pemerintah dapat membangunkan komposter komunal, sehingga setiap hari masyarakat sekitar dapat mengumpulkan sampah-sampah organiknya ke lokasi komposter komunal tersebut. Sampah daur ulang dikumpulkan ke bank sampah.
Untuk itulah, biaya eksternalitas sampah bisa dimasukkan kedalam biaya produksi perusahaan-perusahaan. Dimana anggaran yang didapat pada akhirnya digunakan untuk membiayai keperluan manajemen sampah terutama di kota-kota besar yang banyak terjadi darurat sampah.
Konsep inti evolusi yang dijelaskan oleh mycologist Paul Stamets yakni evolusi memang melalui seleksi alam, yang terkuat dan tangguh bertahan. Tetapi selain itu, komunitas bertahan hidup lebih baik daripada individu. Komunitas mengandalkan kerja sama. Paul Stamets menyebutkan bahwa hal itu merupakan kekuatan dari kebaikan. Evolusi berdasarkan konsep saling menguntungkan dan ekstensi dari kemurahan hati. Hal itu sebenarnya dapat diterapkan dalam manajemen sampah plastik, dan sampah daur ulang lainnya. Dengan melindungi bumi, sama dengan melindungi manusia itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H