Dengan adanya ikatan perkawinan antara laki-laki dan wanita, maka demi hukum terjadi percampuran harta pada antara keduanya. Percampuran harta ini mengakibatkan keluarnya harta bersama, yaitu keseluruhan harta yg diperoleh selama masa perkawinan. namun demikian, terdapat perkecualian terhadap percampuran harta ini, yaitu terhadap harta yg diperoleh sebelum perkawinan, harta yg diperoleh sesuai pemberian serta harta yg diperoleh sesuai pewarisan. Permasalahannya kemudian merupakan, percampuran harta yg terjadi antara WNI serta WNA mengakibatkan gugurnya hak dari WNI yg bersangkutan untuk mempunyai tanah menggunakan titel hak milik ("HM") hak guna bangunan ("HGB") juga Hak Guna usaha ("HGU").
  Perspektif politik hukum Bisa dikatakan bahwa perjanjian perkawinan pasca-Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 merupakan perjanjian yang benar-benar berbeda dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan sebelum Putusan No. 69/PUU-XIII/2015. Sederhananya, perjanjian perkawinan yang semula dimaknai sebagai prenuptial agreement, kini menjadi prenuptial agreement dan postnuptial agreement.
  Putusan Mahkamah Konsttusi nomor 69/PUU-XIII/2015 menyampaikan politk hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya bisa dirancang oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (prenuptal agreement), kini bisa dirancang oleh suami istri sesudah perkawinan berlangsung. Mahkamah Konsttusi memberi tafsir konsttusional pada mana pembuatan perjanjian perkawinan bisa diubahsuaikan menggunakan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Sebelum adanya putusan MK, WNI yg menikah menggunakan WNA tdak mampu mempunyai rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan sebab terbentur hukum perjanjian perkawinan serta harta bersama. Ketentuan norma a quo membentuk setiap WNI yg menikah menggunakan WNA selama tdak terdapat perjanjian pemisahan harta tdak mampu mempunyai rumah berstatus HM atau HGB. Metode penelitan yg digunakan pada penelitan ini merupakan yuridis normatf menggunakan mengumpulkan putusan MK serta menganalisanya dengan teori buat menerima jawaban berasal konflik, yakni tentang kapan bisa dibuatnya perjanjian perkawinan. kesimpulan yg bisa diambil berasal penelitan ini ialah bahwa ekspansi kapan bisa dilakukan perjanjian perkawinan bisa meminimalisir adanya konfik pada perkawinan serta mampu membentuk keharmonisan terkait dengan hak milik bagi WNI yg menikah menggunakan WNA. sebagai akibatnya WNI yg menikah dengan WNA serta tidak mempunyai perjanjian perkawinan, dapat membuatnya pada waktu perkawinan telah dilangsungkan.
  Selanjutnya MKRI mempertimbangkan bahwa tentang inkonstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan ketentuan yg memunculkan percampuran harta tak lagi relevan buat dibahas sebab perjanjian perkawinan yang mampu memunculkan pemisahan harta mampu dirancang kapan pun, selama dalam ikatan perkawinan. pada konteks ini, MKRI memakai konstruksi argumentum a contrario guna mencapai kesimpulan tentang konstitusionalitas percampuran harta tanpa perkecualian pada perkawinan. Titik tolak pemikiran MKRI artinya adanya "jalan keluar" berupa perjanjian perkawinan. asal titik ini, MKRI lalu menegaskan eksistensi fiksi hukum berupa percampuran harta pada perkawinan. Permasalahannya artinya, dengan menjawab konstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menggunakan perkecualian menjadi titik awal, MKRI kehilangan kesempatan buat menggambarkan serta mendalami korelasi antara percampuran harta akibat perkawinan serta tanah dengan titel HM dan HGB (dalam kaitannya menggunakan WNA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H