Mohon tunggu...
zainab el hilwa
zainab el hilwa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terapi Realitas

23 September 2014   04:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari ada seorang mahasiswa datang pada seorang dosen seraya menangis sesenggukan. Ia baru saja menyelesaikan sidang proposal skripsinya. Ia bercerita bahwa dosen pengujinya tidak menghargai segala usahanya, ya,, mahasiswa itu tidak terima dengan nilai yang didapatkannya. Ia mengumpat, sedih, kesal, marah, berkecamuk dalam kepalanya. Ya,, dia memang tidak lulus ujian. Dia tidak menerima realita itu. Sang dosen bertanya tentang apa kemauannya. Dia menjawab kepada dosen itu, bahwa ia ingin wisuda bulan oktober nanti. Suatu saat, sang dosen mencari data penilaian ujian mahasiswa tersebut, dan memang kesalahannya sangat fatal. Bahkan bila dosen itu menjadi pengujinya juga, sudah barang tentu sama dengan dosen yang diumpat mahasiswa itu, sama-sama tidak meluluskannya.

Kembali lagi mahasiswa itu mengeluh dengan hasil yang didapatkannya. Dosen itu bertanya kedua kalinya, ingin lulus, ataukah wisuda. Mahasiswa itu menjawab lagi, bahwa ia ingin wisuda pada bulan oktober. Bukan sembarang ajuan pertanyaan dosen tadi. Sebuah pertanyaan sensivitas untuk menguak apa yang sebenarnya ada di kepala mahasiswa tersebut. Sang dosen kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama dan mendapatkan jawaban yang sama. Dosen tersebut mengatakan, jika ia tetap ingin wisuda pada bulan oktober, maka berkas laporan skripsi itu harus selesai dalam kurun waktu seminggu. Bayangkan saja, ia harus merombak dari bab 1 sampai bab terakhir. Mengkaji teori kembali, mengambil, mengolah data, bahkan menyususn laporan hasil penelitiannya. Kendati demikian, mahasiswa itu tetap ngotot ingin segera wisuda pada oktober nanti. Bahkan meyakinkan dirinya, bahwa waktu seminggu untuk merevisi laporannya dapat ditaklukkannya.

Sang dosen bertanya kembali, jika ia bersikeras seperti itu, langkah apa yang ingin ia lakukan? Padahal waktu yang dibutuhkan tidak cukup untuk seminggu. Mahasiswa itu berkata kembali, bahwa ia ingin pindah dosen menguji. Sekali lagi, pikirannya buntu karena realita yang dialami. sang dosen memberikan opsi, mungkinkah kinerjanya selama seminggu untuk merevisi mumpuni? Sungguh sangat tidak real pikiran dan harapannya saat ini. Ia pun kembali menangis. Tangisannya sungguh menyayat, merembes rona kecewa pada raut wajahnya. Ia pun bertanya kembali pada sang dosen hal apa yang harus ia lakukan? Sang dosen tidak menjawab, berharap ia dapat menemukan jalan atas pikiran dan harapannya. Dosen itu hanya mengarahkan, bahwa ia harus merubah harapannya (wisudanya tidak sesuai targetnya), membuka mata hati dan kepalanya, mengevaluasi kesalahannya, memperbaiki kembali skripsinya. Berbuat, mengevaluasi, dan menata planning terbaiknya lagi. Suka atau tidak suka, dia harus dihadapkan pada realita itu sehingga ia secara sadar dapat mengontrol perilakunya yang sesuai dengan harapannya.

Itulah sepotong cerita tentang terapi realitas. Sebuah konsep psikoterapi yang menekankan pada bagaimana individu mengontrol perilakunya secara sadar. Konsep ini tidak menekankan pada pandangannya terhadap manusia secara deterministik, akan tetapi lebih pada keadaan sekarang dan yang akan datang. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab terhadap perilakunya. Itulah mengapa, sikap responsibility yang terwujud dari apa yang ia lakukan (doing), pikirannya (thinking), perasaan (feeling) dan fisiologisnya sesuai dengan konsep 3R (right, responsibility, dan reality).

Terapi ini tidak memandang adanya abnormalitas dalam diri individu. Tidak ada kata sakit mental, yang ada hanyalah ‘perilaku yang tepat dan tidak tepat’. Tepat, dalam arti sesuai dengan 3R, tidak tepat karena perilaku itu bermasalah disebabkan ketidak bertangguang jawaban individu dalam perilakunya. Dalam prosesnya, individu secara sadar diajak kembali untuk menata harapan dari puing-puing kesalahan yang dilakoninya. Tidak hanya harapan, bahkan individu dituntut untuk melakukan sesuatu untuk mencapai harapannya kemudian mengevaluasi tindakan tersebut apakah sudah realistis?, apakah sesuai dengan nilai-nilai hidupnya?, apakah tindakannya tersebut merugikan atau tidak bagi dirinya dan orang lain?. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan tindakannya, maka langkah terakhir adalah menyusunplanning yang akan dibuatnya.

Jadi, jika pembaca memiliki problema yang sedikit mirip dengan ksah diatas, cobalah berpikir menggunakan terapi ini, bila tidakmampu, mintalah bantuan orang lain yang mumpuni untuk sekedar mengarahkan, menasehati, dan membantu segala polemik yang dirasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun