Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Rumah Dinas Angker

11 April 2016   20:41 Diperbarui: 12 April 2016   00:16 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: nyonyahafidz.wordpress.com"][/caption]

*   Tantangan FC – nulis novel  * 100 hari 50.000 kata *

*    Siti Swandari  no. 16

 

Bab. XIV.  Silang-Sengketa di Kepatihan.

 

“Kok pakde tahu ceritanya sampai njlimet/detail, padahal saat peristiwa itu terjadi, mungkin pakde masih sekolah, belum kerja,..” tanyaku

“Ceritera itu sudah menyebar diseluruh kota, sudah menjadi rahasia umum, terlebih jika kita sering omong-omong dengan wakker,..”

“Wakker ? – penjaga malam maksud pakde ?” beliau mengangguk.

“Waktu ayahmu dapat rumah dinas besar angker  itu, kan semua diundang oleh eyang, terutama saudara lelaki ibumu, pakde Jati, pakde Sukur dan aku. Dan semua harus membantu adik bungsu tercinta, kesayangan eyang itu.” Semua tersenyum, ibu juga tertawa geli.

Jadi dahulu sewaktu dirumah dinas itu, mereka bertiga  sering bincang dengan orang yang dekat dan tahu serta mengerti  dengan keadaan rumah itu. Pastinya yang paling mengerti seluk beluk kisahnya ya si penjaga malam.

Sejak peristiwa itu terjadi, sudah berkali penjaga malamnya berganti, tapi ceritera itu terus hidup  bersambung  dari mulut kemulut.

“Terus-terus bagaimana tadi terusannya, setelah Jatmiko melihat bidadari cantik bermata biru itu ?” tanyaku, pakde tersenyum, minum lagi sedikit kopi angetnya.

“Belum pada ngantuk ya ? ” tanya pakde.

“Be-luuumm,… “ mereka semua serempak menjawab, disusul dengan tertawa berderai, aku juga ikut tertawa.

“Terus pakde, apa yang diperbuat oleh Jatmiko kemudian ?” tanyaku lagi.

Semalam Jatmiko tidak bisa tidur, gelisah membalik kiri-kanan, dan bayangan bidadari molek bermata biru terus menari-nari dipikirannya.

Sampai jauh malam dia baru bisa terlena dengan seribu satu masalah pada dirinya yang belum terselesaikan.

Sesudah mandi dan makan pagi, dia duduk diserambi kamarnya, semilirnya angin pagi agak menyegarkan pikirannya yang kusut, angannya melayang.

“Selamat pagi kangmas,..” dia menoleh, ternyata Sumadiyo, adiknya.

“Wah  calon Patih datang pagi-pagi, ada keperluan yang penting ?” tanyanya sedikit menyindir, Sumadiyo tersenyum.

“Saya sebenarnya tidak tertarik untuk menggantikan Romo menjadi Patih “ kata Sumadiyo.

“Oh iya .. apa engkau sudah mengatakan pada ayahanda, lalu engkau ingin seperti apa ?” tanya Jatmiko.

“Aku ingin meneruskan sekolahku kangmas di Surabaya,..” kata Sumadiyo dengan tenang.

“Sekolah ?” tanya Jatmiko heran “Katanya kamu sudah tamat lulus sekolahnya,..”  dia kurang mengerti

“Oh engkau pasti terpengaruh oleh puteri Bupati yang cerdas dan pintar itu ya rupanya ?” Sumadiyo tersenyum, dan mengangguk.

“Iya, saya, bercita-cita ingin sekolah dokter.” Kata Sumadiyo dengan mantap.

“Bersama kekasihmu itu juga  ?” Sumadiyo mengangguk.

“Jadi keluarganya memperbolehkan dia terus sekolah, dia kan perempuan. Kok gak belajar masak dan mempercantik diri saja, seperti perempuan lain ?” tanya Jatmiko.

“Keluarganya keluarga bangsawan  modern kangmas, bahkan kakaknya ada yang bersekolah di negeri Belanda,..” kata Sumadiyo

“Tetapi ayahanda sudah berpesan seperti itu  pada ibunda,  engkau berani menolaknya ?”

