“Selamatkan satu jiwa, sambung seribu asa” merupakan tagline yang diusung oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Sebuah lembaga kemanusiaan bidang medis yang bermarkas di bilangan Condet, Jakarta Timur. Menariknya, lembaga ini mengibarkan bendera dengan lambang bulan sabit berwarna merah. Bagi sebagian orang, hal tersebut merupakan keanehan. Bahkan mengundang gelitik tanya, ‘apakah bulan sabit merah adalah partai baru?’
Menarik memang. Sebab di Indonesia telah berdiri PMI, lembaga kemanusiaan serupa BSMI, lebih dulu. Lambang palang berwarna merah telah familiar dan mengakrab setiap mata. Jelas, usianya yang sudah kadung ‘sepuh’ menegakan dirinya sejak Indonesia baru merdeka. Terlebih, bagi muda-mudi yang tergabung dalam komunitas Palang Merah Remaja (PMR) di sekolahnya.
BSMI sendiri baru diproklamirkan pada tahun 2002, tepatnya pada Sabtu, 8 Juni di masjid Al Azhar, Jakarta. Kepekaan dan keprihatinan terhadap bencana yang terus hadir sebagai motor untuk mewujudkan aksi peduli dalam sebuah lembaga resmi. Deklarasi yang dihadiri dokter, tokoh masyarakat, organisasi Islam, lembaga kemanusiaan, mahasiswa dan pelajar serta 15 perwakilan cabang menjadi cikal bakal ‘hari jadi’ BSMI. Ketua MUI saat itu turut hadir menjadi saksi berdirinya BSMI.
Mengangkat citra Islam, BSMI mengaku bermisi netral. Bahwa semua darah manusia berwarna merah merupakan prinsip dasar semua kegiatan kemanusiaan yang dilakukannya. Apapun warna kulit, agama dan budayanya, selagi darah berwarna merah, maka ia harus dibantu saat membutuhkan. Hal ini disampaikan oleh Dewan Pembina BSMI, Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, FICS, MARS dalam peringatan hari jadi BSMI ke XI di Wisma Kemenpora, Juni lalu. Di hari jadinya pula, BSMI sedang berupaya mengajukan keberatannya terhadap RUU Kepalangmerahan yang rencana akan disahkan oleh DPR.
Uniknya, di usianya yang baru menginjak remaja, BSMI telah memiliki cabang dan perwakilan di seluruh Indonesia. Bahkan, BSMI mampu melibatkan diri dalam banyak aktivitas kemanusiaan internasional. Ada beberapa negara yang menjadi destinasi, sebut saja Palestina, Somalia dan Rohingya. Tak terbilang aksinya yang cukup nekat membawa perlengkapan operasi yang telah ‘dipereleti’ dalam koper bawaan saat menuju Palestina. Menarik, sebab bukan rahasia umum jika perbatasan Palestina memberlakukan sistem 'sangat ketat' bagi pendatang, terlebih muslim bermisi relawan. Termasuk aksi penyelamatan BSMI terhadap bantuan medis tak bertuan dari rakyat Indonesia di Palestina.
Bagaimana dengan aktivitasnya di ranah lokal? BSMI ternyata cukup sibuk menyelenggarakan beragam baksos, pelayanan kesehatan gratis dan sunatan masal. Ketiganya adalah agenda rutin bulanan. BSMI sendiri memperkenalkan sistem sunat baru dengan Smart Klamp.
Di usianya yang masih bayi, BSMI sangat tanggap saat terjadi bencana tsunami di Aceh, 2006 silam. Bahkan BSMI telah mendarat di lokasi bencana, 3 jam setelah kejadian. Rumah sakit lapangan adalah program unggulan BSMI di lahan bencana. Kabarnya, pihak kesehatan Aceh sempat melayangkan protes sebab langkanya pasien di rumah sakit pemda. Hal itu terjadi karena masyarakat memilih berbondong-bondong datang ke Rumah Sakit Lapangan BSMI yang cukup tanggap dan murah meriah! Mengapa? Sebab pelayanan tidak dipungut biaya.
Sadar bahwa capacity building lebih utama dibanding bantuan langsung secara cuma-cuma, BSMI konsen melakukan penyiapan SDM relawan yang mumpuni. Bermula di tahun 2012, BSMI menghadirkan DIKLATSAR perdananya. Mencakup pelatihan teori dan praktik bagi puluhan orang terpilih dari beragam latar agar mampu menjadi relawan yang siap dikirim saat bencana hadir. Meliputi pelatihan di bidang medis, pertolongan pertama, keorganisasian bahkan praktek lapangan selama 6 bulan itensif. Selanjutnya, DIKLATSAR akan menjadi agenda wajib tahunan baik pusat maupun cabang. Sebuah bentuk regenerasi yang apik.
Dengan alasan capacity building pula, BSMI merealisasi bentuk bantuan berupa beasiswa kepada beberapa calon dokter dari Palestina untuk bersekolah di Indonesia. Alasannya, bencana kemanusiaan Palestina akan terus berlangsung, maka tak dapat dipungkiri orang Palestina musti mampu menolong dirinya sendiri.
Akhir kata, wajar kiranya banyak semut segera berkerumun di tempat gula tertumpah. Maka tak berlebih pula, BSMI akan hadir di mana bencana berada. Tak pandang geografis sebab humanisme, tak pandang warna kulit sebab semua darah adalah merah. (SUB/Berbagai Sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H