“Saya sudah mengatakan pada ibunda secara terus terang. Ibunda berjanji, berusaha akan mencarikan jalan keluarnya dengan baik.” Kata Sumadiyo.

“Engkau amat mencintai kekasihmu itu ?” tanya Jatmiko

“Iya, disekolah kita sering bincang tentang masa depan dan tentang segalanya,  pembicaraan kita selalu nyambung dan cocok.” Jawab Sumadiyo.

Keadaan hening, angin semilir membelai, dihalaman ada taman bunga yang indah, ada dua kupu-kupu sedang berkejaran dan bercumbu dari satu bunga ke bunga yang lain, indah sekali.

Jatmiko memandang dengan takjub, dia menarik nafas.

“Disekolahmu apa banyak nonik-nonik Belanda yang bermata biru ?” tiba-tiba dia bertanya.

Sumadiyo tertawa “ Ada kangmas, beberapa orang. Yang laki-laki sinyo-nya juga ada. Iya mata mereka ada yang biru atau hijau,.”

“Cantik sekali,… “ tiba-tiba tanpa sadar Jatmiko bergumam, dia ingat dengan bidadari molek bermata biru tadi malam.

“Iya ada yang cantik dan ada yang tidak, kangmas , biasa saja, seperti juga bangsa kita.” Jawab Sumadiyo.

“Engkau tidak tertarik dengan nonik-nonik Belanda bermata biru disana ?”

“Tidak kangmas, akan sulit nanti kita bisa bicara nyambung, juga budaya kita kan beda. Penyesuaiannya nanti repot. Ratna lebih membumi dan menarik,” kata Sumadiyo

“Ratna itu puteri Bupati itu kan ?” Sumadiyo tersenyum

“Iya, Ratna tidak cantik, tetapi jika kita membicarakan sesuatu, pasti enak  bisa nyambung dan dia amat cerdas dan pintar sekali. Dia bintang kelas, sinyo dan nonik Belanda tidak ada yang secerdas dia.” Dia memandang adiknya, seperti keheranan, kurang faham...

“Engkau tadi malam sudah berkenalan dengan isteri pejabat Belanda yang baru itu ya ?” tanyanya agak hati-hati.

”Iya kita semua sudah berkenalan dengan mereka. Kemarin isterinya agak sakit, mereka baru beberapa hari tiba dari Batavia, terlalu capek barangkali.”

Seorang abdi datang dan mengatakan kalau ada tamu dari kelurahan Subur Lestari beserta keluarganya , diruang serambi belakang Kepatihan.

Mereka datang untuk bertemu dengan  Jatmiko.

Seketika berubahlah wajah Jatmiko sehingga Sumadiyo menjadi keget.

Dia melihat Jatmiko membuka almarinya, mengambil kantong berisi uang dan segera keluar dari kamarnya menuju serambi belakang .

Diam-diam dia membuntuti kakaknya, tapi dicegat oleh Jatmiko : “Ingat !, ..hati-hati ya engkau dengan perempuan seperti ini, dia bisa membalik kata-kata dan menjebak kita,.enak saja.” Sumadiyo hanya mengangguk, meskipun tidak mengerti benar apa yang dimaksud oleh kakaknya.

Di serambi Kepatihan, dia melihat ibundanya dengan tiga orang tamu, lurah desa Subur Lestari, isteri dan anaknya Surti.

Mereka segera berdiri melihat Jatmiko datang, yang segera melemparkan kantung uang dihadapan mereka

“Ini uang untuk pembayaran selama aku nginap di Kelurahan, itu lebih banyak dari yang kalian perkirakan,..” katanya dengan angkuh.

“Tetapi Raden, Surti telah hamil,…” kata pak Lurah dengan terbata-bata

“Hamil  ? , ... lalu apa hubungannya dengan aku  ?.“ Jatmiko berkacak pinggang

“Kamu pikir aku goblok, laki-laki disekitar Surti banyak, kenapa mesti aku yang harus bertanggung jawab ?” suaranya terdengar meninggi.

“Raden tidak ingat dengan Surti, waktu di Kelurahan beberapa bulan yang lalu ?” terdengar pedih suara bu Lurah

Ibundanya segera berdiri dan melerai yang sedang bertikai bersitegang itu, Sumadiyo juga cepat melerai kakaknya.

“lihat Sumadiyo, cara licik perempuan, dia mau dengan semua orang – tapi begitu hamil, dia memilih putera Patih ini untuk bertanggung jawab, karena apa ?” kata-katanya terdengar makin keras.

“Karena laki-laki lainnya hanya orang kampung biasa, dia ingin menjadi ndara puteri Patih,..” Jatmiko tertawa

Surti bediri dan menyembah :” Raden, saya tidak pernah berbuat serendah  seperti yang Raden tuduhkan itu, ini memang hasil perbuatan Raden, karena cinta tulus saya, ....”  tiba-tiba Surti jatuh lemas terkulai dan ayahnya segera menangkap dan membopongnya keluar. Terus menuju kedelman miliknya dan sesudah pamit dengan ibunda Jatmiko, mereka langsung  keluar dari kepatihan.

Ibunda Jatmiko kebingungan dan beberapa abdi penjaga kepatihan segera berdatangan. Segera beliau membisikkan sesuatu pada Wiryo, abdi kepercayaannya,

 Wiryo mengangguk dan segera pamit, segera tampak dia menyusul dengan kudanya bersama beberapa punggawa Kepatihan yang lain.

“Ibunda dan adinda, percayalah dengan saya. Surti itu bukan gadis baik-baik, banyak kekasihnya didesa, dia nakal dan binal. Dia kan kembang desa, dia selalu menggoda saya ibunda  Mereka kesini, karena tahu aku anak Patih, yang mempunyai kekuasaan dan harta.” Kata Jatmiko.

“Anakku Bagus, tetapi bagaimanapun engkau tidak boleh bertindak seperti itu. Semua bisa dirundingkan dengan baik tanpa pertikaian dan marah serta sumpah serapah. Seorang pemimpin dan bangsawan harus bisa menunjukkan dan jadi contoh suri tauladan bagi seluruh warganya. Bunda khawatir ayahanda akan murka mendengar ini semua, beliau pasti tidak suka dan itu kurang baik akibatnya bagimu, Jatmiko,..” kata ibundanya dengan sabar

Beliau memandang kepada Sumadiyo, yang segera mengerti jika dia harus segera mengajak Jatmiko pergi, dia memandang ibundaya duduk merenung.

Dikamarnya Jatmiko meyakinkan adiknya, jika muslihat itu adalah suatu tipu daya para wanita yang ingin dinikahi oleh Jatmiko.

“Sudahlah kangmas, semua kita serahkan saja pada ibunda. Saya kasihan dengan ibunda yang begitu menyayangi kita, sehingga kadang harus berseberangan dengan ayahanda.” Kata Sumadiyo.

“Hah, mereka tidak bisa melihat dirinya, siapa mereka itu. Kita kan putra bangsawan berpangkat Patih – mereka hanya orang desa yang mau numpang dengan keadaan kita.”

“Kita ini juga bukan siapa-siapa lho kangmas, kita semua juga numpang nggandol  pada pangkat ayahanda kita. Kalau terjadi sesuatu dengan ayahanda, kita pasti juga tidak bisa apa-apa.” Kata Sumadiyo.

Mereka saling berpandangan, Sumadiyo memandangnya dengan tajam.

“Kita harusnya menjaga martabat dan kehormatan ayahanda kangmas dengan jalan menjaga perilaku dan segala perbuatan, jalan hidup kita.”

Wajah Jatmiko rasanya merah padam mendengar kata-kata Sumadiyo.

“Heh Sumadiyo, kamu jangan besar kepala, merasa selalu benar karena diajari oleh kekasihmu yang pintar, puteri Bupati modern itu ya ?”

“Aku mau begini mau begitu, itu urusanku. Tidak usah kau mengajari aku. Bocah kemarin sore,  sudah jelek  sok keminter, keluar kau dari kamarku sekarang juga  !!!”

Sumadiyo dibentak dengan keras, dan diusir keluar dari kamar Jatmiko.

“Maafkan saya kangmas.” Kata Sumadiyo, yang segera keluar dari kamar Jatmiko, dia langsung kekamarnya.

Ternyata ibundanya sudah ada disana, dikamarnya.

Dia melihat keluar sekali lagi dan segera masuk kamar dan menguncimua.

Dia melihat ibunya memakai baju yang biasa dipakai untuk bepergian dengan naik kuda.

“Pasti Jatmiko marah engkau nasihati ya Sumadiyo ?” tanya ibunya

:”Iya ibunda, kakangmas sedang marah. Urusannya rumit, tetapi itu karena pola tingkah perbuatan kakang sendiri.” Ibunya hanya mengangguk

“Engkau percaya dengan omongan Lurah Subur Lestari tadi dan Surti  ?”

“Saya percaya dengan mereka, coba ibu bertanya ke Wiryo. Saya waktu kakang agak lama tidak pulang, saya suruhan Wiryo untuk menyelidiki kemana gerangan kakang. Ternyata dia ada di kelurahan Subur Lestari dan sedang memadu kasih dengan Surti. Surti itu gadis baik ibunda dan tidak seperti yang dikatakan kangmas Jatmiko, dia setia pada kakang.”

“Kakang saja yang sering jalan serong, karena terbawa dan ada beberapa temannya yang kurang baik.” Jawab Sumadiyo.

“Ibunda juga kasihan dengan Surti, dia gadis desa yang lugu baik dan cantik.”

“Ibu mau kemana ?” ketika dilihatnya ibunya  berdiri akan pergi

“Ibu akan ke kelurahan Subur Lestari, meminta maaf pada mereka dan memberi pengertian pada mereka. Mereka harus bersabar, ibunda akan berusaha melunakkan hati Jatmiko, untuk bisa mengerti dan bertanggung jawab..”

“Ayahanda kemana  ?” tanya Sumadiyo

“Ayahandamu sedang ada rapat di kabupaten dengan meneer Jansen, mungkin hingga sore hari. Ibunda segera berangkat dan cepat kembali – Wiryo sudah ada disana.”

Tiba-tiba ibunya duduk lagi, menatap Sumadiyo

“Apakah engkau memperhatikan kalau sekarang Jatmiko mulai merasa tertarik dengan isteri Jansen yang bermata biru itu ?” tanyanya hati-hati.

“Mmm, dia hanya tanya apa aku sudah kenal dengan nyonya cantik itu – dan juga tanya apakak aku di sekolah punya teman bule dengan mata biru,..” Sumadiyo baru mengerti arah pertanyaan ibunya.

“Ibunda merasakan bahwa dia tertarik dengan nyonya Jansen. Ibunda khawarir akan terjadi sesuatu di kemudian hari. Jatmiko sulit mengendalikan diri, apalagi jika sedang jatuh cinta,..”

“Ibunda kekelurahan Subur Lestari dahulu, nanti kita bincang lagi. Engkau tidak usah berceritera pada ayahanda jika beliau mencari ibunda.”

“Hati-hati ibunda,” Sumadiyo menyembah pada ibunya dan segera membuka pintu kamarnya, mengantarkan kedepan.

Disana sudah tersedia tiga kuda Kepatihan yang perkasa.

Dipandangnya ibundanya, yang dengan cepat menaiki ludanya  dan keluar dari Kepatihan, diiringi oleh dua pengawal wanitanya, dengan sigap.

Dia selalu mendoakan keselatan ibundanya, yang amat disayanginya..

Ibundanya yang begitu baik hati  bijak, sabar serta  selalu berusaha menjaga keharmonisan keluarganya dengan penuh santun dan tanggung jawab,  dia tertunduk.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun